Suara Warga

Jokowi dan UU Pilkada Potret Kenegarawanan Mega dan SBY

Artikel terkait : Jokowi dan UU Pilkada Potret Kenegarawanan Mega dan SBY

Publik dibuat terkejut dengan keputusan Megawati menunjuk Jokowi sebagai calon presiden. Publik juga dibuat gerah dengan keputusan SBY mendukung UU Pilkada oleh DPRD. Namun jika dicermati, kedua hal tersebut menunjukkan potret kenegarawanan Megawati dan tindakan SBY. Kenapa dan sebab apa Mega mendukung Jokowi dan SBY mendukung UU Pilkada terkait dengan bibit, bebet, dan bobot keduanya. Mari kita telaah dengan hati gembira ria agar bisa memaklumi dan memahami sikap mereka.

Jika Anda akan menikah, maka bibit, bebet, bobot akan ditanyakan. Kenapa? Ketiga hal itu akan menurunkan gen dan generasi berikutnya. Maka setiap kejadian, sikap, perbuatan seseorang termasuk Mega dan SBY akan bisa ditelusuri alasan perbuatan berdasarkan silsilah keturunan mereka. Sesungguhnya jika didalami lebih jauh berdasarkan sisi bibit, bebet, bobot, sisi garis keturunan, maka menjadi dapat dimaklumi sikap politik, kehidupan pribadi, yang dapat ditarik garis lurus. Jika dicermati selama menjadi presiden dan setelahnya, Mega dan SBY telah mencatatkan diri sebagai orang penting di Indonesia. Namun, jika ditelisik pada akhirnya ‘darah’ di dalam diri Mega dan SBY’ memengaruhi prestasi kenegarawanan atau ketidaknegarawanan mereka.

Ada satu catatan penting terkait Mega dan SBY yang bisa menjadi potret kebangsawanan mereka. Mega mencatatkan diri sebagai negarawan dengan legowo memberikan jalan bagi Jokowi menjadi presiden. Sementara SBY tercatat pernah akan menghapus kekuasaan Raja Jogjakarta atau Sultan Hemengkubuwono dan Kadipaten Pakualaman dari peta kekuasaan satu-satunya kerajaan di Indonesia. Dua peristiwa itu sebenarnya memiliki akar lebih jauh lagi yakni terkait bibit, bebet, bobot jauh ke atas dalam silsilah keturunan mereka.

Dalam khasanah kekuasaan dan kenegarawanan di Jawa selalu terkait antara keturunan Singasari-Majapahit atau Demak-Pajang-Mataram. Megawati mengambil darah dari sisi Singasari-Majapahit melalui Bung Karno lewat nenek buyutnya ke atas. Pun darah Bali Bung Karno menguatkan sisi mistis keaslian keturunan Majapahit - yang melarikan diri ketika terdesak oleh peperangan dan persaingan kehidupan Hindu-Buddha dan belakangan Islam. Selain Bali, Tengger menjadi tetenger alias pertanda ke-Hindu-an dan ke-buddha-an atau ke-siwa-an Singasari-Majapahit, yang kelak akan bermuara menjadi kebudayaan Jawa dan Kejawen modern. Sementara SBY tak memiliki akar darah kebangsawanan Singasari-Majapahit atau pun dari tempat lain: orang biasa dari kalangan rakyat jelata.

Maka menjadi wajar jika pada akhirnya, terdapat perbedaan mendasar antara Megawati dan SBY terkait komitmen kebangsaan. Demikian pula UU Pilkada juga merupakan intisari kedalaman ukuran kenegarawanan dan kebangsawanan Mega dan SBY. Darah Mega dan SBY - meskipun keduanya presiden RI - adalah darah yang berbeda. Dalam konteks keturunan - bibit - jelas Mega keturunan Bung Karno. Sedangkan SBY adalah keturunan ayahnya. Bibit alias keturunan, bebet yakni lingkungan kehidupan, dan bobot artinya penguasaan ilmu ( akan memengaruhi perilaku: dan perilaku itu dimulai dari dalam diri seseorang. Maka ketika Mega dan SBY dihadapkan pada persoalan bangsa akan terlihat perbedaannya.

Lama publik mengharapkan SBY dan Mega berdamai. Pangkal pokok persoalan adalah SBY tidak menjawab jujur ketika ditanya oleh Mega apakah akan maju menjadi capres pada 2004. SBY menjawab tidak hendak maju menjadi capres. Nyatanya SBY maju dan Mega kalah. Bagi Mega, jawaban harus jelas: kalau maju sebagai capres ya maju kalau tidak ya tidak. Bagi SBY persoalan maju atau tidak itu urusan strategi.

Dalam hal ini, SBY memertimbangkan langkah dan jawaban sebagai ‘strategi’, sedangkan Mega mengharapkan jawaban sebagai ‘kejujuran’ sikap. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh alam bawah sadar antara Mega yang dialiri darah ‘ksatria dan kebangsawanan’ yang menuntut jawaban ksatria, jujur apa adanya. Sementara bagi SBY, jawaban hanyalah kulit dan tak perlu isinya: jawaban adalah strategi untuk mencapai tujuan. Mega tidak memerlukan ‘casing’, ‘wadah’, ‘pencitraan’, sedangkan bagi SBY untuk mendukung strategi, maka casing, wadah, pencitraan adalah penting.

Oleh sebab itu, maka Mega dan SBY pada akhirnya mewarnai kehidupan bangsa Indonesia dengan perbedaan yang mencolok. Mega sampai detik ini tidak dikaitkan dengan korupsi. Anak-anak Megawati tak ada yang disebut dalam sidang pengadilan terkait korupsi misalnya. Sementara itu Ibas anak SBY secara seronok disebut oleh orang kebanyakan semacam Yulianis sebagai menerima uang US$ 200,000 terkait Hambalang. Dalam konteks kehormatan ‘kerajaan’ sikap Yulianis menuduh anak presiden adalah kekurangajaran. Namun, itu terjadi pada anak SBY. Kenapa? Darah Yulianis sama dengan darah SBY dan Ibas yakni darah rakyat biasa bukan bangsawan.

Dalam konteks kehormatan, jelas Mega mencuci diri dengan menjadi penyebab Jokowi menjadi presiden, mengangkat kehormatan. Namun SBY mengambil jalan biasa yakni justru akan menurunkan peran Raja Jogjakarta dan Kadipati Pakualaman untuk membubarkan Jogjakarta dan Kadipaten Pakualaman, menurunkan kehormatan.

Perbedaan sikap terkait ‘isi jiwa sesungguhnya Mega dan SBY’ yang mereka tak sadari. Maka ketika harus bersikap terkait UU Pilkada, maka Mega dan SBY jelas berbeda sikap dan pandangan. Jiwa kenegarwanan Mega bergerak. Jiwa egaliter dan biasa SBY dalam alam bawah sadar bergerak, maka sifat dan sikap guyub SBY tampil dengan mendukung kelompok yang identik dengan dirinya. SBY jelas sesuai dengan pengaruh dari darah dalam dirinya untuk bersikap memilih koalisi permanen dan mendukung UU Pilkada yang anti demokrasi sebagai perwujudan hasyrat asli dalam diri SBY.

Jadi, terkait dengan naiknya Jokowi itu wujud dari darah kebangsawanan dan kenegarawanan terkait bibit, bebet, bobot Megawati yang keturunan para raja Singasari-Majapahit. Sementara dukungan SBY kepada UU Pilkada adalah wujud bibit, bebet, bobot keturunan SBY yang memang biasa saja: jadi tak mungkin bisa diharapkan bersikap ala kebangsawanan dan kenegarwanan. Dengan demikian Anda tak usah berharap banyak kepada SBY terkait UU Pilkada karena ‘isi darah’ SBY berbeda dengan yang Anda bayangkan dan harapkan.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://ift.tt/1D8Rv9o

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz