Suara Warga

Pilkadal

Artikel terkait : Pilkadal

Judul tulisan ini Pilkadal, silahkan diterjemahkan sendiri apa artinya. Harus diakui polemik Pilkada langsung di Indonesia ini sangat mengusik dan bikin kuping panas setiap orang, baik bagi pendukung maupun lawannya. Sangat miris melihat kenyataan dari tadinya kawan menjadi tidak bertegur sapa, dari tadinya saudara menjadi musuhan. Sungguh tidak elok mengalami semua ini. Ini mencerminkan betapa masih rendahnya tingkat toleransi kita dalam berbeda pendapat.

Pertanyaan saya, apakah kita sebagai bangsa memang sepakat bahwa demokrasi adalah prinsip penyelenggaraan negara? Jika ya, maka demokrasi sebagai sebuah sistem beserta aturan mainnya menjadi sebuah konsekuensi logis yang harus diterima. Ingat, aturan main demokrasi itu majority rules. Yang besar adalah penentu. Jadi demokrasi sejujurnya sangat bebas nilai. Saya kassih contoh, jika kita sebagai bangsa Indonesia secara mayoritas berbalik mendukung penjajahan Israel atas Palestina, maka dukungan ini sah dan legitimate sebagai representasi sikap bangsa dan negara, walauupun secara moral sangat bertentangan dengan nilai moral dan tradisi muslim.

Tapi baiklah, kembali bicara Pilkada, ada tiga poin yang ingin saya garis bawahi bahwa bicara Pilkada ini tidak menjadi urgen bagi kita, terutama masyarakat bawah, karena:


  1. Sejujurnya sampai saat ini tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa Pilkada langsung dan tidak langsung memberi banyak manfaat pada kesejahteraan rakyat (jelata). Apakah korupsi dan money politic yang marak sekarang ini tidak dilakukan di masa lampau? Maaf-maaf, dulu belum ada superbody seperti KPK, jadi, koruptor masa lalu “sedikit beruntung” karena belum ada instrumen hukum yang bisa menjamah mereka.

  2. Alasan kedua yang bikin saya tambah eneg, partai pengusung Pilkada langsung, maupun yang berseberangan bukan merupakan partai yang bisa dikatakan bersih dari korupsi. Kedua kubu yang berseberangan mempunyai cacat sejarah. PDIP, misalnya, sebagai partai oposisi selama dua periode ternyata tercatat sebagai partai yang menyumbang jumlah koruptor terbanyak. Kerugian negara yang ditimbulkan partai oposisi ini (baca: ini bukan partai inkumben) itu lebih besar dari kerugian yang ditimbulkan partai penguasa. Sayangnya hal-hal sering dilupakan oleh masyarakat. entah karena derasnya propaganda media atau kebiasaan masyarakat yang mudah melupakan atau memaafkan. Poin saya adalah, kedua kubu yang berseberangan tidak mempunyai legitimasi moral yang kuat untuk mengklaim “mengatasnamakan” rakyat, apalagi membela kepentingan rakyat. Pilkada langsung ataupun tidak itu hanya komoditas saja, esensi dibalik itu adalah pertarungan politik dan kekuasaan

  3. Berkaitan dengan lemahnya legitimasi kedua kubu, saya juga terusik untuk sedikit melihat ketidakadilan media, baik media mainstream maupun sekedar socmed yang lebih suka membully partai-partai politik yang jauh lebih bersih, memblow-up persoalan hukum mereka, seolah-oleh mereka adalah penjahat satu-satunya yang harus dibumi hanguskan. Kita lupa, ada bromocrah dan partai-partai raksasa yang dosanya berlipat-lipat tapi tidak pernah atau jarang disentuh media. Bisakah kita adil dalam hal ini?


Oleh karenanya, sampai saat ini saya tidak mau percaya 100% dengan apa yang digembar gemborkan media mainstream, yang masih dibebani kepentingan sesaat pemilik modal dan pemilik agenda kepentingan yang lebih besar. Apalagi ocehan gak mutu di social media, walaupun yang ngoceh adalah teman-teman sendiri, gak bakal deh saya pedulikan.

Saya berdiri di sini untuk (sayangnya) berbeda pendapat dengan mayoritas pendukung pilkada langsung. Dalam alam demokrasi itu adalah pilihan sah saya. Alasan moral dan esensi prinsip demokrasi di atas menjadi landasan argumen saya. Teman boleh beda pendapat kan, katanya demokrasiii.




Sumber : http://ift.tt/Zmvrcf

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz