Petak Umpet RUU Nakes
Dalam rangka menjalankan amanah Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dimana Pasal 21 ayat (3) berbunyi “Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan Undang-Undang”, maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI menginisiasi penyusunan rancangan undang-undang tentang tenaga kesehatan.
Proses penyusunan draft rancangan undang-undangan (RUU) melibatkan beberapa pemangku kebijakan di antaranya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter. Dinamika pembahasan RUU terjadi karena IDI menganggap amanah Pasal 21 ayat (3) lebih menekankan kepada pengaturan tenaga kesehatan di luar tenaga medis. Hal ini sangat jelas dalam penjelasan Pasal 21 ayat (3) yang berbunyi “Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.” Oleh karena itu, IDI menyarankan agar pembahasan substansi RUU lebih banyak melibatkan organisasi tenaga kesehatan lain di luar tenaga medis.
Setelah sekian lama pembahasan RUU tenaga kesehatan tidak lagi terdengar. Hal ini dikonfirmasi dari laporan bahwa sekian lama tidak ada lagi undangan untuk membahas RUU tenaga kesehatan yang masuk ke sekretariat Pengurus Besar IDI. Keheningan pembahasan RUU tenaga kesehatan terpecah setelah mendapat laporan bahwa RUU tenaga kesehatan telah mendekati proses pembahasan final di Panja yang dibentuk di Komisi IX DPR RI.
Polemik muncul oleh sebab hal yang mendasari penyusunan RUU ini yaitu pengaturan tenaga kesehatan di luar tenaga medis menjadi tidak jelas, oleh karena substansi yang menyebutkan bahwa “Undang-Undang ini mengatur mengenai tenaga kesehatan kecuali hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran” tidak lagi tercantum. Tentu hal ini memunculkan pertanyaan apakah RUU Tenaga Kesehatan juga mengatur tenaga medis (yaitu dokter dan dokter gigi) yang telah di atur dalam undang-undang Praktik Kedokteran. Meskipun secara jelas penjelasan Pasal 21 ayat (3) telah menyebutkan hal tersebut.
Kebingungan terhadap tujuan dan hal ini terkait pembahasan RUU ini dianggap melanggar azas pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5 menyebutkan azasnya yang meliputi :
“>a. Kejelasan tujuan;
“>b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
“>c. Kesesuaian antar jenis, hierarki, dan materi muatan;
“>d. Dapat dilaksanakan;
“>e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
“>f. Kejelasan rumusan; dan
“>g. Keterbukaan.
Ketidakjelasan azas pembentukan RUU tenaga kesehatan lebih dititikberatkan kepada tumpang tindihnya dengan undang-undang yang telah lahir terlebih dahulu, seperti undang-undang Praktik Kedokteran dan ditambah telah adanya Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Hal ini sangat penting jika terkait dengan strategi pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan khususnya dokter.
Hal lain yang menimbulkan kebingungan adalah pemahaman terhadap istilah yang melekat pada tenaga kesehatan itu sendiri. Jika melihat pengelompokkan tenaga medis di Pasal 21 ayat (1) undang-undang Kesehatan, yaitu :
“>1. tenaga kefarmasian,
“>2. tenaga keperawatan,
“>3. tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan,
“>4. tenaga gizi,
“>5. tenaga keterapian fisik,
“>6. tenaga keteknisian medis, dan
“>7. tenaga kesehatan lainnya.
Maka istilah profesi dan vokasi pun tidak dapat menjadi istilah yang sama yang melekat ke setiap pengelompokkan tenaga kesehatan tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan terkait aspek standar profesi seperti standar pendidikan, kompetensi, pelayanan, dan etik. Penjelasan mengenai standar profesi telah lama dijelaskan melalui Undang-undang Praktik Kedokteran.
Kebingungan yang diakibatkan ketidakjelasan tujuan dari RUU Nakes ini akan semakin menimbulkan polemik dalam penataan sistem kesehatan khususnya pelayanan kedokteran ke depan. Hal ini secara langsung melanggar dari dasar pertimbangan penyusunan peraturan perundang-undangan dan berpotensi memberikan kerugian tidak hanya bagi komunitas profesi kedokteran namun terlebih kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kedokteran.
Kejadian hilangnya “ayat tembakau” diharapkan tidak terjadi pada pembahasan RUU tenaga kesehatan dengan hilangnya azas utama dalam penyusunan draft RUU. Meminjam istilah Prof.Saldi Isra bahwa telah terjadi “Kudeta redaksional” pada pembahasan RUU tenaga kesehatan.
Seyogyanya DPR RI dan pemerintah tidak menambah daftar peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam menata sistem di negeri ini. Karena sistem yang tidak tertata dengan baik akan menghadirkan sumber daya yang tidak baik pula.
IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluhuran profesi kedokteran. Keluhuran profesi kedokteran tercermin dari sikap dan pelayanan dokter dan dokter gigi yang merupakan anggotanya. Sikap dan pelayanan kedokteran yang mengedepankan profesionalisme serta menjunjung tinggi etika kedokteran diharapkan menghasilkan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat.
Oleh karena itu, seharusnya DPR RI dan pemerintah agar dalam setiap penyusunan peraturan dan perundang-undangan dapat secara seksama serta didasari atas semata-mata kepentingan masyarakat dimana komunitas profesi kedokteran juga sebagai salah satu unsur di dalamnya. Aspek filososfis, sosiologis, dan yuridis harus benar-benar dijalankan sehingga peraturan perundang-undangan yang akan lahir dapat mendatangkan kemaslahatan bagi semua.
Sumber : http://ift.tt/1qYtlKN
Proses penyusunan draft rancangan undang-undangan (RUU) melibatkan beberapa pemangku kebijakan di antaranya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi dokter. Dinamika pembahasan RUU terjadi karena IDI menganggap amanah Pasal 21 ayat (3) lebih menekankan kepada pengaturan tenaga kesehatan di luar tenaga medis. Hal ini sangat jelas dalam penjelasan Pasal 21 ayat (3) yang berbunyi “Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah tenaga kesehatan di luar tenaga medis.” Oleh karena itu, IDI menyarankan agar pembahasan substansi RUU lebih banyak melibatkan organisasi tenaga kesehatan lain di luar tenaga medis.
Setelah sekian lama pembahasan RUU tenaga kesehatan tidak lagi terdengar. Hal ini dikonfirmasi dari laporan bahwa sekian lama tidak ada lagi undangan untuk membahas RUU tenaga kesehatan yang masuk ke sekretariat Pengurus Besar IDI. Keheningan pembahasan RUU tenaga kesehatan terpecah setelah mendapat laporan bahwa RUU tenaga kesehatan telah mendekati proses pembahasan final di Panja yang dibentuk di Komisi IX DPR RI.
Polemik muncul oleh sebab hal yang mendasari penyusunan RUU ini yaitu pengaturan tenaga kesehatan di luar tenaga medis menjadi tidak jelas, oleh karena substansi yang menyebutkan bahwa “Undang-Undang ini mengatur mengenai tenaga kesehatan kecuali hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran” tidak lagi tercantum. Tentu hal ini memunculkan pertanyaan apakah RUU Tenaga Kesehatan juga mengatur tenaga medis (yaitu dokter dan dokter gigi) yang telah di atur dalam undang-undang Praktik Kedokteran. Meskipun secara jelas penjelasan Pasal 21 ayat (3) telah menyebutkan hal tersebut.
Kebingungan terhadap tujuan dan hal ini terkait pembahasan RUU ini dianggap melanggar azas pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5 menyebutkan azasnya yang meliputi :
“>a. Kejelasan tujuan;
“>b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
“>c. Kesesuaian antar jenis, hierarki, dan materi muatan;
“>d. Dapat dilaksanakan;
“>e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
“>f. Kejelasan rumusan; dan
“>g. Keterbukaan.
Ketidakjelasan azas pembentukan RUU tenaga kesehatan lebih dititikberatkan kepada tumpang tindihnya dengan undang-undang yang telah lahir terlebih dahulu, seperti undang-undang Praktik Kedokteran dan ditambah telah adanya Undang-undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Hal ini sangat penting jika terkait dengan strategi pemenuhan dan pemerataan tenaga kesehatan khususnya dokter.
Hal lain yang menimbulkan kebingungan adalah pemahaman terhadap istilah yang melekat pada tenaga kesehatan itu sendiri. Jika melihat pengelompokkan tenaga medis di Pasal 21 ayat (1) undang-undang Kesehatan, yaitu :
“>1. tenaga kefarmasian,
“>2. tenaga keperawatan,
“>3. tenaga kesehatan masyarakat dan lingkungan,
“>4. tenaga gizi,
“>5. tenaga keterapian fisik,
“>6. tenaga keteknisian medis, dan
“>7. tenaga kesehatan lainnya.
Maka istilah profesi dan vokasi pun tidak dapat menjadi istilah yang sama yang melekat ke setiap pengelompokkan tenaga kesehatan tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan terkait aspek standar profesi seperti standar pendidikan, kompetensi, pelayanan, dan etik. Penjelasan mengenai standar profesi telah lama dijelaskan melalui Undang-undang Praktik Kedokteran.
Kebingungan yang diakibatkan ketidakjelasan tujuan dari RUU Nakes ini akan semakin menimbulkan polemik dalam penataan sistem kesehatan khususnya pelayanan kedokteran ke depan. Hal ini secara langsung melanggar dari dasar pertimbangan penyusunan peraturan perundang-undangan dan berpotensi memberikan kerugian tidak hanya bagi komunitas profesi kedokteran namun terlebih kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan kedokteran.
Kejadian hilangnya “ayat tembakau” diharapkan tidak terjadi pada pembahasan RUU tenaga kesehatan dengan hilangnya azas utama dalam penyusunan draft RUU. Meminjam istilah Prof.Saldi Isra bahwa telah terjadi “Kudeta redaksional” pada pembahasan RUU tenaga kesehatan.
Seyogyanya DPR RI dan pemerintah tidak menambah daftar peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakharmonisan dalam menata sistem di negeri ini. Karena sistem yang tidak tertata dengan baik akan menghadirkan sumber daya yang tidak baik pula.
IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluhuran profesi kedokteran. Keluhuran profesi kedokteran tercermin dari sikap dan pelayanan dokter dan dokter gigi yang merupakan anggotanya. Sikap dan pelayanan kedokteran yang mengedepankan profesionalisme serta menjunjung tinggi etika kedokteran diharapkan menghasilkan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat.
Oleh karena itu, seharusnya DPR RI dan pemerintah agar dalam setiap penyusunan peraturan dan perundang-undangan dapat secara seksama serta didasari atas semata-mata kepentingan masyarakat dimana komunitas profesi kedokteran juga sebagai salah satu unsur di dalamnya. Aspek filososfis, sosiologis, dan yuridis harus benar-benar dijalankan sehingga peraturan perundang-undangan yang akan lahir dapat mendatangkan kemaslahatan bagi semua.
Sumber : http://ift.tt/1qYtlKN