PEMILIHAN GUBERNUR OLEH DPRD: LANGKAH MAJU ATAU MUNDUR ?
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah salah satu hasil proses demokratisasi di Indonesia. Terbukanya proses demokratisasi di Indonesia adalah didorong oleh gerakan sosial politik, dimana rakyat tidak mau hidup didalam sistem pemerintahan otoriter. Kejatuhan rezim Orde Baru adalah satu kasus yang masih segar diingatan kita. Kalau dirunut kebelakang didalam sejarah perkembangan sistem politik di Indonesia telah membuktikan bahwa proses demokratisasi adalah gerakan yang berjalan secara linear. Suka atau tidak suka, cepat atau lambat sistem sosial di Indonesia terus memberikan ruang bagi proses demokratisasi, bahkan sangat dirasakan bahwa ada kekuatan yang sangat besar mendorong dan tidak dapat dibendung, kalau tidak mau berubah, pasti akan dirubah. Sekuat apapun suatu rezim pemerintahan yang hendak memanipulasi demokrasi tetap akan dipecahkan oleh gerakan demokratisasi yang berlaku secara universal didunia ini, dimana rakyat adalah pemilik kedaulatan didalam sistem pemerintahan dan sistem politik.
Sekarang, dengan berbagai dalih, pemilihan gubernur bakal kembali dilakukan oleh DPRD. Berbagai alasan yang diajukan mulai dari mahalnya biaya pemilihan gubernur yang membebani APBD Provinsi, suburnya praktik korupsi sampai terbatasnya kewenangan pemerintah provinsi dan lain sebagainya. Sementara secara kasat mata terjadinya biaya tinggi didalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah yang tergambar melalui berbagai kasus yang menjerat kepala daerah terpilih adalah didorong oleh syahwat untuk mencapai break event point dan margin money politic . Praktik money politik dan intimidasi sangat subur pada kondisi masyarakat mengambang (floating mass). Kalau pada masa Orde Baru massa mengambang dikondisikan dengan melarang kepengurusan partai politik sampai ke tingkat desa/kelurahan. Lemahnya penerapan threshold telah menyebabkan para elite partai asik dengan petualangan politik tukar ganti kulit, lupa menjalankan fungsi partai politik yang menghasilkan masyarakat mengambang.
Dari aspek kelembagaan pelaksanaan pilkada dan pilpres tidak ada bedanya. Justru dengan kembalinya sistem pemilihan gubernur oleh DPRD adalah gambaran akan terhambatnya proses demokratisasi yang mulai sudah mulai terbuka. Memang harus diakui, bahwa makna pilkada secara langsung masih sebatas adanya hak pilih dari rakyat untuk memilih kepala daerah. Sementara kenyataannya proses pilkada masih bersifat patronase, elitis dan oligarkhi yang ditopang oleh kekuatan politik ekonomi dari calon atau kelompok kepentingan yang mendukungnya. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan sistem yang lama yang membuat rezim pemerintahan terdahulu mengalami kehancuran belum dirubuhkan. Dalam konteks ini yang diberangus bukan kedaulatan yang kini sudah digenggam oleh rakyat melainkan bagaimana membenahi sistem pemilu, sistem kepartaian yang menjadi sistem kontrol didalam sistem politik di Indonesia.
Kembalinya pemilihan gubernur oleh DPRD mengingatkan kita terhadap peran DPRD dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang berujung kepada terbitnya UU No. 32 Tahun 2004. Besarnya kekuasaan DPRD kerap menimbulkan ketegangan antara DPRD dan Kepala Daerah, bahkan berujung pada pencopotan kepala daerah dan terlibatnya anggota DPRD dalam berbagai kasus keuangan di daerah. Memang penulis belum melihat isi dari rancangan Undang-undang tentang pilkada dimaksud, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah melalui sistem pemilihan gubernur oleh DPRD dimaksud dapat membangun sistem yang dapat menciptakan keharmonisan antara DPRD dan Gubernur serta DPRD dengan konstituennya?
Para elit partai yang tukar ganti kulit yang menyuburkan multi partai dan lemahnya penerapan threshold menghasilkan tingginya tingkat fragmentasi politik di DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Fragmentasi timbul karena semua parpol yang memperoleh kursi berhak duduk di DPRD yang berdampak berkembangnya kecenderungan politik dagang sapi di DPRD, dimana pemerintah daerah selalu melakukan negosiasi dengan kepentingan parpol yang banyak di DPRD. Dan dalam konteks ini kenapa pulak hanya Pemilihan Gubernur yang dikembalikan kepada DPRD, bagaimana dengan Pemilihan Walikota dan Bupati ? Pembagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bukan membatasi urusan pemerintah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, justru membagi kewenangan secara proporsional atas dasar kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan pertimbangan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintah antar tingkat pemerintahan.
Pemilihan Gubernur oleh DPRD dapat diwaspadai semakin kuatnya sistem kekuasaan oligarkhis didaerah, kalau bukan di tangan personifikasi Gubernur, di tangan DPRD. Fungsi Partai politik sebagai saluran kepentingan menjadi hilang, karena asik membangun hubungan antara DPRD dan Gubernur yang menyuburkan hegemoni kekuasaan dan sentralisasi kekuatan, karena gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat. Hal ini kembali mengingatkan kita pada masa rezim Orde Baru dibawah UU Nomor 5 Tahun 1974 dimana DPRD berperan sebagai alat stempel pemerintah pusat dan gubernur merupakan tunjukan dari pusat kekuasaan, dimana gubernur nantinya hanya memberikan pertanggungjawaban kepada pusat kekuasaan bukan kepada rakyat daerahnya. Dalam konteks sekarang memang sinkron dengan sistem pemerintah yang dianut di Indonesia yaitu semi presidensial dan semi parlementer. Tapi kita harus lihat juga bagaimana hasilnya terhadap sistem pemerintahan di Indonesia yang tidak jelas ini ?
Dalam konteks ini masyarakat tidak memiliki kekuatan dan akan menjadi penonton karena tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan. Memang didalam kotak hitam proses politik di daerah (yang tidak tampak oleh masyarakat), dalam waktu tertentu pemerintahan dapat berjalan tenang. Namun dipihak lain (proses yang terjadi didalam kotak hitam) akan melahirkan akumulasi berbagai persoalan yang diakibatkan oleh tidak adanya transparansi dan tertutupnya sistem akuntabilitas, yang klimaksnya melahirkan gejolak karena penyelengaraan sistem politik dan pemerintahan tidak dapat diklaim tanpa keterlibatan masyarakat. Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung seyogianya mendorong lahirnya berbagai kekuatan masyarakat sampai ke akar rumput yang dapat mengawasi akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Lagi-lagi dalam konteks ini yang bermasalah apakah kembalinya kedaulatan di tangan rakyat atau sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan sistem pencalonannya ?
Kalau demikian halnya, sistem pemerintahan daerah di Indonesia kembali mengalami kemunduran dan bertolak belakang dengan Sistem Perencanaan Nasional yang dirancang oleh Bappenas yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2004, yang mencakup lima pendekatan yaitu politik, teknokratik, partisipatif, atas bawah (top-down) dan bawah atas (bottom-up). Sebelum rencana ditetapkan harus melalui empat langkah yakni: Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh secara terukur. Langkah kedua. Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang disiapkan. Langkah Ketiga adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan melalui musyawarah pembangunan yang dihasilkan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Langkah Keempat adalah penyusunan akhir rencana pembangunan. Tahap berikutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum atau perda. Sistem perencanaan dengan pendekatan politik bahwa pemilihan Gubernur adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program pembangunan melalui visi misi yang ditawarkan pada saat kampanye.
Kalau pemilihan Gubernur nantinya sudah dilakukan oleh DPRD, maka DPRD lah yang menilai visi dan misi Calon Gubernur, kehadiran masyarakat didalam musrenbang tingkat provinsi hanyalah formalitas belaka, rencana pembangunan yang dirumuskan secara teknokratik tinggal ditetapkan oleh DPRD didalam Perda. Maka yang terjadi adalah sistem pemerintahan dan sistem politik di daerah oligarkhi. Kalau demikian halnya, tidak ada lagi artinya pendekatan dan langkah-langkah sistem perencanaan yang dirancang oleh Bappenas melalui UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional ? Tampaknya Bappenas lebih menyadari bahwa pemenuhan hak politik rakyat sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan ketimbang Kementerian Dalam Negeri yang memandang hak politik rakyat menjadi sumber inefisiensi didalam sistem politik dan pemerintah daerah di Indonesia.
Untuk itu penulis menyarankan sebaiknya Kementerian Dalam Negeri lebih memikirkan pembentukan kelembagaan yang dapat mereduksi money politic, pembajakan kedaulatan rakyat oleh Partai Politik dan DPRD melalui Sistem Kepartaian, UU tentang partai Politik sebagaimana penulis simulasikan melalui gambar berikut.
Sumber : http://ift.tt/1sxBg15