Suara Warga

Gunung Nibniba, Tanah Leluhur Membuatku Hampir Menangis

Artikel terkait : Gunung Nibniba, Tanah Leluhur Membuatku Hampir Menangis

Dahulu Gunung Nibniba merupakan gunung yang sunyi, alami dan penuh hutan belukar dan satwa penghuni hutan. Penduduk menganggapnya sebagai tempat keramat, tempat mereka sering bersua dengan Yang Ilahi menurut agama tradisional. Batu-batu wadas putih yang mengitari gunung Nibniba dipandang sebagai “batu keramat”, tempat leluhur bertahta menemui kaum keturunannya. Mereka memandangnya sebagai tanda alami penguni dunia seberang bersama Usi Neno menyapa manusia.

Bebatuan alam itu dianggap warisan leluhur turun temurun untuk diakrabi. Tak pernah terbersit dalam pemikiran mereka bahwa bebatuan putih yang mengitari gunung Nibniba itu ternyata merupakan gundukan bebatuan Marmer yang melimpah. Bebatuan putih yang meliputi semua gunung Nibniba itu ternyata merupakan lempengan-lempengan Marmer terbaik di dunia. Beberapa puluhan tahun, para peneliti tambang menemukan adanya persediaan Marmer yang tak terbilang banyak jumlahnya di bukit-bukit sepanjang pegunungan Nibniba pada kecamatan Biboki Tanpah, tanah leluhurku.

Bebukitan Marmer di puncaj gunung itu, ah kembali membuatku teringat akan nostalgia masa kecilku bersama kakekku Alexander lalus Taekab. Waktu itu aku sudah cukup besar, menginjak kelas 2 SMP dalam umurku yang baru saja 14 tahun. Bersama kakekku yang asli Oekopa, kami menyelusuri kaki gunung Nibniba menemui saudari kakek yang tinggal bersama suaminya di punggung gunung Nibniba. Waktu itu situasi masih alami. Angin gunung Nibniba menghembusi rumah tempat kami menginap malam itu di temani lampu pelita berbahan bakar minyak tanah. Setelah serahian menyelusuri jalan berukuran kecil, kami tiba pada sore hari, di tengah hamparan sawah yang baru saja dipetik nenek.

Itulah ingatan saya akan kenangan bersama kakek-nenekku bermalam di punggung bukit Nibniba. Sebagai salah satu cucu orang Dawan, Saya dapat mengerti sedikit apa yang diucapankan kakekku bersama saudarinya dalam bahasa Dawan Biboki. Sejak saat itu, sayapun menyadari bahwa leluhurku dari pihak mama berasal dan berdiam turun temurun di kaki gunung Nibniba yang sejuk, dingin dan subur. Tahun 2013, untuk pertama kalinya saya mendaki gunung Nibniba, kali ini saya tidak bersama kakekku lagi karena beliau sudah dipanggil pulang ke hadapan Sang Khalik. Misi saya bukanj untuk mengunjungi nenek, saudari kakek yang masih hidup dan juga tinggal di kaki bukit Niniba, namun saya ingin mengamati dan mewawancarai para penambang sekaligus memgambil foto dari jarak dekat.

Gunung Nibniba membuatku hampir menangis, bukan hanya karena sedih menyaksikan kerusakan alam akibat eksplorasi Marmer, bukan hanya karena pernah mendengar keluhan demi keluhan para penambang karena mereka menuntut upah yang layak namun karena saya sejenak mengingat kembali pengalaman masa kecil di sini bersama kakekku dan nenekku yang membuat saya sempat berpikir bahwa gunung Nibniba ialah tanah Leluhurku yang kini dieskploitasi secara besar-besaran.

Dari pihak mama, saya memiliki kakek asli dari desa Oekopa, sedangkan nenek asli dari Nurobo desa Kusa. Keluarga Kakek-Nenek tinggal di Nurobo sedangkan kami tinggal di Halilulik, Belu-NTT.

1410546505832564165

Salah satu punggung gunung Nibniba yang terkena eksplorasi Marmer dipandnag dari jalan raya (Dokpri)

______________________________




Sumber : http://ift.tt/X8kARq

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz