Kami Bangga jadi Oposisi
Oposisi bukan berarti berdiri di seberang pemerintah yang berkuasa, lalu menatap dengan culas setiap langkah kebijakan pemerintah yang berkuasa. Meski dari terminologi asal-muasalnya, bermakna to set agin, menantang atau menolak kebijakan pemerintah yang berkuasa.
Dalam konteks demokrasi Indonesia, kita belum menemukan pelembagaan oposisi politik yang tersistem sebagaimana pelembagaan oposisi yang sudah dilakoni negara-negara yang usia berdemokrasi sudah matang. Di Indonesia, selama ini kita baru sebatas mengenal oposisi karena kalah bertarung di kontestasi politik kekuasaan. Dengan demikian, pengenalan kita terhadap oposisi, sebatas kompensasi kekalahan lawan politik yang ter-manifestasi dalam dinamika parlemen yang memperhadapkan faksi politik (pro-kontra) di parlemen dalam mendukung kebijakan pemerintah.
Terminologi oposisi, kemudian menemukan bentuk kontrasnya di momentum pilpres 2014, ketika pihak Jokowi-JK yang didukung oleh PDIP, Hanura, PKB dan Nasdem berhadap-hadapan dengan partai pendukung Prabowo-Hatta; yaitu Golkar, Gerindra, PAN, PPP dan PKS. Klimaks perhelatan itu kemudian berakhir dengan kekalahan tipis partai pendukung Prabowo-Hatta, yang kemudian lebih dikenal publik dengan sebutan “koalisi merah putih”. Metamorfosa kekalahan politik itu kemudian mewujud dalam suatu itikad kolektif parpol pendukung Prabowo-Hatta menjadi partai oposisi atau “oposisi permanen koalisi merah putih”.
Dengan fenomena ini, oposisi koalisi merah putih kemudian terus menghiasai lembaran koran dan layar televisi dengan berbagai oponi yang berkembang beberapa minggu terakhir. Dus apapun bentuk oposisi yang diopinikan, paradigma oposisi yang sehat, perlu dipurifikasi, dalam rangka mewujudkan rancang-bangun oposisi yang sehat dan bermanfaat bagi pembangunan dan keberpihakan rakyat.
Niat baik ini kemudian, menjadi ijtihad politik, untuk mengangkat makna oposisi dari dalam celupan kolesterol jahat politik. Dengan harapan, oposisi tak bermakna asal beda, asal ramai, tapi memberikan manfaat bagi rakyat.
Catatan kaki yang patut diberi huruf tebal adalah, oposisi bertujuan menyeimbangkan secara kritis kekuasaan yang dalam berbagai teori selalu diingatkan, bahwa kekuasaan pemerintah yang besar berpotensi korup, menindas dan sewenang-wenang. Dengan demikian, purifikasi makna oposisi yang saya maksudkan, adalah dengan kekuatan di parlemen, sistem dan pelembagaan oposisi perlu dibangun, dalam rangka memitigasi kekuasaan yang berpotensi korup, sewenang-wenang dan menindas. Meletakkan makna oposisi dalam bingkai besar niat baik ini, kemudian melahirkan semangat baru berdemokrasi, maka siapa dan apapun bentuk oposisi, atas dasar niat baik itu, “kami bangga jadi oposisi.
Dan saat ini, kita tinggal menunggu hitungan minggu kita akan menyaksikan pelantikan anggota DPR RI dan Presiden terpilih. Sungguh kita semua merindukan sosok pemimpin bersih, adil, tegas dan yang mau bekerja keras untuk negara dan rakyat.
Kalau komitmen perjuangan kita sungguh-sungguh untuk negara dan rakyat, maka menjadi penguasa atau oposisi adalah dua pilahan dengan peran yang berbeda tapi sama-sama mulianya.
Kita berharap pemerintah terpilih bekerja dengan jujur dan pendukung oposisi melakukan checks and balances untuk negara dan rakyat. Pendukung oposisi harus benar-benar efektif menjalankan tugasnya sebagai checks and balances, bukan untuk menggoyang apalagi merongrong pemerintah.
Kalau kebijakan pemerintah pro rakyat maka pihak oposisi dengan hati yang lapang harus siap mendukung, tapi kalau kebijakan pemerintah pro yang aneh-aneh maka pihak oposisi juga harus berani dengan tegas menolak. Pemerintah terpilih dan pihak oposisi harus percaya diri dan bangga dengan perannya masing-masing. Tidak saling menggoda dan mencederai dan semua ikhtiar kita ditujuakan untuk kepentingan negara dan rakat.
Pasca pilpres 2014, komposisi kabinet memiliki daya tarik luar biasa dalam pusaran politik kekuasaan. Maka tak heran, berbagai opini pasca pilpres terkerek masuk dalam pusaran isu bargaining politik. Hal ini tak dapat dihindari. Termasuk dua hari belakangan, mass media yang ramai memberitakan pertemuan cawapres sekaligus ketua Umum DPP PAN Hatta Rajasa dengan elit Nasdem Surya Paloh.
Dalam deskripsi paradigma oposisi sebagaimana saya jelaskan di atas, maka pertemuan tersebut, dilihat sebagai wujud silaturahmi politik biasa, dalam rangka mengendorkan tensi politik yang begitu tinggi baik saat pilpres maupun pasca pilpres 2014. Pertemuan Hatta Rajasa dan Surya Paloh, adalah bentuk ijtihad untuk membangun kerangka demokrasi yang sehat. Agar dinamika demokrasi pasca pilpres, baik di parlemen dan di pemerintahan dapat dilihat secara konstruktif. Benang merahnya, tidak semua pertemuan, dilihat dengan nalar kekuasaan sempit.
Dengan demikian, berhadap-hadapannya partai oposisi dengan pemerintah, lebih diinterpretasikan pada kerangka nilai, bukan karena kompensasi kekalahan dengan berbagai variannya. Di tingkat elit PAN, paradigma oposisi nilai demikian, menjadi wacana yang tak henti-hentinya diutarakan, baik oleh Amin Rais, Drajat Wibowo, Taufik Kurniawan, Zulkifli Hasan, Tjatur Sapto Edi dan elit PAN lainnya. Pun pengakuan kemenangan Jokowi oleh fungsionaris DPP PAN Hanafi Rais pasca quick count pilpres 2014, adalah bagian dari pendewasaan cara berdemokrasi; agar kalah atau menang tidak dilihat secara dualistik an sich dan konfliktual.
Meluruskan cara pandang seperti ini perlu dilakukan, agar subjektifitas publik tidak dicederai oleh cara pandang yang konfliktual dan pragmatis. Akhirnya, dengan pandangan yang konstruktif ini, seperti apapun positioning PAN pasca pilpres 2014, termasuk memilih oposisi, adalah suatu kemuliaan berpolitik yang patut terus dibanggakan.
Sumber : http://ift.tt/1A51c4e