Suara Warga

Dari Pencitraan ke Legacy, SBY Bapak Bangsa

Artikel terkait : Dari Pencitraan ke Legacy, SBY Bapak Bangsa

Menyambung tulisan sebelumnya, upaya pencitraan Presiden SBY di penghujung masa jabatan tak berakhir di isu panas BBM. Hari Selasa (2/9), Presiden SBY lagi-lagi berhasil mengungkit citranya setelah bertemu dengan Koalisi Merah Putih di kediamannya, di Puri Cikeas, Bogor. Pasca pertemuan tersebut, muncul personifikasi baru yang disematkan kepada Presiden SBY, yakni sebagai Bapak Bangsa. Dengan posisinya yang juga sebagai Presiden, Ketua Umum Partai Demokrat ini dikesankan sebagai pemersatu Koalisi Merah Putih yang akhir-akhir ini diisukan retak. Pertemuan di Cikeas tersebut sekaligus mengonfirmasi bila desas-desus perpecahan Koalisi Merah Putih tidak benar. Dan lagi-lagi SBY menjadi tokoh sentralnya.

Pertemuan SBY dengan komponen Koalisi Merah Putih, merupakan bagian dari skenario memosisikan Presiden SBY sebagai Bapak Bangsa. Sebelumnya, kita ketahui Presiden SBY juga bertemu dengan Presiden terpilih Joko Widodo di Bali. Pertemuan dua tokoh tersebut dikesankan sebagai simbolisasi transisi pemerintahan dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru secara tidak resmi (bukan serah terima jabatan/pelantikan). Makna dari pertemuan tersebut coba diambil oleh kedua belah pihak, baik Presiden SBY maupun Jokowi untuk mengomunikasikan diri mereka kepada rakyat, bahwa mereka adalah pemimpin republik ini. Sekaligus menyampaikan pesan bila pesta demokrasi telah usai dan kita sukses melaluinya.

Selain merupakan tradisi baru dan bagus dalam bangunan demorkasi kita, saya kira ada hajat pencitraan Presiden SBY di sini. Yaitu bahwa ia sukses menyerahkan estafet kepemimpinan nasional kepada Presiden baru dengan tanpa cacat apapun, dengan tidak dicederai oleh perpecahan. Maka keputusan Partai Demokrat untuk solid di Koalisi Merah Putih dan posisi Presiden SBY yang saat ini masih sangat di hormati di dalam koalisi tersebut, juga menjadi kesempatan bagi Presiden SBY untuk mengarahkan agar Koalisi Merah Putih terus berada pada track demorkasi yang sehat. Pada titik ini, lagi-lagi Presiden SBY berhasil meraup keuntungaan pencitraan sebagai pemersatu bangsa.

Alur politik dari transisi pemerintahan yang disimbolisasi pertemuan dengan Jokowi di Bali, menjaga soliditas Koalisi Merah Putih yang dibuktikan dengan pertemuan di Cikeas, serta sukses mencapai puncak pencitraan dengan menggunakan isu kenaikan BBM yang kemudian ditegaskan tak akan dinaikkan sebab SBY tidak mau menyulitkan rakyat, merupakan rentetan kecemerlangan politik pencitraan Presiden SBY di injury time kekuasaannya. Di tingkatan elit, Presiden SBY memperoleh posisi terhormat, pun pada tataran grasroot citranya sebagai pemimpin juga tetap terawat. Sebuah legacy yang sempurna.

Bagi Jokowi-JK, kepentingan membangun citra laksana akan menerbangkan pesawat. Sebelum take off, harus dipastikan semua komponen siap untuk mengudara dengan selamat hingga nantinya juga bisa mendarat dengan mulus (soft landing) seperti upaya yang dilakukan oleh Presiden SBY di kahir masa jabatannya saat ini. Duet yang memiliki similaritas karakter kepemimpinan ini, ingin memastikan beranjak dari starting yang tepat sebagai modal untuk melaksanakan amanah hingga lima tahun kedepan.

Adalah mimpi buruk bila kemudian dukungan suara yang diberikan oleh masyarakat ketika pilpres, terkoreksi di tengah jalan. Atau bahkan anjlok di awal pemerintahan. Maka selain mengonversi ekspektasi masyarakat menjadi kebijakan, Jokowi-JK juga harus menjaga ritme kebijakannya agar tetap berada pada track populis dan menjaga citra. Itulah esensi mengapa kemudian Jokowi-JK terkesan memaksakan dan menekan sangat kuat pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM.

Seperti diterangkan di muka, kenaikan harga BBM adalah isu yang sangat sensitif. BBM adalah kebutuhan utama masyarakat. Kenaikan harga BBM dapat berdampak sangat luas bagi orang-orang kecil di kampong-kampung maupun di kota-kota. Setiap pemerintahan yang menaikkan harga BBM, citranya pasti anjlok. Maka sensitivitas kenaikan harga BBM ini berusaha coba dihindari oleh Jokowi sebelum menjabat sebagai Presiden. Namun sayang, dalam babak “politik BBM” Presiden SBY lebih lihai dan berpengalaman, hingga akhirnya memenangkan pertarungan pencitraan. Politik pencitraan tak jadi masalah selama citra itu berkorelasi positif untuk rakyat, bangsa dan negara.

Maka betapa benar pandangan Scammell (2007), bahwa pencitraan dalam politik muncul sebagai upaya menambahkan kekuatan lapisan hubungan emosional yang beroperasi lebih kuat dari nilai ril sebuah produk, dalam hal ini adalah politisi yang dicitrakan. Tujuan utama pencitraan politik ini adalah untuk terhubung pada tingkat emosional dengan masyarakat, agar memperoleh penialain positif dan legitimasi yang kuat.




Sumber : http://ift.tt/1lYVIap

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz