Suara Warga

Jika Partai Politik Mahasiswa di Hilangkan

Artikel terkait : Jika Partai Politik Mahasiswa di Hilangkan

Seperti yang telah diberitkan dalam koran mingguan Lembaga Independen: New News, sebuah lembaga onderbo uw dari Lembaga Pers Mahasiswa ARA AITA milik Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) launching 4 fakultas baru, setelah beralih status menjadi universitas. Tak ayal, yang terbayang adalah sebuah tatanan sistem baru akan muncul mengiringi langkah perubahan ini. Entah dari kurikulum, infrastruktur pengajaran penunjang pendidikan, ataupun biaya semester, dengan tendensi pertanyaan, SPP bakal naik atau tetap.



Rasa-rasanya takkan menjadi masalah jikalau memang perubahan ini harus disiasati sedemikian bijaksana, tetap dalam tremnya sebagai kampus berbasis Agama Islam dengan menjunjung tinggi kedaulatan mahasiswa sebagai insan cendikia atau elemen pemikir. Maka, bicara mengenai kampus UINSA, wacana yang mulai berkembang, dan bakal dipastikan memantik gemuruh disusul ledakan, bahwasanya salah satu fakultas yang terbilang baru, menerapkan sistem yang baru pula, dalam menfasilitasi konsepsi negara kampus.



Seperti Fakultas Psikologi dan Kesehatan, informasi yang muncul dari pihak dekanatnya, dalam mensiasati negara kampus yang mulai ditebar benihnya di fakultas baru. Pihak dekanat bakal memberlakukan perombakan, dalam mekanisme negara kampus, yaitu dihapuskannya sistem pemilihan Gubernur Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas yang menggunakan sistem Partai Politik (Parpol) mahasiswa dalam prosesi pemilihannya. Dengan alasan, meminimalis tingkah laku kecurangan dan pelanggaran organisasi-organisasi ekstra kampus yang akan berafiliasi dalam Parpol mahasiswa kampus. Disinyalir, pembuat kebijakan tersebut hingga kemunculannya wacana ini, si empunya kebijakan saya telah pastikan, memiliki paradigma yang dangkal mengenai esensi dari keberadaan organisasi ekstra kampus yang sudah sedari dulu ada, dan tak sedikit memberi bumbu-bumbu ideologi yang terlampir dalam tiap kumpulan manusia-manusia yang terikat dalam sebuah struktur kepengurusan organisasi. Yang itu sebenarnya sudah lama sekali, ketika salah seorang anak manusia memantik pembicaraan tentang keberadaan organ organisasi ekstra kampus yang dirasa mengganggu (mungkin eksponen non-organisasi), mulai dari mahasiswa Angkatan 45 dan Angkatan 66, keberadaan organisasi ekstra kampus, sudah menakar dan memiliki andil besar pada iklim kenegaraaan di Indonesia. Bahkan tak bisa dipungkiri, pertarungan ideologi bisa merambah hingga masuk kampus dan membetuk konstruk pemikiran mengenai arah ketatanegaraan yang baik paska kemerdekaan.



Ketika gejolak ideologi sosialis/komunis, nasionalis, dan agamis berafiliasi dengan para pelajar-pelajar mahasiswa Indonesia setempat atau yang berada di Belanda. Konsep kemerdekaan dan pembumihangusan neo-kolonialisme dalam bentuk apapun adalah hasil dari sublimasi ideologi-ideologi yang beragam pada waktu itu, yang dilakukan oleh pelajar mahasiswa. Para pelajar meyakini kalau konsep ideologi dirasa baik untuk membangun sebuah negara yang berdaulat maka, pelajar pada masa jajahan tidak bisa mengelak keberadaan ideologi-ideologi sekelompok golongan, yang saat ini dinamakan organisasi ekstra kampus.



Begitu juga Angkatan 66, ketika pergulatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mulai meruncing dan tak dapat dielakkan bakal pecah. Dikotomi muncul. Beberapa organisasi -organisasi intra kemahasiswaan yang berafiliasi dengan organisasi ekstra pembawa ideologi “marxis” khas PKI, harus beradu kekuatan dengan para organisasi yang berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, yang berhaluan ideologi menentang fasis dan komunis, seperti nasionalis dan agamis. Dan tempat pergulatan tersebut, berada di dalam kampus. Hingga berujung pada dipukul mundurnya ideologi “marxis” tersebut untuk tak menginjakkan kaki ideologinya lagi di Indonesia, beserta Demokrasi Terpimpin ala sosialis-demokratis yang tak bisa dipaksakan melalui kekuasaan presiden sebagai kepala negara seumur hidup.



Ini merupakan sebuah pendangkalan persepsi mengenai organisasi ekstra kampus yang telah menakar di kampus, yang dicap pengganggu atau melanggar. Apakah tidak pernah menyadari, ataukah tak pernah mendapatkan wacana samacam ini. Kalau kemerdekaan dan demokrasi yang kita nikmati hari ini dan detik ini adalah buah tangan pelajar atau mahasiswa yang terkonstruk dari organisasi-organisasi ekstra kampus. Entahlah, kalau memang konstruk pemikirannya berhaluan anti dan pembenci demokrasi yang tengah bermimpi di siang bolong untuk mendirikan negara Islam.



Perombakan sistem dengan menghilangkan konsep Parpol Mahasiswa telah menjurus pada suatu bentuk mencederai konsep negara kampus yang telah di rumuskan bagi mahasiswa. Mahasiswa sengaja ditempatkan dalam miniatur negara dalam kampus dengan trias politica, tujuannya, tak lain sebagai elemen pengawasan sistem ketatanegaraan di Indonesia ketika sedang berlangsung. Mahasiswa diharap menjadi bagian pemikir, dan bagian pengawas, apakah kebijakan dalam ketatanegaraan ini masih tetap dalam alur dan muaranya yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kalau memang sudah tidak sesuai dengan konsepsinya, maka mahasiswa bisa menganulir setiap kebijakan yang bersinggungan dengan rakyat. Karena mahasiswa yang lebih tau, bukan tukang becak, bukan nelayan di pesisir pantai, bukan para petani, bukan supir angkot, bukan pedagang kaki lima.



Karena mahasiswa berada dan ditempatkan dalam ketatanegaraan, meskipun hanya berbentuk miniatur. Dan ketika salah satu kebijakan kampus menghilangkan konsep Parpol Mahasiswa, secara tidak langsung, sama halnya menghilangkan sebuah sarana dan wahana mahasiswa untuk berproses dalam miniatur negara kampus. Yang terjadi adalah kecacatan intelektual mahasiswa sebagai wasit negara, elemen pemikir jika wahana bermainnya harus di congkeli oleh sistem. Kalau sudah seperti itu, mentalitas mahasiswa sebagai tandem elemen pemikir dan cendikiawan hilang sudah, dan siapa yang kan memikirkan nasib bapak tukang becak yang trayek becaknya dipersempit oleh peraturan daerah, siapa yang kan memikirkan nasib nelayan pesisir jika solar harus dibatasi pasokannya, siapa yang kan memikirkan nasib para petani yang sawahnya dipersempit oleh pembangunan gedung-gedung bertingkat, siapa yang kan memikirkan nasib bapak-bapak supir angkot yang setorannya kurang karena pasar bebas menyebabkan produk mobil dengan harga miring sangat mudah dijangkau, siapa yang kan memikirkan nasib ibu-ibu pedagang kaki lima yang rutin diusir tiap minggunya tanpa ada kejelasan tempat pengganti yang layak untuk berjualan.



Dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo menegaskan, di negara-negara yang menganut faham demokrasi gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis, bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijakan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang paling baik.



Dari konsepsinya saja Parpol memiliki fungsi yang sangat vital. Berbicara mengenai organisasi ekstra kampus yang datang dan membawa ideologi, yang kemudian berafiliasi dalam Partai Politik. Maka Parpol tersebut akan membawa sifat-sifat ideologi tertentu yang ditanamkan dan diajarkan pada salah seorang kader sebagai sebutan orang yang disiapkan utuk menduduki jabatan di pemerintahan. Begitu juga ketika di kampus, fungsi dari Parpol Mahasiswa, sebagai agen yang mencetak dan mempersenjatai orang-orang atau kader yang siap memimpin dengan membawa idelogi beserta kepentingan-kepentingan yang tujuannya kembali lagi pada konsep demokrasi itu sendiri ketika Pemilihan Umum Raya Mahasiswa.



Konsep negara kampus di UINSA menggunakan sistem Demokrasi yang termanifestasi dalam trias politica; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kalau tidak dengan Parpol Mahasiswa, lalu menggunakan apa. Model pemimpin semacam apa yang akan muncul ketika konsepsi Parpol Mahasiswa dihilangkan. Bagaimana dengan rancangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang ditujukan untuk mengatur mekanisme negara kampus UINSA dalam Kongres Besar Mahasiswa Institut (KBMI) yang disematkan pada Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) sebagai badan legislatifnya.



Ataukah Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Keamanan Kampus (NKK/BKK) dalam format lain berada dibalik semua ini.




Sumber : http://ift.tt/1m3x2gZ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz