Pak SBY Enough, Jangan Lebay dan Bikin Galau Lagi (Kisah Sidang Paripurna UU Pilkada dan Efek Sesudahnya)
UU pemilihan kepala daerah (UU pilkada) lewat DPRD masih terus menimbulkan polemik, jika di tingkat legislatif masih terus mencari kambing hitam siapa yang “mempunyai pengaruh” meng-gol-kan RUU ini menjadi UU pilkada, maka di tingkat eksekutif pun demikian. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara sekaligus dewan pembina Partai Demokrat (PD) menyatakan kekecewaannya karena UU pilkada ini telah disahkan DPR. Lebih lanjut beliau juga mengungkapakan bahwa sebenarnya beliau mendukung pemilihan langsung dengan 10 syarat mutlak yang tidak diakomodir oleh rapat sidang paripurna. Siapa yang kena getahnya? tentu saja anggota-anggota fraksi partai Demokrat yang harus kena tulah dari SBY sekaligus dari rakyat, kena semprot dari atas dan bawah. Sebuah hal yang kurang mengenakkan diakhir masa jabatan.
Dilihat lebih lanjut, sebenarnya bukan salah total fraksi Demokrat di DPR saja yang memilih walkout dan abstain. Karena forum lobby yang dianggap melelahkan (kata bu Ali Assegaf sampai 4 jam tanpa ada kesepakatan mengakomodir usulan partai Demokrat) akhirnya fraksi ini pun memutuskan abstain dalam pengambilan keputusan. Coba difikir, ini tidak mungkin terjadi kalaulah misalnya Demokrat tidak bersikap netral tidak kekanan dan tidak kekiri. Tidak apa-apa kan, netral menjadi hak politik? Oke, namun ini sebenarnya juga terhubung dengan “perang dingin” antara SBY sebagai pemimpin PD dengan bu Mega (Megawati) sebagai pemimpin PDI-P yang getol menyampaikan opsi pilkada secara langsung.
Jika lobby formal maupun informal dilakukan dengan PDI-P (khususnya antara pak SBY dengan bu Mega) jauh sebelum sidang paripurna digelar, opsi ketiga (dalam sidang paripurna) pilihan partai Demokrat telah diakomodir oleh partai-partai pendukung pilkada langsung sebelum sidang paripurna digelar. Maka ketika sidang paripurna dilangsungkan tingkat pembicaraan menjadi jauh lebih enteng, forum lobby hanya untuk menguatkan moral antara pihak pro dan kontra pilkada langsung. Rapat Paripurna mungkin juga hanya mengakomodasi dua opsi saja (pilkada lewat DPRD atau pilkada langsung dengan 10 syarat pembenahan) dan kedua hal tersebut yang memang didukung oleh mayoritas anggota DPR. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi, pimpinan PDI-P masih “rodok-rodok yokpo” dengan pimpinan PD. Karena sikap kedua pimpinan partai seperti itu, maka jangan heran ketika sidang paripurna digelar masih terasa kacau dan galau, belum ada keputusan kuat yang bisa mengikat pendukung pilkada langsung, janganlah disalahkan jika pemimpin PD harus mengambil sikap “on the spot” pengambilan keputusan tepat ketika sidang paripurna dilaksanakan. Karena galau dan keputusannya belum kuat, fraksi PD di DPR akan sebisanya membaca keadaan dalam sidang dan membuat keputusan dari keadaaan tersebut. PD membaca keadaan tidak mendukung dan tidak mengakomodir usulannya dan bla..bla..blaa…. akhirnya walkout.
Namun SBY malah membuat pernyataan yang memantik reaksi di masyarakat dengan kekecewaannya pilkada lewat DPRD yang merupakan hasil keputusan sidang, menurut beliau yang “tidak tahu menahu” prosesi sidang paripurna, keputusan ini merupakan kemunduran dari demokrasi di Indonesia. Saya sebenarnya kecewa dengan pernyataan SBY . SBY sebagai pemimpin PD, namun beliau belum mengeluarkan keputusan kuat tentang pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak dengan partai-partai pendukungnya kan? Maka beliau sebenarnya memberikan kewenangan kepada anggota-anggota fraksinya di DPR, namun ketika kewenangan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya, maka beliau kecewa. Apa pulak ini? bukannya ini malah menghancurkan PD sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh SBY sebagai perpanjangan tangan pengambilan sikap di sidang paripurna. Saya lebih suka jika SBY tidak selalu melemparkan bola panas ke “grassroot” rakyat yang memang agak-agak kepanasan dengan kebutuhan hidup yang semakin berat ini.
SBY harusnya berkata gentle. “Oke, dari laporan pemimpin fraksi yang saya beri kewenangan ketika sidang paripurna digelar, ternyata forum tidak mengakomodasi pilihan pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak, oleh sebab itu pimpinan fraksi PD memutuskan abstain. Kita perlu mengapresiasi hasil ini meskipun tidak sesuai dengan keinginan kebanyakan rakyat, jalan yang bisa ditempuh pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil ini adalah dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi lewat jalur-jalur yang dibenarkan oleh perundang-undangan yang berlaku”.
Bukan-nya ketika dalam perjalanan dinas di luar negeri, malah merasa kecewa dengan keputusan sidang, lebih jauh mengolok-olok “inilah sebuah kemunduran demokrasi rakyat”. Padahal ini sama saja mencoreng arang di kening sendiri, pemimpin-pemimpin negara lain di dunia pasti ketawa-ketiwi melihat Indonesia yang kita cintai ini. Ketika wakil-wakil rakyat memutuskan UU meskipun dengan “drama”, anehnya pemimpin Republik Indonesia sendiri sekaligus pihak yang paling berpengaruh di parlemen (PD juara pemilu 2009) merasa kuciwa dengan keputusan tersebut, menebar kekecewaannya lewat medsos lagi, di negara lain lagi. Itu sama saja dengan menebar kekecewaan tentang keluarga sendiri di rumah tetangga. Selesaikah? kebanyakan malah menjadi bahan gunjingan orang lain loo. Hahaha. Pak SBY ini sepertinya sering galau dan ingin mengajak kita sebagai rakyat galau juga. Beliau lebih suka mencurahkan perasaannya untuk didengar orang lain, padahal sebagai seorang pemimpin yang suaranya selalu didengar dan menjadi panutan rakyat, lebih elok jika beliau tidak sering-sering membuat kegalauan dan kegaduhan di tingkat “grassroot” rakyat. Jika sering-sering diberi “air yang menenangkan” grassroot tersebut akan tumbuh hijau dan segar, namun ketika sering-sering diperciki api (di obong-obongi) maka jangan heran kalau kami selalu gaduh dan mudah terbakar loo pak. Hehehe. Akhirul kata, “Pak SBY enough pak, jangan lebay dan bikin galau lagi”…………………….
Sumber : http://ift.tt/1rKbmHn
Dilihat lebih lanjut, sebenarnya bukan salah total fraksi Demokrat di DPR saja yang memilih walkout dan abstain. Karena forum lobby yang dianggap melelahkan (kata bu Ali Assegaf sampai 4 jam tanpa ada kesepakatan mengakomodir usulan partai Demokrat) akhirnya fraksi ini pun memutuskan abstain dalam pengambilan keputusan. Coba difikir, ini tidak mungkin terjadi kalaulah misalnya Demokrat tidak bersikap netral tidak kekanan dan tidak kekiri. Tidak apa-apa kan, netral menjadi hak politik? Oke, namun ini sebenarnya juga terhubung dengan “perang dingin” antara SBY sebagai pemimpin PD dengan bu Mega (Megawati) sebagai pemimpin PDI-P yang getol menyampaikan opsi pilkada secara langsung.
Jika lobby formal maupun informal dilakukan dengan PDI-P (khususnya antara pak SBY dengan bu Mega) jauh sebelum sidang paripurna digelar, opsi ketiga (dalam sidang paripurna) pilihan partai Demokrat telah diakomodir oleh partai-partai pendukung pilkada langsung sebelum sidang paripurna digelar. Maka ketika sidang paripurna dilangsungkan tingkat pembicaraan menjadi jauh lebih enteng, forum lobby hanya untuk menguatkan moral antara pihak pro dan kontra pilkada langsung. Rapat Paripurna mungkin juga hanya mengakomodasi dua opsi saja (pilkada lewat DPRD atau pilkada langsung dengan 10 syarat pembenahan) dan kedua hal tersebut yang memang didukung oleh mayoritas anggota DPR. Namun sayangnya hal itu tidak terjadi, pimpinan PDI-P masih “rodok-rodok yokpo” dengan pimpinan PD. Karena sikap kedua pimpinan partai seperti itu, maka jangan heran ketika sidang paripurna digelar masih terasa kacau dan galau, belum ada keputusan kuat yang bisa mengikat pendukung pilkada langsung, janganlah disalahkan jika pemimpin PD harus mengambil sikap “on the spot” pengambilan keputusan tepat ketika sidang paripurna dilaksanakan. Karena galau dan keputusannya belum kuat, fraksi PD di DPR akan sebisanya membaca keadaan dalam sidang dan membuat keputusan dari keadaaan tersebut. PD membaca keadaan tidak mendukung dan tidak mengakomodir usulannya dan bla..bla..blaa…. akhirnya walkout.
Namun SBY malah membuat pernyataan yang memantik reaksi di masyarakat dengan kekecewaannya pilkada lewat DPRD yang merupakan hasil keputusan sidang, menurut beliau yang “tidak tahu menahu” prosesi sidang paripurna, keputusan ini merupakan kemunduran dari demokrasi di Indonesia. Saya sebenarnya kecewa dengan pernyataan SBY . SBY sebagai pemimpin PD, namun beliau belum mengeluarkan keputusan kuat tentang pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak dengan partai-partai pendukungnya kan? Maka beliau sebenarnya memberikan kewenangan kepada anggota-anggota fraksinya di DPR, namun ketika kewenangan tersebut tidak sesuai dengan keinginannya, maka beliau kecewa. Apa pulak ini? bukannya ini malah menghancurkan PD sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh SBY sebagai perpanjangan tangan pengambilan sikap di sidang paripurna. Saya lebih suka jika SBY tidak selalu melemparkan bola panas ke “grassroot” rakyat yang memang agak-agak kepanasan dengan kebutuhan hidup yang semakin berat ini.
SBY harusnya berkata gentle. “Oke, dari laporan pemimpin fraksi yang saya beri kewenangan ketika sidang paripurna digelar, ternyata forum tidak mengakomodasi pilihan pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak, oleh sebab itu pimpinan fraksi PD memutuskan abstain. Kita perlu mengapresiasi hasil ini meskipun tidak sesuai dengan keinginan kebanyakan rakyat, jalan yang bisa ditempuh pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil ini adalah dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi lewat jalur-jalur yang dibenarkan oleh perundang-undangan yang berlaku”.
Bukan-nya ketika dalam perjalanan dinas di luar negeri, malah merasa kecewa dengan keputusan sidang, lebih jauh mengolok-olok “inilah sebuah kemunduran demokrasi rakyat”. Padahal ini sama saja mencoreng arang di kening sendiri, pemimpin-pemimpin negara lain di dunia pasti ketawa-ketiwi melihat Indonesia yang kita cintai ini. Ketika wakil-wakil rakyat memutuskan UU meskipun dengan “drama”, anehnya pemimpin Republik Indonesia sendiri sekaligus pihak yang paling berpengaruh di parlemen (PD juara pemilu 2009) merasa kuciwa dengan keputusan tersebut, menebar kekecewaannya lewat medsos lagi, di negara lain lagi. Itu sama saja dengan menebar kekecewaan tentang keluarga sendiri di rumah tetangga. Selesaikah? kebanyakan malah menjadi bahan gunjingan orang lain loo. Hahaha. Pak SBY ini sepertinya sering galau dan ingin mengajak kita sebagai rakyat galau juga. Beliau lebih suka mencurahkan perasaannya untuk didengar orang lain, padahal sebagai seorang pemimpin yang suaranya selalu didengar dan menjadi panutan rakyat, lebih elok jika beliau tidak sering-sering membuat kegalauan dan kegaduhan di tingkat “grassroot” rakyat. Jika sering-sering diberi “air yang menenangkan” grassroot tersebut akan tumbuh hijau dan segar, namun ketika sering-sering diperciki api (di obong-obongi) maka jangan heran kalau kami selalu gaduh dan mudah terbakar loo pak. Hehehe. Akhirul kata, “Pak SBY enough pak, jangan lebay dan bikin galau lagi”…………………….
Sumber : http://ift.tt/1rKbmHn