Koalisi MP jangan bunuh diri nanti demokrasi sepi
Semabuk-mabuknya pemabuk dia takut juga bunuh diri. Kecuali dianiaya atau dibunuh orang lain. Sebab kalau sampai bunuh diri dia tidak akan mabuk lagi. Karena memang mabuk itu sebuah kenikmatan juga dan dia tidak rela kehilangan kenikmatan itu. Benar deh….ngga percaya….? Coba perhatikan orang yang suka mabuk, atau komunitas mabuk? Hari ini dia sempoyongan sampai bisa-bisa tidur di emperan toko jual minuman, ditegur atau diseret satpol PP ke pos jaga, tapi besok dia mabuk lagi. Kalau kelompok mabuk mereka selalu bersama, minum bersama, mabuk bersama, makan juga bersama bahkan lainnya pun bisa juga bersama. Karena….kata teman saya……di etiket botol bir “BINTANG” ada tulisan “Enak diminum bersama teman”. Enak dinikmati bersama teman sekelompok, asyik memang, meski setelah itu mereka sadar ….ternyata ngga ada manfaatnya.
Maaf ya ini sekedar analogi aja. Cuma mau ingatkan agar tidak terlanjur menempa bumerang yang akan balik menghujam diri sendiri dalam pesta demokrasi 2019. Rakyat saat ini sangat kecewa bahkan muak terhadap ulah politisi di Lembaga Terhormat DPR RI, yang terus mengutak-atik perangkat hukum menyangkut hak pilih rakyat. Bukan merecoki anda semua anggota DPR RI yang terhormat melaksanakan tugas legislasi anda, melainkan mengharapkan saudara mendengar bisikan nurani sendiri yang sesungguhnya dan jangan mengikuti nafsu emosional. Lebih lagi mendengar juga suara rakyat kecil. Karena nanti juga pada gilirannya, saudara akan membutuhkan suara rakyat itu. Jangan abaikan begitu saja.
Terus terang rakyat saat ini sudah paham dan mengerti, mengapa anda sebagai anggota Dewan Terhormat berbuat seperti itu. Ya, karena galau akibat kalah piplres kemarin. Tapi jangan kemudian libatkan seluruh rakyat dalam politik balas dendam, sampai-sampai seolah-olah seluruh rakyat yang menyebabkan kegagalan usunganmu. Ingat bahwa, sekitar 62 juta atau 46 persen lebih rakyat pemilih ketika itu bediri dibelakangmu. Selain 70 juta lebih atau sekitar 53 persen di pihak lawan. Dua kelompok pemilih ini, selama ini leluasa menggunakan haknya untuk memilih pimpinan daerahnya sendiri termasuk presiden yang diinginkannya. Kalau hak mereka itu dipasung, bukan hanya pemilih pihak lawan, melainkan juga pemilih pendukung dukungan saudara anggota koalisi MP. Di Papua, sudah terdengar suara pemilih Prabowo yang kecewa terhadap ulah elit barisan sakit hati yang duduk di DPR RI. Emang jumlahnya tidak seberapa, tapi ikut berpengaruh. Buktinya, kemarin di MK malah suara Papua juga yang didalilkan.
Kembali ke “ Koalisi MP jangan bunuh diri nanti demokrasi sepi”. Bukan 2014 saja ada pesta Pilpres. Selama Republik Indonesia berdiri tegak sebagai sebuah Negara di Jagat ini, akan terus ada Pilpres untuk suksesi. Partai pun akan selalu ada bahkan bisa bertambah untuk menjadi peserta dalam pilpres merebut kekuasan secara elegan. Dalam waktu 5 tahun ke depan, yaitu tahun 2019 akan ada lagi Pesta Demokrasi Pemilihan Presiden Republik Indonesia ke-8. Semua partai yang ada, bakal berebut meraih hak suara rakyat. Termasuk kelompok Partai dalam Koalisi Permanen Merah Putih. Kalau sekarang karena alasan macam-macam yang sesungguhnya tidak terlalu kuat, hak rakyat termasuk pemilih pendukung KMP disunat, jangan pikir tidak kecewa, dan jangan kira mereka tidak berpindah. Kekecewaan ini akan tersimpan rapat-rapat dalam hati dan pada saatnya hak mereka itu dibutuhkan, katakan pada pemilu legislatif dan pemilu prsiden 2019, pasti akan buka kembali catatan dalam benaknya. “Aaah…..dulu pileg dan pilpres lalu saya pilih dia tapi kemudian hilangkan hak saya……pilih lain saja”. Bukan ngajak lho……tapi itu kebiasaan pikir orang waras bukan orang mabuk……kalau mabuk pasti lupa……nabrak saja.
Mau bukti. Aktual sekali. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama (Ahok) spontan menantang keluar dari Gerindra kalau RUU Pilkada jadi UU. Alasannya sederhana saja. Waktu di DKI bersama Jokowi, lolos bukan karena karena dipilih DPRD, melainkan karena dipilih rakyat. Di belitung Timur juga begitu, dan bukan karena banyak duit, tapi karena idealisme dan kemurnian niatnya mengabdi kepada rakyat. Rakyat suka yang seperti itu. Kalau dipilih DPRD, mustahil dia dan Jokowi menang, karena koalisi gemuk waktu itu mendukung Foke cs. Benar juga, kok Gerindra yang mengandalkan kekuatan hak pilih rakyat sekarang memelopori perampasan hak rakyat lewat revisi UU Pilkada bersama teman koalisi. Aneh bin ajaib…..
Belajarlah kepada pengalaman. SBY dengan Partai Demokrat pada Pilpres 2004 meraih sympati rakyat ketika itu bukan karena kepopulerannya, melainkan karena prilakunya yang memang santun, peduli kepada rakyat disamping kata sekelompok orang karena terkesan tersolimi. Tahun 2009, lebih lagi citra baik periode pertama bersama JK waktu itu sebagai Wapres pemerintahannya menggulirkan program-program pro rakyat yang sangat bermanfaat dan dirasakan rakyat banyak. Lawannya lebih dari dua kubu, tapi berhasil meraih suara tebanyak. Di tahun 2014 apa yang terjadi, baik Pileg maupun pilpres 2014 Demokrat merosot tajam. Apa sebabnya ? Blunder anak buahnya sendiri yang terlibat korupsi merembes ke Partai. Padahal secara institusi Partai tidak begitu. Namun karena keterkaitan orang-orangnya. Mengacu pada Pilpres kemarin, kenapa suara banyak lari ke Jokowi/JK, karena juga blunder para pendukung Prabowo - Hatta dalam koalisi MP pada masa kampanye .Ada penghinaan dan fitnah serta politik meremehkan kepada Jokowi baik lewat Tabloit Obor Rakyat pun orasi terbuka, berbalik mengundang sympati rakyat, memenangkan Jokowi/Jk sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Artinya, rakyat kita sudah kritis, dan bisa menyeleksi kebijakan atau kerja yang benar-benar pro dan memihak rakyat. Kalau tidak dan berlebihan, mereka akan muak, mendengar debat, orasi, slogan, apalagi ulah yang terang-terangan memasung haknya. Bukan tidak mungkin, rakyat tidak simpati lagi kepada partai-partai dalam koalisi MP dan tidak mau memilihnya di Pileg serta Pilpres 2019 ? Kalau keadaan seperti ini terjadi, Pileg dan Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014. Demokrasi bakal sepi bahkan tidak maju dan berkembang. Kata Prabowo “tidak dinamis”. Tidak lagi ada diskursus di MK bagi rakyat awam hukum di Indonesia. Lebih dari itu, akan ada partai tidak mendapat kursi di DPR RI karena ditinggal simpatisan dan pemilihnya. Nikmatnya kursi empuk di DPR RI tidak akan dirasakan lagi. Kalau sampai terjadi seperti itu, jangan persalahkan rakyat, karena salah oknum sendiri. Cuma disayangkan sebab demokrasi tidak akan seramai tahun ini.
Salam Demokrasi dinamis.
Sumber : http://ift.tt/1qgvFfW
Maaf ya ini sekedar analogi aja. Cuma mau ingatkan agar tidak terlanjur menempa bumerang yang akan balik menghujam diri sendiri dalam pesta demokrasi 2019. Rakyat saat ini sangat kecewa bahkan muak terhadap ulah politisi di Lembaga Terhormat DPR RI, yang terus mengutak-atik perangkat hukum menyangkut hak pilih rakyat. Bukan merecoki anda semua anggota DPR RI yang terhormat melaksanakan tugas legislasi anda, melainkan mengharapkan saudara mendengar bisikan nurani sendiri yang sesungguhnya dan jangan mengikuti nafsu emosional. Lebih lagi mendengar juga suara rakyat kecil. Karena nanti juga pada gilirannya, saudara akan membutuhkan suara rakyat itu. Jangan abaikan begitu saja.
Terus terang rakyat saat ini sudah paham dan mengerti, mengapa anda sebagai anggota Dewan Terhormat berbuat seperti itu. Ya, karena galau akibat kalah piplres kemarin. Tapi jangan kemudian libatkan seluruh rakyat dalam politik balas dendam, sampai-sampai seolah-olah seluruh rakyat yang menyebabkan kegagalan usunganmu. Ingat bahwa, sekitar 62 juta atau 46 persen lebih rakyat pemilih ketika itu bediri dibelakangmu. Selain 70 juta lebih atau sekitar 53 persen di pihak lawan. Dua kelompok pemilih ini, selama ini leluasa menggunakan haknya untuk memilih pimpinan daerahnya sendiri termasuk presiden yang diinginkannya. Kalau hak mereka itu dipasung, bukan hanya pemilih pihak lawan, melainkan juga pemilih pendukung dukungan saudara anggota koalisi MP. Di Papua, sudah terdengar suara pemilih Prabowo yang kecewa terhadap ulah elit barisan sakit hati yang duduk di DPR RI. Emang jumlahnya tidak seberapa, tapi ikut berpengaruh. Buktinya, kemarin di MK malah suara Papua juga yang didalilkan.
Kembali ke “ Koalisi MP jangan bunuh diri nanti demokrasi sepi”. Bukan 2014 saja ada pesta Pilpres. Selama Republik Indonesia berdiri tegak sebagai sebuah Negara di Jagat ini, akan terus ada Pilpres untuk suksesi. Partai pun akan selalu ada bahkan bisa bertambah untuk menjadi peserta dalam pilpres merebut kekuasan secara elegan. Dalam waktu 5 tahun ke depan, yaitu tahun 2019 akan ada lagi Pesta Demokrasi Pemilihan Presiden Republik Indonesia ke-8. Semua partai yang ada, bakal berebut meraih hak suara rakyat. Termasuk kelompok Partai dalam Koalisi Permanen Merah Putih. Kalau sekarang karena alasan macam-macam yang sesungguhnya tidak terlalu kuat, hak rakyat termasuk pemilih pendukung KMP disunat, jangan pikir tidak kecewa, dan jangan kira mereka tidak berpindah. Kekecewaan ini akan tersimpan rapat-rapat dalam hati dan pada saatnya hak mereka itu dibutuhkan, katakan pada pemilu legislatif dan pemilu prsiden 2019, pasti akan buka kembali catatan dalam benaknya. “Aaah…..dulu pileg dan pilpres lalu saya pilih dia tapi kemudian hilangkan hak saya……pilih lain saja”. Bukan ngajak lho……tapi itu kebiasaan pikir orang waras bukan orang mabuk……kalau mabuk pasti lupa……nabrak saja.
Mau bukti. Aktual sekali. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahya Purnama (Ahok) spontan menantang keluar dari Gerindra kalau RUU Pilkada jadi UU. Alasannya sederhana saja. Waktu di DKI bersama Jokowi, lolos bukan karena karena dipilih DPRD, melainkan karena dipilih rakyat. Di belitung Timur juga begitu, dan bukan karena banyak duit, tapi karena idealisme dan kemurnian niatnya mengabdi kepada rakyat. Rakyat suka yang seperti itu. Kalau dipilih DPRD, mustahil dia dan Jokowi menang, karena koalisi gemuk waktu itu mendukung Foke cs. Benar juga, kok Gerindra yang mengandalkan kekuatan hak pilih rakyat sekarang memelopori perampasan hak rakyat lewat revisi UU Pilkada bersama teman koalisi. Aneh bin ajaib…..
Belajarlah kepada pengalaman. SBY dengan Partai Demokrat pada Pilpres 2004 meraih sympati rakyat ketika itu bukan karena kepopulerannya, melainkan karena prilakunya yang memang santun, peduli kepada rakyat disamping kata sekelompok orang karena terkesan tersolimi. Tahun 2009, lebih lagi citra baik periode pertama bersama JK waktu itu sebagai Wapres pemerintahannya menggulirkan program-program pro rakyat yang sangat bermanfaat dan dirasakan rakyat banyak. Lawannya lebih dari dua kubu, tapi berhasil meraih suara tebanyak. Di tahun 2014 apa yang terjadi, baik Pileg maupun pilpres 2014 Demokrat merosot tajam. Apa sebabnya ? Blunder anak buahnya sendiri yang terlibat korupsi merembes ke Partai. Padahal secara institusi Partai tidak begitu. Namun karena keterkaitan orang-orangnya. Mengacu pada Pilpres kemarin, kenapa suara banyak lari ke Jokowi/JK, karena juga blunder para pendukung Prabowo - Hatta dalam koalisi MP pada masa kampanye .Ada penghinaan dan fitnah serta politik meremehkan kepada Jokowi baik lewat Tabloit Obor Rakyat pun orasi terbuka, berbalik mengundang sympati rakyat, memenangkan Jokowi/Jk sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Artinya, rakyat kita sudah kritis, dan bisa menyeleksi kebijakan atau kerja yang benar-benar pro dan memihak rakyat. Kalau tidak dan berlebihan, mereka akan muak, mendengar debat, orasi, slogan, apalagi ulah yang terang-terangan memasung haknya. Bukan tidak mungkin, rakyat tidak simpati lagi kepada partai-partai dalam koalisi MP dan tidak mau memilihnya di Pileg serta Pilpres 2019 ? Kalau keadaan seperti ini terjadi, Pileg dan Pilpres 2019 tidak akan seseru 2014. Demokrasi bakal sepi bahkan tidak maju dan berkembang. Kata Prabowo “tidak dinamis”. Tidak lagi ada diskursus di MK bagi rakyat awam hukum di Indonesia. Lebih dari itu, akan ada partai tidak mendapat kursi di DPR RI karena ditinggal simpatisan dan pemilihnya. Nikmatnya kursi empuk di DPR RI tidak akan dirasakan lagi. Kalau sampai terjadi seperti itu, jangan persalahkan rakyat, karena salah oknum sendiri. Cuma disayangkan sebab demokrasi tidak akan seramai tahun ini.
Salam Demokrasi dinamis.
Sumber : http://ift.tt/1qgvFfW