Suara Warga

Koalisi Pembodohan

Artikel terkait : Koalisi Pembodohan



14107270272090850050 Politisi yang bergembira dengan terpenuhinya harapan rakyat, lebih dibutuhkan negeri ini daripada politisi yang hanya gembira saat terpenuhinya harapan kelompok mereka saja (Gbr: Baranews)



Apa yang saya temukan dari berbagai argumen yang disampaikan pengusung Pilkada lewat DPRD, tak lebih dari skenario pembodohan yang dipoles begitu rupa agar terlihat cerdas. Alasan-alasan yang disampaikan cenderung masuk akal, memang, tapi tentunya hanya di akal milik mereka. Bentuk akal yang lebih tepat disebut akal-akalan.

Mereka ingin mengakali, bagaimana caranya bisa menelikung dari belakang, lewat skenario yang masif mereka kampanyekan belakangan ini. Ya, menelikung rival politik mereka, yang gagal mereka bendung meski telah melakukan berbagai cara–hingga yang terburuk–namun tetap berhasil menguasai negeri ini. Kepalang basah, “Kita masih memiliki kekuatan di DPR dan DPRD”, begitulah ungkapan yang pernah disemburkan “tokoh besar” koalisi tersebut, Prabowo Subianto, setelah dipastikan kalah pada Pemilihan Presiden belum lama ini. Jadi, dilakukanlah segala cara, di antaranya bersikeras mengembalikan pemilihan pemimpin daerah lewat DPRD dinilai mereka lebih tahu apa yang dibutuhkan rakyat.

Koalisi berbadan besar itu lebih terlihat sebagai koalisi yang berpotensi melahirkan masalah besar. Setidaknya begitulah firasat saya menyimak gerak-gerik segerombolan politisi yang patah hati tersebut.

Sedikit muluk, saya membayangkan andai koalisi besar itu bisa melahirkan ide-ide besar, yang bisa berdampak besar secara positif untuk rakyat di negeri ini, saya yakini kelak mereka akan diingat sebagai tokoh besar di negeri ini. Jika kekuatan besar itu digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah besar di negeri ini, maka mereka bisa membuat negara ini akan diakui sebagai negara besar.

Tapi, yang sedang mereka pertontonkan saat ini sama sekali bukan begitu. Justru lebih kental terlihat, bagaimana caranya membalaskan sakit hati. Galibnya orang sakit, sebesar apapun jumlah mereka, tak ada lagi yang bisa dikerjakan kecuali menularkan penyakit.

Andai mereka berpolitik secara sehat, maka selayaknya orang sehat, dengan jumlah kecil saja bisa melakukan banyak hal, apatah lagi jika orang sehat berjumlah besar, pasti akan jauh lebih banyak yang bisa dilakukan. Sayangnya, mereka lebih menyenangi terlihat sebagai “orang sakit”, karena berharap bisa dikasihani oleh rakyat yang sebagian telah berhasil dikibuli.

Lagi-lagi, ini memang berkait kembali pada keputusan mereka sendiri. Alih-alih mereka memakai “logika sehat”, mereka memilih “logika sakit”. Berharap sebuah negara dipikirkan oleh politisi “berlogika sakit”, apalagi yang bisa dihasilkan kecuali malah membuat negara ikut sakit. Apalagi–sekali lagi–di negara yang memang telah sakit, membiarkan koalisi sakit tetap bercokol, sama artinya mendekatkan negara ini pada kematian.

Berlebihankah kesimpulan itu? Mungkin iya, tapi silakan simak kembali bagaimana alur sesuatu mengarah ke sesuatu.

Syukurnya, tak semua yang bersahabat dengan yang berpenyakit, larut dalam rasa iba. Mereka memilih mensterilkan dirinya, menjauh dari posisi yang mereka rasakan hanya akan membuat mereka ikut sakit. Apalagi ia melihat tak ada iktikad dari sahabat tersebut untuk menyembuhkan dirinya dari penyakit. Walaupun ia sendiri prihatin dengan penyakit itu dan mengasihaninya, namun apa yang bisa ia perbuat jika si sakit tak memiliki keinginan kuat untuk sembuh?

Beberapa politisi di level nasional hingga daerah, memilih tetap waras. Lantaran mereka masih menghargai akal sehat. Mereka menyadari, hanya akal sehat yang bisa menuntun mereka untuk berpolitik sehat, dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara sehat.

Mereka yang sadar ini tahu sekali, cara-cara tidak sehat hanya akan membuat makin banyak hal kian rentan penyakit. Kuman-kuman bisa kian menebar. Tak ada yang bisa diharapkan dari keberadaan kuman penyakit, kecuali hanya menghalangi mereka untuk melakukan banyak hal sebagai orang sehat.

Negara ini butuh banyak hal yang sehat-sehat saja. Saat politisi sakit, ada hal yang masih bisa disyukuri, bahwa masih banyak rakyat yang tetap bertahan memilih hidup yang sehat: membenci hal-hal kotor yang kerap menjadi penyebab utama timbulnya berbagai penyakit, termasuk penyakit pada akal dan pikiran.

Hanya dari orang-orang sehat saja masih bisa diharapkan banyak hal baik bisa diwujudkan. Politik sehat, kebijakan sehat, rencana sehat, dan tindakan-tindakan sehat saja yang bisa membangkitkan optimisme di negeri ini. Lantaran, hanya dari sanalah bisa diharapkan kelak negeri ini menjadi negara sehat, dengan ekonomi yang sehat, dan kultur sehat di tengah masyarakatnya. Karenanya, membiarkan pikiran-pikiran tidak sehat mewabah, sama artinya ikut andil membuat negeri ini kian digerogoti penyakit.

Untuk itu, di tengah gencarnya rencana-rencana yang keluar dari pikiran sakit, mudah-mudahan saja pikiran sehat lebih mendapatkan tempat. Setidaknya, agar negeri ini tidak berjalan di tempat. Semoga. (Twitter: @ZOELFICK)




Sumber : http://ift.tt/1tSDyG2

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz