Iklan Capres di Media yang Terpolarisasi
Pertengahan Juli 2014 lalu, Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk merespon permintaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mencabut izin penyiaran stasiun televisi nasional yang vulgar menyajikan konten pemberitaan politik untuk kepentingan pribadi dan golongan. Lembaga penyiaran yang dimaksud itu adalah Metro TV dan TVOne.
Eko Mulyadi (Koordinator KIDP), menyebutkan bahwa desakan tersebut dilakukan karena pada masa pemilihan presiden kemarin ada beberapa stasiun televisi yang menggunakan frekuensi milik publik untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, kata Eko, KPID akan melakukan upaya hukum.
Menurut Eko, pengelolaan frekuensi televisi seharusnya dimanfaatkan sepenuhnya bagi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan seseorang, kelompok, maupun pemilik modal. untuk kepentingan pribadi. Kata dia, terkait hal itu KPID akan melakukan upaya hukum. “KIDP bersama elemen masyarakat sipil lainnya akan melakukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap adanya konsentrasi kepemilikan televisi,” kata Eko dalam jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2014), seperti yang dikutip dari m.jpnn.com.
Seperti yang kita ketahui, dalam pilpres 2014 kemarin, kita disuguhkan oleh media massa yang terpolarisasi. Ada media massa yang mendukung kubu Prabowo Subianto dan ada yang mendukung Jokowi. Polarisasi itu nampak jelas pada pemberitaan media-media massa tersebut.
Bahkan menurut temuan SatuDunia, seperti dipublikasikan dalam www.iklancapres.org , hal itu juga tercermin dalam pembagian kue iklan politik dari caperes. Dapat dibayangkan bila kemudian nanti pemilik media-media besar yang selama pilpres lalu terpolarisasi tiba-tiba pemiliknya bersatu mendukung salah satu calon. Jika itu terjadi, hampir dapat dipastikan fungsi kontrol sosial dari media akan mandul. Jika sudah demikian runtuhlah pilar demokrasi ke-4 yang diperjuangkan rakyat sejak 1998.
Dan yang lebih parah lagi, menurut Anwari Natari (Program Manager SatuDunia), sebanyak 92,78 persen belanja iklan capres digelontorkan ke media-media massa (televisi, radio, dan media cetak) yang ada di Jakarta. “Total ada Rp 114,62 miliar yang dibelanjakan untuk iklan capres di media-media massa Jakarta. Dominasi media massa Jakarta dalam pembangunan opini publik di Indonesia ini harus dihentikan,” tutur Anwari.
Anwari menambahkan, hal yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah membatasi konglomerasi media massa. “Dominasi media massa di Jakarta tidak bisa dilepaskan dari konglomerasi media,” jelas Anwari, “Untuk menghentikan dominasi media massa di Jakarta, ya, konglomerasi media massanya dulu yang harus dibenahi,” ujarnya.
Sumber foto: http://ift.tt/WlByLq
Sumber : http://ift.tt/1lLRbrK