Jokowi Tak Sudi Terima Mercy dari Sudi
Seolah-olah ingin menunjukkan dirinya masih berkuasa, kurang dari dua bulan menjelang angkat koper dari istana, Sudi Silalahi (Sekretariat Negara), menggunakan kewenangannya memakai anggaran. Lucunya anggaran itu tidak digunakan untuk membiaya kepentingan lembaganya sendiri, tetapi malah digunakan untuk membeli mobil bagi anggota kabinet pemerintah mendatang. Dari seluruh mobil yang dibeli itu terdapat 2 (dua) buah untuk diberikan kepada Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono, jika tidak lagi menjabat kelak.
Pembelian mobil mewah merek Mercy senilai 90,9 milyar lebih itu terkesan ujug-ujug, tanpa ba-bi-bu dan tidak dikonsultasikan dengan calon pemakainya. Entah merasa di faitaccomply atau memang tidak perlu mobil baru, Jokowi menolak pembelian mobil itu. Alasan Jokowi, mobil bekas menteri yang lama masih bisa pakai.
Namun Sudi tetap mangkreng. Menurutnya, pengadaan mobil Mercedes-Benz sebagai mobil dinas Menteri Kabinet Presiden terpilih Joko Widodo tak bisa dibatalkan. Sebab, pelelangan kendaraan untuk menteri atau pejabat setingkat menteri berjalan dengan transparan serta mengikuti peraturan perundangan-undangan. “Kewajibannya kita harus mengadakan. Tapi kalau itu ya teserah mau dijual lagi tidak apa-apa,” tegas Sudi usai peresmian Pusat Kesehatan Ibu dan Anak RSCM, Jakarta, Selasa (9/9).
Adu kuat antara Sudi dan Jokowi akhirnya dimenangkan oleh si kerempeng Jokowi. Lelang pengadaan mobil Mercy itu dibatalkan. Pembatalan ini pun belum menghilangkan tanda tanya; mengapa Sudi ngotot mengatakan lelang tidak bisa dibatalkan, tetapi akhirnya bisa. Apakah ia merasa tidak enak dengan SBY dan Wapres Budiono yang sudah dijanjikan akan mendapat bagian mobil? Atau ada hal lain?
Keanehan dalam lelang pengadaan Mercy ini sama dengan pengadaan rumah untuk mantan Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Sudi, pengadaan rumah itu atas usulan Jusuf Kalla. Tetapi menurut JK usulannya sudah lama tidak ditanggapi, dan menjelang SBY mengakhiri jabatan, baru terbit Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2014 yang mengatur pengadaan rumah untuk mantan Presiden dan Wapres, hampir lima tahun setelah JK selesai jadi Wapres.
Kritik terhadap kebijakan rezim SBY terhadap pembelian mobil dinas bukan baru kali ini terjadi. Tahun 2008 ketika pemerintah membeli mobil mewah Toyota Crown Royal Salon seharga 1,3 milyar per unit, juga mendapat kritikan. Waktu itu pemerintah dinilai melakukan pemborosan, dan tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Sebab pada saat yang sama, pejabat di India menggunakan mobil dalam negeri bermerek Tata Ambassador seharga Rp 100 juta lebih sedikit, dan menteri-menteri di Malaysia menggunakan mobil Proton Perdana seharga kurang dari Rp 360 juta.
Bila melihat perekonomi Malaysia jauh lebih baik dari Indonesia, tetapi pejabatnya menggunakan mobil lebih murah dari pejabat Indonesia, memang terasa ironis.
Pembelian mobil Mercy sekarang ini pun seperti ingin melanjutkan kebiasaan itu. Biar tekor asal kesohor. Mengapa demikian, karena APBN 2014 – 2015 sendiri masih defisit, dan terpaksa harus ditutupi dengan utang. Pastinya pembelian Mercy itu pun membebani anggaran.
Penolakan Jokowi juga bukan tidak menuai kritik. Partai Demokrat yang segendang sepenarian dengan pemerintah, menuding Jokowi melakukan pencitraan. “Kalau mau, Jokowi pakai Esemka saja,” kata Wakil Ketua Umum Max Sopacua, sinis.
Sah saja kalau Demokrat mengatakan Jokowi melakukan pencitraan. Tetapi bila melihat rekam jejak Jokowi ke belakang, sikapnya adalah sebuah bentuk kesederhanaan. Jokowi yang seorang pengusaha mebel sukses tidak pernah menunjukkan diri sebagai orang yang kagum dengan kemewahan. Jadi Gubernur pun ia memakai Kijang Inova sewaan. Ini berbeda dengan anggota DPR dan pejabat kebanyakan yang mendadak jadi hedonis setelah berkuasa.
Terkait mobil dinas untuk menteri dan pejabat negara setingkat menteri lainnya, Jokowi tetap berpegang pada azas manfaat, sedangkan Sudi Silalahi berpegang pada asas kepatutan.
Meski pun telah berusia lima tahun, mobil bekas menteri era SBY tentu masih laik pakai dan enak digunakan. Karena mobil yang selalu berjalan dengan pengawalan itu pasti dirawat dengan baik. Di Indonesia sangat banyak mobil bekas berkeliaran di jalan. Bahkan tempat jual beli mobil bekas bertebaran di mana-mana, termasuk secara on line.
Bagi pihak yang berpegang pada asas kepatutan, usia lima tahun untuk mobil pejabat tinggi Negara jelas sudah tidak layak. Supaya kinerjanya baik, pejabat harus diberikan fasilitas terbaik. Walau pun kenyataannya, dalil itu tidak terbukti. Buktinya banyak menteri dan pejabat negara lainnya di era SBY yang bukan saja gagal memperbaiki taraf hidup rakyat, tetapi malah jadi tontonan rakyat ketika berurusan dengan KPK. Padahal sudah diberi fasilitas mewah! (herman wijaya/hw16661@yahoo.com)
Sumber : http://ift.tt/1sp8RtR