Suara Warga

ORBA Dibalik Topeng Koalisi Merah Putih

Artikel terkait : ORBA Dibalik Topeng Koalisi Merah Putih

MENOLAK LUPA !. Slogan sederhana untuk terus menerus mengingatkan kita pada masa lalu yang suram. Satu zaman yang penuh kebinasaan dan durjana. Menggugah memori kolektif untuk tidak begitu saja membuang kebiadaban masa lalu. Sebagai bangsa pemaaf, tidak serta merta menutup dan melupakan kesalahan yang pernah terjadi di masa lalu. Ingatan itu beguna agar situasi kelam masa lalu tidak terjadi lagi saat ini. Dimana zaman yang dipimpin dengan pemerintahan yang totaliter tidak bangkit kembali. Itulah zaman Orde Baru (Orba).

Namun, alih-alih mengubur dalam kekejaman masa lalu, justru ada kehendak untuk membangkitkan kembali. Dengan kamuflase dan romantisme. Para elit politik menyihir rakyat dengan kisah palsu dan romantisme semu. Menutup ingatan kolektif, dengan kamuflase politik. Sinyalemen yang menyatakan, tidak semua hal yang berbau Orba itu buruk; reformasi telah gagal mensejahterakan rakyat; Harga beras masih lebih baik waktu Orba; Reformasi telah melahitkan kekacauan disana-sini; adalah sekelumit dari terjemahan dari “Piye kabare? Isih penak jamanku toh? . Dengan ikon Soeharto, sang totaliter. Sihir ini pula yang membalik keadaan, menjadikan penjahat Soeharto dinobatkan sebagai Pahlawan. Kita memang bangsa pemaaf, tapi tidak boleh melupakan suramnya masa lalu.

Kehendak Koalisi Merah Putih (KMP) untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah kembali ke model lama, hanya satu bagian kecil, upaya untuk membangkitkan kembali marwah Orba. Pelbagai peristiwa dan momentum politik dalam perjalananya menunjukan upaya untuk kembali ke masa lalu yang suram. Bagaimana Prabowo pernah menyatakan bahwa Pilpres 2014 adalah pemilihan langsung terakhir. Dan akan berupaya untuk melakukan amandemen UUD 1945, agar Presiden dipilih kembali oleh MPR. Lihatlah, Aburizal Bakrie dengan pongahnya menyerukan kepada kader-kader Golkar harus berbangga hati menjadi bagian dari Orde Baru. Menghalalkan segala cara dan melabrak hukum; Mengergaji kewenangan KPK dengan merevisi undang-undang; Membandingkan korupsi saat ini dengan zaman Orde Baru; melindungi kepentingan golongan kekuasaan atas jeratan hukum; itulah upaya-upaya sistematis dilakukan oleh para antek-antek Orba demi mengembalikan kekuasaan yang totaliter.

Tiga ciri yang tidak bisa dilepaskan dari karakter pemerintahan totaliter Orde Baru, yakni: pertama, menjauhkan dan memisahkan rakyat dari hak-haknya. Mulai dari hak politik hingga hak budaya yang menjadi roh kehidupan rakyat sesungguhnya. Rakyat tidak perlu berpolitik cukup diwakilkan saja kepada para elit politik. Partisipasi politik rakyat sesuatu yang haram hukumnya bagi kekuasaan model Orde Baru.

Karakter kedua, menempatkan penguasa dan kekuasaan menjadi pemilik kebenaran dan interprestasi tunggal dalam setiap persoalan berbangsa dan bernegara. Stigma yang tergambar, rakyat belum siap, rakyat kita masih bodoh dan gampang dibodohi. Apa itu Pancasila, UUD 1945, hukum, demokrasi, salah dan benar, semuanya milik kekuasaan mutlak. Pada posisi ini rakyat ditempatkan sekedar alas kaki bagi kekuasaan. Penguasa wajib dilayani bukan melayani; status sosial pejabat negara menempati harkat tertinggi di negara ini, dibandingkan dengan kusir andong.

Karakter ketiga, menjadikan hukum dan aparatusnya menjadi tameng dan alat represi. Alat negara menjadi alat penguasa. Hukum menjadi instrumen melanggengkan kekuasaan dan menindas para penentang. Sebagaimana para elit politik membentuk undang-undang untuk melindungi di satu sisi dan menekan di sisi lainnya.

Soeharto telah wafat, semoga khusnul khotimah. Tetapi nilai dan ajarannya tidak lekang oleh waktu. Dan masih diyakini sebagai ajaran suci untuk mengelola negara ini. Para jamaah dan pengikut ajaran soehartoisme secara organisatoris diwakili oleh Golkar. Dalam perkembangannya, Golkar bukanlah diartikan satu organisasi politik, atau partai politik an sich. Tapi, suatu jaringan terstruktur dan terkonsolidasi dengan baik. Termasuk orang per orang yang memang hidup tumbuh besar dan dibesarkan dalam rahim Orde Baru. Diantaranya: Prabowo, Wiranto, Yusuf Kalla, Surya Paloh, Sutiyoso, Hendropriyono, yang berada di luar kepengurusan Golkar. Aparat birokrasi di semua jajaran pemerintahan yang dahulu bergabung dalam Korpri dan menjadi bagian dari pilar Orde Baru. Tak mengherankan jika antek seperti Aburizal Bakrie mendewakan Soeharto. Karena hidup besarnya group Bakrie hasil konsesi yang diberikan saat Ginanjar Kartasasmita ada di dalam kabinet.

Para antek-antek inilah yang meromantisir situasi masa lalu. Suatu zaman keemasan di bawah pemerintahan Soeharto. Dan menuding gerakan reformasi untuk menjatuhkannya adalah agenda asing. Memanipulasi sejarah adalah kelihaian dari para antek-antek ini. Menggabarkan situasi zaman Soeharto rakyat yang makmur tanpa ada gejolak politik seperti sekarang.

Bagaimana mungkin pemerintahan paska reformasi dapat mencapai kesejahteraan dalam waktu singkat. Jika Soeharto meninggalkan beban hutang 1800 trilyun kepada pewarisnya. Hutang luar negri inilah yang mengakibatkan neraca anggaran kita selalu defisit demi membayar hutang sedikit demi sedikit. Bagaimana pemerintahan dapat segera memberantas korupsi di sektor migas, jika sejak hulu di zaman Ibnu Soetowo, Pertamina menjadi ladang uang bagi keluarga cendana. Ditambah masih ikutsertanya mereka dalam mafia sampai saat ini. Dan meminjam uang dari lembaga keuangan asing sebesar 10 milyar dollar. Bagaimana pemerintahan bisa tegas terhadap pengelolaan SDA yang dirampok para investor Asing, jika penandatanganan kontrak baik kepada Freeport, Exxon BP Shell, Cevron, Total, dan lainnya terjadi pada masa pemerintahan Soeharto dan berjangka panjang.

Termasuk menutup pelanggaran HAM masa lalu. Dengan dalih penangkapan bukan penculikan. Bertindak atas nama negara untuk stabilitas nasional. Di negara demokratis manapun di dunia ini, pelanggaran dan kejahatan menjadi domain dari polisi bukan tentara untuk menindaknya. Itupun polisi harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Inilah satu ciri dari negara totaliter, dimana tentara menjadi alat represi untuk menakuti rakyat sendiri. Anehnya, tindakan biadab itu dibenarkan dan tersandang gelar pahlawan dan ksatria. Darimana logika itu hadir, seorang tentara bersenjata dianggap pahlawan melawan rakyat sipil tak bersenjata.

Menuduh rakyat tidak siap berpolitik, dan bisa rusak moralnya karena maraknya politik uang sebagai penanda arogansi kekuasaan atas rakyat. Rakyat yang menjadi korban malah disalahkan (blind of victim). Sama seperti korban perkosaan yang disalahkan karena menggunakan rok mini. Bukankah yang merusak moral rakyat adalah para politisi dengan memberi janji uang dan materi. Para pelaku inilah yang seharusnya dihukum dengan menjalankan penegakan hukum sebagaimana mestinya. Bukan meniadakan hak politik rakyat yang berposisi sebagai korban. Jalan pikiran seperti ini, memang karakter dari para antek-antek Orde Baru. Menjadi dalil absah untuk mengembalikan dan membangkitkan kembali pemerintahan totaliter.

Konsolidasi demokrasi yang tengah dijalankan saat ini sesungguhnya untuk mencapai cita-cita reformasi secara total. Upaya ini tidak semudah yang dibayangkan dapat tercapai dalam waktu singkat. Karena racun dan virus orde baru selama 32 tahun telah menghujam dalam nadi kehidupan. Dengan terapi “menolak lupa”, kita akan selalu diingatkan betapa Orde Baru punya daya hancur yang begitu dahsyat. Harus dikubur dan dipendam dalam. Membangkitkan kembali racun dan virus itu oleh KMP yang dimotori oleh Golkar, merupakan bahaya laten yang wajib diwaspadai. Sikap politik para jamaah pro reformasi sudah selayaknya menentang dan lawan !.




Sumber : http://ift.tt/YmhL0a

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz