Mewujudkan Wacana Banggar DPR Memisahkan Ditjen Pajak (Solusi Pemilu, Pilpres dan Pilkada)
Target penerimaan pajak yang tidak tercapai secara berturut-turut sejak tahun 2007 hingga tahu lalu menyebabkan Banggar DPR mewacana pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan.
Menurut anggota Banggar DPR Markus Nari pertumbuhan penerimaan pajak yang kian menurun menunjukkan rendahnya manajemen dari Ditjen Pajak. Oleh karena itu, perlu ada kemandirian dari Ditjen Pajak agar pengelolaan perpajakan lebih optimal. ( http://ift.tt/1q9fVt7 )
Wacana pemisahan Ditjen Pajak bukan merupakan persoalan mudah seperti membalik telapak tangan. Kendala utama justru berasal dari UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara dan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Pembentukan NKRI bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dan pengalaman rezim Soeharto mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI menggunakan Sumber Daya Alam berupa minyak ternyata tidak bertahan lama. Hutangpun dilakuan namun justru menimbulkan krisis tahun 1998 dan tumbangnya rezim Soeharto.
Presidenpun silih berganti dan seiring pergantian presiden hutangpun tidak berkurang tapi justru bertambah. Anak cucu seharusnya kesejahteraannya lebih baik justru mendapat warisan hutang. Jika demikian masihkah berharap mereka mempertahankan keutuhan NKRI, masih relevankah slogan “NKRI Harga Mati”
Paradigma baru bahwa Pajak sebagai bentuk gotong-royong untuk mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI hendaklah menjadi pesan moral betapa pentingnya peran pajak untuk keberlangsungan kehidupan kenegaraan. Dengan demikian Pajak bukan lagi sebagai suatu kewajiban yang memberatkan, namun merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan hidup layak dan sejahtera, kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kebutuhan hidup tentram dan damai.
Peran dan tanggung-jawab pajak merupakan amanah yang demikian besar tentu menjadi efektif dan efisien manakala amanah tersebut diemban oleh Pejabat Tinggi Negara yang independen dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan apapun dan oleh siapapun
Apabila Banggar DPR benar-benar serius berjuang untuk kepentingan rakyat dan sesuai UUD 1945 Bab II : MPR dan Bab XVI : Perubahan UUD maka sebaiknya Banggar DPR tidak sekedar berwacana . Sudah saatnya Banggar DPR menunjukan kualitasnya melakukan lobi politik agar terpenuhi persyaratan perubahan UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Penerimaan Negara. Pasal 23 dan Pasal 23 A dilakukan amandemen sehingga berbunyi :
1. Mengubah Pasal 23 ayat (2) sehingga menjadi :
a. Presiden bersama-sama dengan Lembaga Penerimaan Negara menyusun Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara
b. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
2. Menambah 1 ayat pada Pasal 23 A sehingga berbunyi :
(1) Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23A ayat (1) Negara memiliki Lembaga Penerimaan Negara yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang
Jika dikaitkan dengan sistem pemungutan kepala daerah tentu tidak menjadi masalah yang rumit penyelesaiannya manakala kebutuhan masyarakat hidup layak dan sejahtera, kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kebutuhan hidup tentram dan damai terpenuhi.
Kerusuhan, biaya tinggi penyelenggaraan pilkada dan politik dinasti serta money politic akan terjadi dalam pilkada langsung manakala negara masih tertatih-tatih mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 .
Keraguan atas kualitas, keberpihakan kepala daerah (Ahok mengistilahkan penghambaan kepala daerah kepada DPRD), kesan terpasungnya demokrasi dan money politic tentu tidak akan terjadi pada pilkada tidak langsung manakala negara sudah dapat mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Pilpres maupun Pilkada baik secara langsung (dipilih rakyat) maupun tidak langsung (Presiden dipilih MPR, Kepala Daerah dipilih DPRD) bukan merupakan suatu persoalan manakala negara sudah dapat mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI
Pelaksanaan Pemilu dengan sistem pencoblosan merupakan pemborosan waktu, tenaga dan hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidaklah heran tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya informasi yang memadai kandidat yang akan dipilih.
Sungguh disayangkan kalau biaya Pemilu, Pilpres maupun Pilkada yang sangat besar menghasilkan wakil rakyat, Presiden maupun Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi harapan masyarakat yang memilihnya apalagi harapan masyarakat yang tidak memilihnya. Secara kasat mata uneg-uneg ketidakpuasan disampaikan masyarakat dengan canda atau obrolan warung kopi tanpa solusi.
Masihkah berpola fikir pajak sebagai kewajiban yang memberatkan dan meragukan pajak sebagai kebutuhan sehingga menganggap tidak penting dan cukup diurus oleh direktorat saja ?
Sudah saatnya negara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya agar Pemilu, Pilpres maupun Pilkada tidak lagi jadul (mencoblos,sistem token dan dihitung manual). Capeeeekkk deeehhh.
Kita tunggu “Politic Will” Jokowi-JK dan MPR (DPR dan DPD) yang terpilih dari yang dipilih masyarakat.
Sumber : http://ift.tt/1v33O3r
Menurut anggota Banggar DPR Markus Nari pertumbuhan penerimaan pajak yang kian menurun menunjukkan rendahnya manajemen dari Ditjen Pajak. Oleh karena itu, perlu ada kemandirian dari Ditjen Pajak agar pengelolaan perpajakan lebih optimal. ( http://ift.tt/1q9fVt7 )
Wacana pemisahan Ditjen Pajak bukan merupakan persoalan mudah seperti membalik telapak tangan. Kendala utama justru berasal dari UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara dan UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Pembentukan NKRI bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dan pengalaman rezim Soeharto mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI menggunakan Sumber Daya Alam berupa minyak ternyata tidak bertahan lama. Hutangpun dilakuan namun justru menimbulkan krisis tahun 1998 dan tumbangnya rezim Soeharto.
Presidenpun silih berganti dan seiring pergantian presiden hutangpun tidak berkurang tapi justru bertambah. Anak cucu seharusnya kesejahteraannya lebih baik justru mendapat warisan hutang. Jika demikian masihkah berharap mereka mempertahankan keutuhan NKRI, masih relevankah slogan “NKRI Harga Mati”
Paradigma baru bahwa Pajak sebagai bentuk gotong-royong untuk mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI hendaklah menjadi pesan moral betapa pentingnya peran pajak untuk keberlangsungan kehidupan kenegaraan. Dengan demikian Pajak bukan lagi sebagai suatu kewajiban yang memberatkan, namun merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan hidup layak dan sejahtera, kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kebutuhan hidup tentram dan damai.
Peran dan tanggung-jawab pajak merupakan amanah yang demikian besar tentu menjadi efektif dan efisien manakala amanah tersebut diemban oleh Pejabat Tinggi Negara yang independen dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan apapun dan oleh siapapun
Apabila Banggar DPR benar-benar serius berjuang untuk kepentingan rakyat dan sesuai UUD 1945 Bab II : MPR dan Bab XVI : Perubahan UUD maka sebaiknya Banggar DPR tidak sekedar berwacana . Sudah saatnya Banggar DPR menunjukan kualitasnya melakukan lobi politik agar terpenuhi persyaratan perubahan UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Penerimaan Negara. Pasal 23 dan Pasal 23 A dilakukan amandemen sehingga berbunyi :
1. Mengubah Pasal 23 ayat (2) sehingga menjadi :
a. Presiden bersama-sama dengan Lembaga Penerimaan Negara menyusun Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara
b. Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
2. Menambah 1 ayat pada Pasal 23 A sehingga berbunyi :
(1) Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23A ayat (1) Negara memiliki Lembaga Penerimaan Negara yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang
Jika dikaitkan dengan sistem pemungutan kepala daerah tentu tidak menjadi masalah yang rumit penyelesaiannya manakala kebutuhan masyarakat hidup layak dan sejahtera, kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kebutuhan hidup tentram dan damai terpenuhi.
Kerusuhan, biaya tinggi penyelenggaraan pilkada dan politik dinasti serta money politic akan terjadi dalam pilkada langsung manakala negara masih tertatih-tatih mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 .
Keraguan atas kualitas, keberpihakan kepala daerah (Ahok mengistilahkan penghambaan kepala daerah kepada DPRD), kesan terpasungnya demokrasi dan money politic tentu tidak akan terjadi pada pilkada tidak langsung manakala negara sudah dapat mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Pilpres maupun Pilkada baik secara langsung (dipilih rakyat) maupun tidak langsung (Presiden dipilih MPR, Kepala Daerah dipilih DPRD) bukan merupakan suatu persoalan manakala negara sudah dapat mewujudkan cita-cita pembentukan NKRI
Pelaksanaan Pemilu dengan sistem pencoblosan merupakan pemborosan waktu, tenaga dan hilangnya kesempatan mencari nafkah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sehingga tidaklah heran tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah. Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya informasi yang memadai kandidat yang akan dipilih.
Sungguh disayangkan kalau biaya Pemilu, Pilpres maupun Pilkada yang sangat besar menghasilkan wakil rakyat, Presiden maupun Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi harapan masyarakat yang memilihnya apalagi harapan masyarakat yang tidak memilihnya. Secara kasat mata uneg-uneg ketidakpuasan disampaikan masyarakat dengan canda atau obrolan warung kopi tanpa solusi.
Masihkah berpola fikir pajak sebagai kewajiban yang memberatkan dan meragukan pajak sebagai kebutuhan sehingga menganggap tidak penting dan cukup diurus oleh direktorat saja ?
Sudah saatnya negara mengumpulkan pajak sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan rakyatnya agar Pemilu, Pilpres maupun Pilkada tidak lagi jadul (mencoblos,sistem token dan dihitung manual). Capeeeekkk deeehhh.
Kita tunggu “Politic Will” Jokowi-JK dan MPR (DPR dan DPD) yang terpilih dari yang dipilih masyarakat.
Sumber : http://ift.tt/1v33O3r