Suara Warga

Pasca Pilpres, Lanjut atau Udahan?

Artikel terkait : Pasca Pilpres, Lanjut atau Udahan?

Pasca Pilpres, Lanjut atau Udahan?

Tak bisa dipungkiri, pilpres 2014 menyita banyak perhatian. Menguras energi, emosi dan lain-lain. Yang semula berteman akrab, hanya karena beda pilihan lantas diem-dieman -delcont, unfriend dan sebagainya-. Masing-masing menyandar pada pilihan antara kubu Jokowi dan Prabowo.

Bagaimanapun pilpres sudah selesai. Atas nama konstitusi, kubu yang tidak terpilih sebagai presiden harus angkat topi. Atau kalau tidak mau mengakui, silahkan angkat kaki. Saya rasa itu tidak ada bedanya dengan ISIS yang katanya tidak mengakui pemerintah RI.

Saya perhatikan, sebagian besar teman-teman sudah kembali seperti biasa. Tulisanya tidak lagi soal kampanye hitam, obrolanya juga kembali penuh canda tawa tanpa ketegangan. Namun sebagian masih ada yang tetap menuliskan selayaknya kampanye hitam.

Hal ini menjadi menarik karena setidaknya ada 2 topik hangat yang bisa dijadikan bahan untuk dituliskan, atau katakanlah menyerang. Yaitu soal BBM dan pemilihan walikota atau bupati melalui DPRD.

Dari dua bahasan tersebut, pendukung prabowo sangat aktif melalukan propaganda dan tidak mendukung kenaikan BBM. Di sisi lain, mereka mendukung pemilihan walikota atau bupati dipilih oleh DPRD. Tentu dengan alasan dan logikanya sendiri. Sementara pendukung Jokowi bertolak belakang dengan hal tersebut.

Ada banyak pertanyaan. Sampi kapan hal seperti ini akan berlangsung? Apakah logika kita sudah benar-benar mati saat memutuskan pilihan antara Jokowi dan Prabowo?

Pro kontra itu biasa. Betul. Memang biasa. Tapi bukan seperti ini caranya. Bagaimanapun BBM sudah berkali-kali naik saat pemerintahan SBY. Pro kontra terjadi, memang biasa. Tapi bagaimana dengan pilkada yang akan dipilih oleh DPRD? selama ini kita semua sepakat bahwa reputasi DPR/DPRD sangat buruk di mata masyarakat. Kita sama-sama sepakat untuk tidak sepakat dengan sistem pemerintahan Suharto. Lalu kenapa sekarang ada arus yang mendukung rencana ini?

Di sini saya hanya ingin mengigatkan, bahwa kader partai impor (asing) itu memang sudah seperti itu sejak dulu. Terstruktur, sistematis dan masif. Media kiblat mereka adalah media propaganda yang penuh dengan pengkafiran dan zionis israel. Mengahalalkan segala cara untuk bersuara menyenangkan para pimpinanya. Jadi jangan heran kalau logika mereka mati dan tertutup oleh kepentingan partai. Mereka ga akan percaya dengan media dan lembaga apapun (termasuk KPK), kecuali berita tersebut menguntungkan pihaknya. Jadi jangan heran kalau KPK dituduh antek amerika, mau dibubarkan. Media mainstream dianggap dikendalikan zionis. Jangan heran. Sekali lagi, mereka memang seperti itu sejak dulu. Sejak partainya berubah hedonis dan tidak lagi idealis.

Saat pilpres selesai, seharusnya selesailah semua fanatismenya. Tentu kita tidak ingin menjalani kehidupan seperti rakyat malaysia yang terbelah menjadi dua kubu fanatik. Tak peduli apapun yang dilakukan pemerintah, pendukung partai oposisi akan mencelanya. Yang pada akhirnya masyarakat tidak lagi memiliki logika manusianya. “Aku benar dan kamu salah. Apapun itu. Titik”.

Mari kembali menjadi warga negara demokratis, yang mampu berpikir kritis dan tidak mudah diarahkan oleh arus-arus partai. Menjadi seperti saat SBY memimpin. Jika memang salah atau kurang baik mari kritisi, meskipun sebelumnya mendukung SBY dan Demokrat.

Sekali lagi, biarkan kader partai impor (asing) itu tunduk pada fanatismenya. Dari dulu sudah seperti itu. Tak usah ditanggapi, ga usah dikomentari. Karena akan sakit hati rasanya kalau kita berargumen lantas distempeli kafir. Hehe

Salam persatuan Indonesia




Sumber : http://ift.tt/1tpUXFR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz