Drama Politik Koalisi Merah Putih
Andaikan Pemilihan Presiden di kembalikan ke Parlemen, maka sudah pasti Prabowo-Hatta akan menang dengan kekuatan Politiknya. Namun Faktanya, Pilpres di serahkan kepada Rakyat, dan ternyata pilihan Rakyat tak berkorelasi dengan jumlah kursi di parlemen. Ini menunjukkan, Pilihan Rakyat berbeda antara Partai dan tokoh. Logikanya, jika Rakyat yang dulu memilih Partai pengusung Prabowo-Hatta tetap pada pilihannya, maka bisa dipastikan pilpres dimenangkan Prabowo. Karena yang menang adalah Jokowi-JK, itu berarti ada “keretakan” suara, dan keretakan suara terbesar tentu ada di Partai pengusung Prabowo-Hatta.
Untuk itulah, para Elite dan Pendukung Prabowo merasa berang ketika tahu ternyata Pilpres dimenangkan Jokowi-JK. Padahal di atas kertas, Prabowo-Hatta pasti menang, dengan asumsi bahwa pemilih partai tetap setia dengan pilihannya. Memang tak mudah menerima kenyataan ini, sosok yang didukung mayoritas suara di Parlemen bisa kalah suara. Maka berbagai cara dilakukan agar terus menang, contohnya melalui MK dan DKPP.
Kini, upaya untuk “terus menang” itu masih berlanjut. Setelah gagal memenangkan Prabowo-Hatta pada kursi kepresidenan. Kini dengan kekuatan di parlemen, KMP mencoba “menguasahi” Indonesia melalui RUU Pilkada. Tentu ini adalah Hak Politik, akan tetapi jika tak dipertimbangkan dengan matang, justru akan menjadi Boomerang dan bisa jadi akan kehilangan simpati Rakyat, mengingat sosok Jokowi-JK ditopang oleh suara Rakyat.
Dengan sikap-sikapnya selama ini, KMP akan tercitrakan sebagai Koalisi yang hanya “Menjegal” kepemimpinan Jokowi-JK. Padahal, Politik itu sangat dinamis. Sejauh ini, Partai-partai yang sangat keras dengan Jokowi-JK hanyalah PKS dan Gerindra. Golkar, PAN, dan PPP masih adem ayem. Untuk itu, jika sikap KMP terus begini, perlu mempertimbangkan “karma politiknya”. Kenapa?
Pertama, Jokowi-JK dimenangkan oleh Rakyat dengan harapan, Presiden terbaru ini bisa membawa perubahan lebih baik bagi Indonesia. Tantangan di lapangan tentu sangat besar. Sejauh ini, Masyarakat menilai KMP justru menjadi beban baru bagi Jokowi-JK. Ibaratnya, agar bisa menjalankan program-programnya, Jokowi-JK harus melalui ring ketat bernama parlemen yang didominasi KMP.
Kedua, sikap keras KMP terhadap Jokowi-JK justru tak memberikan “manfaat politik” bagi mayoritas partai koalisi seperti PAN, PPP, dan Golkar yang memang tak memiliki “konflik historis maupun ideologis” dengan Jokowi-JK beserta Partai Pendukungnya. PAN, PPP, Golkar bahkan Demokrat bisa melakukan Rekonsiliasi politik dengan koalisi Jokowi-JK dan justru itu akan memberikan “manfaat politik” kedepannya. Terutama Respect Masyarakat. jika tidak, pada pemilu 2019 nanti bisa kehilangan kepercayaan publik karena dinilai sebagai “partai penjegal” pilihan Rakyat.
Ketiga, kalaupun dilanjutkan, dan seluruh Partai di KMP menjadi oposisi, maka kemungkinan akan terjadi keretakan-keretakan berikutnya, sebagaimana keretakan ketika Pilpres, dimana suara Partai tak secara total mendukung Prabowo-Hatta. Pengalaman pada Pemerintahan SBY, tak semua partai Koalisi solid, contohnya PKS. Yang bahkan sempat ada istilah “Koalisi rasa Oposisi”. Bukan tak mungkin, di tengah Politik yang serba dinamis, KMP tak akan Solid. Dan itu sudah terjadi di Pilpres.
Untuk itu, demi kebaikan bersama, seyogyanya disudahi saja drama politik ini. utamakan sikap gotong royong. Jangan lagi tampakkan permusuhan di depan publik. Jokowi-JK sudah terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Mereka akan bekerja membangun Indonesia, berkerja untuk Rakyat. Dan itu bukan tugas yang mudah. Maka seharusnya KMP membantu, bukan malah memberi beban tambahan. Toh, beban tambahan itu justru akan memperlambat kemajuan bangsa ini.
Jika ingin bangsa ini maju, maka harus di jalankan bersama-sama. Salam Perubahan.
Sumber : http://ift.tt/1tpjz1m