Mengapa Sistem Demokrasi di Indonesia Ringkih Sekali?
Sejarah demokrasi di Indonesia yang dimulai dengan pemilu tahun 1955 hingga kini telah menjalani ujian dan masa dimana hanya ‘kita, bangsa ini, dengan komitmen yang tinggi’ yang bisa menentukan kemana arah dan sebaik apa kualitas sistem demokrasi kita dalam menjamin hak hak dan kewajiban individu selaku warga negara sebagaimana tertuang dalam konstitusi UUD 45.
Sepanjang perjalanannya, demokrasi di Indonesia telah terkhianati berulang kali oleh penguasa terpilih, melalui partai dan usaha usaha mereka secara terselubung membentuk ‘elit politik’ yang tidak memperdulikan kepentingan warga negaranya. Ini membuktikan bahwa ada celah sangat besar didalam sistem kita untuk bisa dipelintir guna melanggengkan kekuasaan dan kepentingan kelompok. Berulangkali penguasa terpilih telah memanipulasi dan mempermainkan akal sehat yang merupakan dasar iklim demokrasi, berusaha untuk ‘menjegal’ kepentingan rakyat banyak. Berbagai kondisi dan alasan yang muncul ketika Presiden Sukarno mengukuhkan diri sebagai presiden seumur hidup, Presiden Suharto yang memanipulasi pertumbuhan pembangunan dengan membungkam media sebagai bagian dari kontrol, pun semenjak reformasi diberlakukan, masih terlihat jelas iklim ‘kepentingan dan konflik partai’ lebih mendominasi daripada ‘bekerja’ membangun negri.
Terakhir adalah konflik wacana dan ideologi pasca pilpres 2014 yang melahirkan koalisi koalisi dan kubu kubu partai, melupakan urgensi dan prioritas kepentingan rakyat banyak. Rakyat tersingkirkan setelah keterlibatan dalam memberikan suara mereka selesai. Habis manis sepah dibuang, istilahnya. Suara dan wacana yang diangkat media media dan petisi petisi diluar kubu dan koalisi yang bermunculan seakan tak berkekuatan apa apa. Kini muncul wacana akhir mengenai UU MD3 dan RUU Pilkada yang disinyalir akan lebih jauh menepis suara rakyat.
Hal ini telah ‘menggugah’ sebagian orang bahwa sudah saatnya kini, sistem demokrasi harus diperkuat dengan sistem peradilan yang membuka ruang bagi rakyat ikut menentukan berbagai putusan baik politik maupun sosial melalui sistem peradilan yang kuat dan bersih dari kepentingan apapun kecuali cita cita UUD45.
Sejauh ini usaha usaha rakyat untuk menuntut hak hak dan amanat yang terkhianati oleh penguasa adalah melalui demonstrasi demonstrasi jalanan dan pemberontakan pemberontakan kelompok seperti peristiwa malari 1974, tritura 1966 dan yang terakhir adalah reformasi Mei 1998 yang kesemuanya telah mengeluarkan korban jiwa dan kerugian yang sangat besar tak hanya pada infrastruktur negara juga jiwa dan raga rakyat sendiri.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan gaya komunikasi massa masa kini, telah muncul cara cara yang telah dibuktikan secara internasional efektif yang mempunyai cakupan tidak hanya lintas negara akan tetapi sudah lintas pemerintahan dan birokrasi, yakni petisi online. Cara ini telah dibuktikan sebagai cara yang sangat kuat dan efisien, lebih damai dan mempunyai efek ‘zero loss’ baik fisik dan materiil. Avaaz.com sebagai pionir paling poluper telah menyelamatkan beribu kepentingan ‘yang terlupakan’ dengan melibatkan konstituen lintas negara dan wilayah guna mendesak ‘penguasa’ memutuskan keputusan yang adil dan memastikan bahwa ’seluruh dunia’ memperhatikan.
Keterlibatan efektifitas teknologi telah dibuktikan pada pemilihan umum terakhir meski batasannya baru hanya kepentingan kampanye kampanye saja. Change.org yang lebih banyak dipakai oleh mereka yang memulai perjuangan menjaring petisi di masayarakat Indonesia dapat memunculkan kekuatan hukum yang berarti. Seharusnya ini bisa dijadikan sebagai aset hukum bagi terjaminnya ‘kekuasaan’ adalah ditangan rakyat. MA atau MK bisa saja mengukuhkan bahwa petisi online mempunyai kekuatan hukum untuk menolak atau membatalkan sebuah UU yang diketahui telah mengelabuhi demokrasi.
Pada akhirnya, negri ini seharusnya tak perlu mempunyai sistem ‘njlimet’ jika kontrol dan wibawa hukum memenuhi akal sehat. MK yang telah populer sebagai ‘the Hero‘ dalam sengketa panas Pilpres kemarin telah memberi contoh bahwa keputusannya yang berpihak pada demokrasi daripada kepentingan segelintir kelompok dapat dijadikan batu loncatan komitmen peradilan Indonesia untuk lebih memihak pada akal sehat dan demokrasi. Demokrasi yang kuat hanya bisa ditegakkan dengan sistem peradilan yang bersih dan bebas dari kepentingan apapun kecuali mendukung perwujudan cita cita konstitusi UUD 45.
referensi dan sumber:
http://ift.tt/1xSIt04
http://ift.tt/1xSIqRP
http://ift.tt/QmWHlg
http://ift.tt/1xSIqRQ
http://ift.tt/1tGtxMe
http://ift.tt/1xSIt06
http://ift.tt/1tGty2u
http://ift.tt/1zDbIlT ).
http://ift.tt/1nn6qRW
http://ift.tt/YJoj98
Sumber : http://ift.tt/1tGtz6H
Sepanjang perjalanannya, demokrasi di Indonesia telah terkhianati berulang kali oleh penguasa terpilih, melalui partai dan usaha usaha mereka secara terselubung membentuk ‘elit politik’ yang tidak memperdulikan kepentingan warga negaranya. Ini membuktikan bahwa ada celah sangat besar didalam sistem kita untuk bisa dipelintir guna melanggengkan kekuasaan dan kepentingan kelompok. Berulangkali penguasa terpilih telah memanipulasi dan mempermainkan akal sehat yang merupakan dasar iklim demokrasi, berusaha untuk ‘menjegal’ kepentingan rakyat banyak. Berbagai kondisi dan alasan yang muncul ketika Presiden Sukarno mengukuhkan diri sebagai presiden seumur hidup, Presiden Suharto yang memanipulasi pertumbuhan pembangunan dengan membungkam media sebagai bagian dari kontrol, pun semenjak reformasi diberlakukan, masih terlihat jelas iklim ‘kepentingan dan konflik partai’ lebih mendominasi daripada ‘bekerja’ membangun negri.
Terakhir adalah konflik wacana dan ideologi pasca pilpres 2014 yang melahirkan koalisi koalisi dan kubu kubu partai, melupakan urgensi dan prioritas kepentingan rakyat banyak. Rakyat tersingkirkan setelah keterlibatan dalam memberikan suara mereka selesai. Habis manis sepah dibuang, istilahnya. Suara dan wacana yang diangkat media media dan petisi petisi diluar kubu dan koalisi yang bermunculan seakan tak berkekuatan apa apa. Kini muncul wacana akhir mengenai UU MD3 dan RUU Pilkada yang disinyalir akan lebih jauh menepis suara rakyat.
Hal ini telah ‘menggugah’ sebagian orang bahwa sudah saatnya kini, sistem demokrasi harus diperkuat dengan sistem peradilan yang membuka ruang bagi rakyat ikut menentukan berbagai putusan baik politik maupun sosial melalui sistem peradilan yang kuat dan bersih dari kepentingan apapun kecuali cita cita UUD45.
Sejauh ini usaha usaha rakyat untuk menuntut hak hak dan amanat yang terkhianati oleh penguasa adalah melalui demonstrasi demonstrasi jalanan dan pemberontakan pemberontakan kelompok seperti peristiwa malari 1974, tritura 1966 dan yang terakhir adalah reformasi Mei 1998 yang kesemuanya telah mengeluarkan korban jiwa dan kerugian yang sangat besar tak hanya pada infrastruktur negara juga jiwa dan raga rakyat sendiri.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan gaya komunikasi massa masa kini, telah muncul cara cara yang telah dibuktikan secara internasional efektif yang mempunyai cakupan tidak hanya lintas negara akan tetapi sudah lintas pemerintahan dan birokrasi, yakni petisi online. Cara ini telah dibuktikan sebagai cara yang sangat kuat dan efisien, lebih damai dan mempunyai efek ‘zero loss’ baik fisik dan materiil. Avaaz.com sebagai pionir paling poluper telah menyelamatkan beribu kepentingan ‘yang terlupakan’ dengan melibatkan konstituen lintas negara dan wilayah guna mendesak ‘penguasa’ memutuskan keputusan yang adil dan memastikan bahwa ’seluruh dunia’ memperhatikan.
Keterlibatan efektifitas teknologi telah dibuktikan pada pemilihan umum terakhir meski batasannya baru hanya kepentingan kampanye kampanye saja. Change.org yang lebih banyak dipakai oleh mereka yang memulai perjuangan menjaring petisi di masayarakat Indonesia dapat memunculkan kekuatan hukum yang berarti. Seharusnya ini bisa dijadikan sebagai aset hukum bagi terjaminnya ‘kekuasaan’ adalah ditangan rakyat. MA atau MK bisa saja mengukuhkan bahwa petisi online mempunyai kekuatan hukum untuk menolak atau membatalkan sebuah UU yang diketahui telah mengelabuhi demokrasi.
Pada akhirnya, negri ini seharusnya tak perlu mempunyai sistem ‘njlimet’ jika kontrol dan wibawa hukum memenuhi akal sehat. MK yang telah populer sebagai ‘the Hero‘ dalam sengketa panas Pilpres kemarin telah memberi contoh bahwa keputusannya yang berpihak pada demokrasi daripada kepentingan segelintir kelompok dapat dijadikan batu loncatan komitmen peradilan Indonesia untuk lebih memihak pada akal sehat dan demokrasi. Demokrasi yang kuat hanya bisa ditegakkan dengan sistem peradilan yang bersih dan bebas dari kepentingan apapun kecuali mendukung perwujudan cita cita konstitusi UUD 45.
referensi dan sumber:
http://ift.tt/1xSIt04
http://ift.tt/1xSIqRP
http://ift.tt/QmWHlg
http://ift.tt/1xSIqRQ
http://ift.tt/1tGtxMe
http://ift.tt/1xSIt06
http://ift.tt/1tGty2u
http://ift.tt/1zDbIlT ).
http://ift.tt/1nn6qRW
http://ift.tt/YJoj98
Sumber : http://ift.tt/1tGtz6H