Suara Warga

Jokowi dan Kritik Soal Postur Kabinet

Artikel terkait : Jokowi dan Kritik Soal Postur Kabinet

Kritik itu biasa. Orang yang bisa menerima kritik dengan baik, tidak lantas marah, mempunyai kematangan pribadi yang baik. Kritik juga merupakan salah satu bentuk peduli atau cinta, bukan benci. Justru kalau dibiarkan tanpa kritik, patut dicurigai justru perwujudan dari kebencian.

Saya membuat prolog seperti ini karena saya agak kecewa dengan sikap fans Jokowi di forum Kompasiana yang terhormat ini, terhadap kritik. Di tulisan terakhir yang saya posting soal kabinet Jokowi yang menurut saya belum ada hal yang baru, saya disebut “celeng” oleh akun yang saya curigai sebagai fans Jokowi yang nampaknya masih terjebak di ranah hujat-menghujat seperti saat perhelatan Pilpres 2014.

Padahal kritik saya sebagai bentuk peduli. Kritik saya adalah sebagai bentuk pengharapan akan sesuatu yang baru dari Jokowi sebagai presiden terpilih. Saya tidak (lagi) memosisikan diri sebagai pendukung kubu satu atau kubu lainnya. Saya adalah bagian dari rakyat Indonesia yang pada akhirnya menerima Jokowi dan berharap banyak pada Jokowi.

Soal kabinet

Jujur saya berharap sesuatu yang sama sekali baru dari kabinet Jokowi/JK. Sayangnya saya belum melihat itu. Malahan saya melihat tak ada bedanya antara kabinet SBY dan Jokowi yang beberapa hari lalu diumumkan, posturnya.

Apa sih yang baru? Bagi saya, jika saja Jokowi tidak memberi jatah parpol di kabinetnya, itulah sesuatu yang baru. Lha ternyata Jokowi masih melibatkan parpol di kabinetnya. Atas dasar pemikiran apapun saya melihatnya berarti Jokowi belum berani melakukan hal yang baru, setidaknya sementara ini sejauh postur kabinet yang diumumkan.

Surya Paloh bilang jatah 16 kursi yang disiapkan Jokowi/JK untuk kalangan dari partai politik bukan merupakan politik transaksional. Dia berpendapat bahwa partai politik memang seharusnya dilibatkan dalam pembentukan kabinet.

Jokowi juga membantah 16 posisi menteri yang ia persiapkan untuk partai politik termasuk bagian dari bagi-bagi kursi menteri. Ia mengklaim 16 orang dari parpol itu bukan bagian dari kontrak politik dengan partai pengusung Jokowi-JK, yaitu PDIP, Nasdem, PKB, Hanura dan PKPI. Karena sejak awal ia tidak menjanjikan berapa kursi menteri yang akan masing-masing partai peroleh.

Apapun alasannya, saya tetap memandangnya ini sebuah sikap yang tidak baru sama sekali. Silakan berdebat panjang lebar di situ, yang pasti malah hanya akan saling “bersilat lidah” saja.

Pendapat anak buah Anies Baswedan

Saya sangat mengamini pendapat anak buah Anies Baswedan di Paramadina, Hendri Satrio, seperti dikutip dari kompas.com. “16 kursi untuk parpol jelas bagi-bagi kursi kekuasaan. Bahasa koalisi ramping dan kabinet ramping ternyata tidak bisa dia diterapkan,” kata Hendri.

Hendri menjelaskan, saat ini Jokowi telah masuk ke dalam realitas politik yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Jokowi, kata dia, tidak bisa menghadapi realitas tersebut sehingga terbawa kedalam arus. “Realita yang memaksa dia untuk meyampingkan komitmen awal demi lancarnya roda kekuasaan. Saat berkuasa Jokowi tidak seberani melakukan perubahan seperti dia janjikan saat kampanye,” lanjut Hendri.

Lalu bagaimana? Saya seperti halnya Hendri hanya bisa berharap Jokowi tidak terlalu lama terbawa arus dalam pusaran politik ini. Meskipun diusung oleh parpol saat Pilpres, Saya berharap Jokowi tidak lupa bahwa beliau dipilih langsung oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat.

Semoga pak Jokowi bisa istiqomahi!




Sumber : http://ift.tt/1tc3Mpa

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz