Suara Warga

Implikasi jika Ahok Mundur dari Wagub DKI

Artikel terkait : Implikasi jika Ahok Mundur dari Wagub DKI

IMPLIKASI JIKA AHOK MUNDUR DARI WAGUB DKI

OLEH : ASPIANOR SAHBAS



Presiden terpilih Joko Widodo sudah dipastikan akan meninggalkan kursi Gubernur DKI. Insya Allah pada tanggal 20 Oktober nanti beliau akan dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7 bersama dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.



Dengan meninggalkan jabatan sebagai Gubernur DKI karena akan mengisi jabatan Presiden RI, maka Jokowi harus mengajukan pengunduran diri yang dalam bahasa undang-undang berarti berhenti karena permintaan sendiri. Dalam ketentuan undang-undang pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah disebabkan oleh 3 hal. Yaitu; meninggal dunia, permintaan sendiri dan diberhentikan. Jadi, pengunduran diri Jokowi dapat dikatagorikan sebagai berhenti atas permintaan sendiri.



Ketika Jokowi menngundurkan diri, secara otomatis terjadi kekosongan jabatan Gubernur DKI. Sesuai aturan maka yang akan mengisi jabatan Gubernur adalah Ahok sebagai Wakil Gubernur.



Sayangnya, meski peraturan perundang-undangan mengatur bahwa apabila Gubernur berhalangan tetap, tidak mampu lagi menjalankan tugas, maka Wakil Gubernur lah yang akan naik menjadi Gubernur, masih saja ada pihak-pihak yang mencoba mengutak-atik, menekan, dan tidak menyetujui Ahok menjadi Gubernur.



Persoalanya kemudian, bagaimana jika setelah Jokowi mengundurkan diri, Ahok pun mengundurkan diri karena tidak kuat menghadapi berbagai tekanan politik dari pihak-pihak yang tidak menyetujui dirinya jadi Gubernur?



Oleh sebab kedua-duanya mengundurkan diri, maka akan terjadi kekosongan jabatan, baik Gubernur maupun Wakil Gubernur. Dalam konteks ini peraturan perundang-undangan mengatur bahwa DPRD harus melakukan rapat paripurna untuk memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah paling lambat 6 (enam ) bulan, terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah.



Sebelum Penjabat Kepala Daerah ditetapkan oleh Presiden, maka yang akan ditugasi untuk melaksanakan tugas sehari-hari Kepala Daerah dan/aatau Wakil Kepala Daerah adalah Sekretaris Daerah.



Dengan gaya kepemimpinan Ahok yang serba cepat dalam mengambil keputusan, bukan mustahil Ahok juga akan mengambil keputusan mundur dari Wagub DKI.



Konstelasi politik pemilihan Wagub DKI memiliki kerumitan tersendiri. Di satu sisi dalam proses Pilkada DKI 2 tahun yang lalu Jokowi danAhok diusung oleh PDI-P dan Partai Gerindra. Sementara realitas politik hari ini antara PDI-P dan Partai Gerindra sudah terjadi pecah kongsi. Sehingga masing-masing partai ingin mengusulkan calon masing-masing. Rumitnya lagi hari ini Ahok bukan lagi kader Partai Gerindra. Jadi tidak ada alasan politik bagi PDI-P untuk “memaksakan” calon pengganti Ahok harus dari PDI-P.



Di sisi lain Partai Gerindra juga sudah memutuskan Ketua Gerindra DKI M.Taufik untuk diusulkan sebagai calon wagub pengganti Ahok. Sementara seperti diketahui publik antara Ahok dengan M.Taufik memiliki perbedaan pandangan politik yang tajam dengan Ahok. Andai kata M.Taufik yang dipilih DPRD untuk menggantikan Ahok, maka hampir bisa dipastikan Ahok akan mendapat gangguan dari M.Taufik dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Gubernur.



Oleh sebab itu, daripada menimbulkan konflik-konflik politik yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan, barangkali perlu dipertimbangkan Ahok untuk mundur bersamaan dengan mundurnya Jokowi. Implikasinya akan dilakukan kocok ulang Gubernur dan Wakil Gubernur DKI melalui Pilkada yang dipercepat. Sehingga jelas siapa yang benar-benar didukung rakyat, siapa yang tidak.




Sumber : http://ift.tt/1tvTznL

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz