Kau Curangi Aku (Sebuah Senandung Galau)
Oleh: Pietro T. M. Netti

Gaungnya hebat…berusaha membentuk opini dan meyakinkan publik “seolah-olah” dicurangi. Ranah hukum dicampuradukkan dgn ranah kode etik, bahkan politik. Maklum yg berperkara orang politik…selalu “salah masuk pintu”. Hanya banyak omong yang ujung-ujungnya kosong…Rakyat diprovokasi oleh segelintir elit yang suka “cari nama” dengan alasan “kau curangi aku”.
Akhir yang tragis memang menurut mereka yg katanya sudah bekerja keras…! Katanya kerja keras mereka adalah menghadirkan fakta/bukti hukum yang mencengangkan…padahal menggelikan…Maklum para praktisi hukum pun telah terkontaminasi politik bahkan pandai berpolitik…
Seluruh proposal dengan dalil-dalil yang diajukan diabaikan oleh para pengadil…Karena bisa jadi fakta hukum yang dihadirkan hanya berupa argumen politik dan argumen etik yang bukan tempatnya. Lagi-lagi praktisi hukum suka berpolitik soalnya…
Semula kredibilitas lembaga survey sudah dipertaruhkan hanya karena pelaku survey pun senang berpolitik..Lembaga survey yang “tidak becus” tersebut telah berani bermain-main dengan apa yang disebut sebagai “seni mengatur dan mengelola”…Hasil survey yang seharusnya pasti karena dilakukan dengan metode-metode ilmiah “diatur dan dikelola” dengan sangat cantiknya, sehingga menghasilkan 2 presiden terpilih di Republik ini…Sungguh konyol…!!
Yang satu mendeklarasikan kemenangan, yang lain sujud syukur karena dibisiki menang dengan total prosentase yang tidak genap…Siapa membodohi siapa? Siapa dibodohi siapa? Yang jelas yang membodohi dan yang dibodohi sama-sama “bodoh”.
Rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh ternyata tidak sebodoh mereka yang saling membodohi dan dibodohi. Lebih baik rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh oleh para pembodoh ternyata tidak bodoh sebodoh mereka yang mengaku tidak bodoh tapi sesungguhnya bodoh…
Pertaruhan kredibel dan tidak kredibel pun dialami oleh media penyiaran (cetak/elekronik). Media dijajal kredibilitasnya dalam hal kualitas dan objektifitas pemberitaan sebagai akibat dari keberpihakan yang tidak rasional dari pemilik media kepada sang “idol”.
Melalui media pun dipertontonkan pertaruhan kredibilatas dari para pakar dan pengamat, dan para praktisi hukum yang membela mati-matian terhadap kliennya. Dan tidak salah juga kalau akhirnya rakyat berani menilai kredibilitas dari para calon yang berkompetisi. Dari kacamata rakyat, yang menang adalah yang kredibel, dan yang kalah sudah pasti tidak kredibel. Sangat simpel!
“Pertarungan” (dalam tanda petik, jangan ditafsir sebagai Perang Badar) sudah lama usai, namun kemenangan baru saja diraih, hanya karena ulah para pecundang yang belum rela. Hak kemenangan dari lawan sengaja diulur-ulur dengan menciptakan opini “kau curangi aku”, “akulah sang pemenang”, “akulah yang mendapatkan mandat rakyat”.
Ternyata “Kau Curangi Aku” bukan lagi menjadi milik Anang seorang, tetapi juga telah menjadi milik seseorang yang lain yang katanya lebih tegas, berani dan bertampang gagah.
Taktik gerilya ala Sudirman disalahgunakan pada keadaan yang salah dan dengan maksud yang salah pula. Sudirman masa lalu bergerilya untuk tujuan yang mulia yakni membebaskan negeri ini dari tangan penjajah. “Sudirman” hari ini bergerilya hanya dengan maksud mengulur waktu(?) hanya karena ternyata tidak siap dan belum berani berhadap-hadapan dengan kehidupan nyata(?). Taktik gerilya yang dilakoni hanya untuk lari dan menghindar dari kenyataan.
Gerilya kini terhenti(?) karena terbentur tembok mahkamah yang kokoh dan berwibawa. Yang semula sengaja dibuat samar, kini menjadi terang benderang oleh ketok palu mahkamah. Dan kini jelaslah, “di alam nyata apa yang terjadi?”
Sejak 21 Agustus 2014, rakyat Indonesia resmi memiliki Presiden Terpilih RI, Ir. Joko Wododo dan Wakil Presiden Terpilih RI, Drs. M. Jusuf Kalla untuk menjadi “RI-1 dan RI-2″ untuk periode 5 tahun ke depan.
Congratulation, Mr. President & Mr. Vice President!
Sumber : http://ift.tt/XjPbLP
Gaungnya hebat…berusaha membentuk opini dan meyakinkan publik “seolah-olah” dicurangi. Ranah hukum dicampuradukkan dgn ranah kode etik, bahkan politik. Maklum yg berperkara orang politik…selalu “salah masuk pintu”. Hanya banyak omong yang ujung-ujungnya kosong…Rakyat diprovokasi oleh segelintir elit yang suka “cari nama” dengan alasan “kau curangi aku”.
Akhir yang tragis memang menurut mereka yg katanya sudah bekerja keras…! Katanya kerja keras mereka adalah menghadirkan fakta/bukti hukum yang mencengangkan…padahal menggelikan…Maklum para praktisi hukum pun telah terkontaminasi politik bahkan pandai berpolitik…
Seluruh proposal dengan dalil-dalil yang diajukan diabaikan oleh para pengadil…Karena bisa jadi fakta hukum yang dihadirkan hanya berupa argumen politik dan argumen etik yang bukan tempatnya. Lagi-lagi praktisi hukum suka berpolitik soalnya…
Semula kredibilitas lembaga survey sudah dipertaruhkan hanya karena pelaku survey pun senang berpolitik..Lembaga survey yang “tidak becus” tersebut telah berani bermain-main dengan apa yang disebut sebagai “seni mengatur dan mengelola”…Hasil survey yang seharusnya pasti karena dilakukan dengan metode-metode ilmiah “diatur dan dikelola” dengan sangat cantiknya, sehingga menghasilkan 2 presiden terpilih di Republik ini…Sungguh konyol…!!
Yang satu mendeklarasikan kemenangan, yang lain sujud syukur karena dibisiki menang dengan total prosentase yang tidak genap…Siapa membodohi siapa? Siapa dibodohi siapa? Yang jelas yang membodohi dan yang dibodohi sama-sama “bodoh”.
Rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh ternyata tidak sebodoh mereka yang saling membodohi dan dibodohi. Lebih baik rakyat kecil yang selalu dibilang bodoh oleh para pembodoh ternyata tidak bodoh sebodoh mereka yang mengaku tidak bodoh tapi sesungguhnya bodoh…
Pertaruhan kredibel dan tidak kredibel pun dialami oleh media penyiaran (cetak/elekronik). Media dijajal kredibilitasnya dalam hal kualitas dan objektifitas pemberitaan sebagai akibat dari keberpihakan yang tidak rasional dari pemilik media kepada sang “idol”.
Melalui media pun dipertontonkan pertaruhan kredibilatas dari para pakar dan pengamat, dan para praktisi hukum yang membela mati-matian terhadap kliennya. Dan tidak salah juga kalau akhirnya rakyat berani menilai kredibilitas dari para calon yang berkompetisi. Dari kacamata rakyat, yang menang adalah yang kredibel, dan yang kalah sudah pasti tidak kredibel. Sangat simpel!
“Pertarungan” (dalam tanda petik, jangan ditafsir sebagai Perang Badar) sudah lama usai, namun kemenangan baru saja diraih, hanya karena ulah para pecundang yang belum rela. Hak kemenangan dari lawan sengaja diulur-ulur dengan menciptakan opini “kau curangi aku”, “akulah sang pemenang”, “akulah yang mendapatkan mandat rakyat”.
Ternyata “Kau Curangi Aku” bukan lagi menjadi milik Anang seorang, tetapi juga telah menjadi milik seseorang yang lain yang katanya lebih tegas, berani dan bertampang gagah.
Taktik gerilya ala Sudirman disalahgunakan pada keadaan yang salah dan dengan maksud yang salah pula. Sudirman masa lalu bergerilya untuk tujuan yang mulia yakni membebaskan negeri ini dari tangan penjajah. “Sudirman” hari ini bergerilya hanya dengan maksud mengulur waktu(?) hanya karena ternyata tidak siap dan belum berani berhadap-hadapan dengan kehidupan nyata(?). Taktik gerilya yang dilakoni hanya untuk lari dan menghindar dari kenyataan.
Gerilya kini terhenti(?) karena terbentur tembok mahkamah yang kokoh dan berwibawa. Yang semula sengaja dibuat samar, kini menjadi terang benderang oleh ketok palu mahkamah. Dan kini jelaslah, “di alam nyata apa yang terjadi?”
Sejak 21 Agustus 2014, rakyat Indonesia resmi memiliki Presiden Terpilih RI, Ir. Joko Wododo dan Wakil Presiden Terpilih RI, Drs. M. Jusuf Kalla untuk menjadi “RI-1 dan RI-2″ untuk periode 5 tahun ke depan.
Congratulation, Mr. President & Mr. Vice President!
Sumber : http://ift.tt/XjPbLP