Bangkitnya Pilkada Versi Orde Baru
Perubahan sikap sebagian besar fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih yang menginginkan Pilkada dipilih oleh DPRD, wajib dicurigai. Beberapa pengamat menyatakan perubahan sikap ini dinilai sarat kepentingan politik pragmatis jangka pendek. Dan upaya balas dendam koalisi merah putih paska kekalahan dalam Pilpres. (sumber: Koran Kompas, 5 September 2014). Namun, saya melihatnya lebih daripada itu. Secara tersamar, koalisi merah putih – secara de facto yang dikendalikan oleh Golkar (bukan Gerindra) — membawa agenda ingin membangkitkan kembali tirani Orde Baru. Beberapa kendala teknis prosedural dan kekurangan Pilkada yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat hanya dijadikan dalih. Tanpa menyentuh hakikat pemilihan langsung oleh rakyat sebagai penjelmaan prinsip demokrasi: dari, oleh dan untuk rakyat.
Baik Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Otonomi Daerah Depdagri maupun DPR RI yang diwakili oleh Panita Kerja (Panja) Komisi II, terjebak pada tafsir Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan menyatakan bahwa konstitusi tidak mengatur Pilkada langsung oleh rakyat. Begitupun sebaliknya, tidak mengatur Pilkada melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Sehingga frasa “dipilih secara demokratis” ditafsir dengan sesuka hati. Mekanisme pemilihan baik langsung maupun tidak langsung hanya perkara teknis belaka. Apakah sesederhana itu cara berpikirnya?. Dengan beranggapan, toh sama saja, DPRD juga dipilih oleh rakyat. Sebagai wakil rakyat dengan memilih Kepala Daerah, sama saja seperti rakyat yang memilihnya secara langsung.
Dalam ilmu hukum, jika pasal-pasal masih mengandung ambigu dan ketidakpastian dalam penafsirannya, maka harus ditelisik asal usul, dan sejarah perdebatan saat pertama kali diundangkan. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah maupun fraksi DPR koalisi merah putih, hanya berhenti pada penafsiran TEXT, dan menghilangkan KONTEKS. Tidak ada upaya untuk menggali tafsir historis (asbabun nuzul) dari text yang dimaksud.
Amandeman ketiga UUD 1945 menyangkut pasal 18 ayat (4) frasa “dipilih secara langsung” terjadi dalam perdebatan panjang di Panitia Ad hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000. Saat itu, mayoritas anggota MPR, menghendaki pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Ada beberapa alasan yang mendasarinya: Pertama, implementasi UU No.22 tahun 1999 yang mengatur pemilihan Kepala Daerah lewat DPRD, mendapat banyak protes dari kalangan pro reformasi. Proses dan hasil pemilihan Kepala Daerah tersebut dianggap menghinanati semangat reformasi dan tetap merujuk pada pola pemilihan zaman Orde Baru yang sangat ditentang. Dimana ada pertentangan antara tirani kekuasaan versus partisipasi luas oleh rakyat yang diusung dalam semangat reformasi. Kedua, Pada saat yang bersamaan terjadi perdebatan panjang tentang cara pemilihan Presiden langsung dan tidak langsung. Singkat kata, wacana pemilihan langsung oleh rakyat baik untuk Kepala Daerah dan Presiden – yang dibahas dalam waktu bersamaan – ada dalam kerangka berpikir yang sama. Dalam semangat reformasi untuk menumbuhkan partispasi politik rakyat yang seluas-luasnya. Dimana partisipasi ini dibungkam dan dikubur dalam rezim Orde Baru. Meskipun demikian, pelaksanaan Pilkada secara langsung belum saatnya dilakukan saat itu, mengingat stabilitas politik nasional pasca reformasi dan proses transisi Presiden dari BJ Habbie-Abdurrachman Wahid-Megawati, masih belum memungkinkan. Jadi, penundaan pelaksaan Pilkada secara langsung lebih pada pertimbangan stabilitas politik saat itu. Namun, semangat dan nilai yang terkandung dalam pasal 18 ayat 4 frasa “dipilih secara demokratis” berarti dipilih langsung oleh rakyat.
Bukti ada pemahaman yang sama akan semangat dan nilai reformasi ini, saat diberlakukan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menjadi dasar hukum pelaksan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak ada lagi perdebatan di DPR saat itu, akan frasa “dipilih secara demokratis”. Hal ini sebagai penanda, telah terjadi konsensus nasional akan frasa “dipilih secara demokratis” sebagaimana yang diterjemahkan pemilihan langsung oleh rakyat dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Kedua, Pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dipilih secara langsung telah berjalan sebagaimana mestinya. Dan Ketiga, atas laporan dari Tim Departemen Dalam Negeri maupun DPR, diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ketika koalisi merah putih saat ini akan membalikan opsi pemilihan kepala daerah kepada DPR, tidaklah bisa dipandang sebagai hal teknis formalitas pemilihan belaka. Gejala ini menunjukan dua hal: Penghianatan terhadap semangat reformasi dan sebaliknya akan menghidupkan kembali tirani kekuasaan model Orde Baru.
Jika kita lihat perjalanan amandemen UUD 1945 hingga terlaksananya Pilkada langsung oleh rakyat dilatarbelakangi oleh penolakan model rezim kekuasaan Orde Baru. Meskipun konstitusi sudah memberi dasar pijakan tersebut, namun DPR tetap saja meminta pendapat dan masukan masyarakat hingga terbit UU N0.32 tahun 2004. Artinya meskipun semangat reformasi yang memberi warna pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 namun kehendak dan aspirasi rakyat tetap saja diperlukan untuk ikut serta dalam proses pengambilankeputusan di DPR saat itu.
Sementara perubahan sikap koalisi merah putih yang terjadi dalam 3 hari terakhir ini, sama sekali menafikan suara dan kehendak rakyat. Termasuk rakyat yang memilih Partai-partai yang berada dalam koalisi merah putih itu. Keputusan yang diambil hanya berada pada kisaran elit politik. Tidak ada upaya koalisi merahputih untuk melakukan refrendum.
Apa pentingnya refrendum? Karena yang diputuskan bukan soal Gubernur, Bupati, atau Walikota sebagai pejabat publik. Tapi menyangkut hak fundamental rakyat secara langsung untuk ikutserta menentukan para pemimpin mereka. Sebagaimana semangat reformasi yang membuka ruang partisipasi politik yang seluas-luasnya. Berubahnya sistem pemilihan dari langsung menjadi tidak langsung, membutuhkan persetujuan rakyat. Jika rakyat setuju, silakan saja dijalankan. Dan mengubah sistem pemilihan menjadi pemilihan oleh DPRD.
Bahwa pemilihan langsung terdapat banyak kekurangan disana sini, tidak berarti harus menghilangkan partispasi rakyat pada akhirnya. Yang harus dilakukan justru upaya perbaikan, agar Pilkada secara langsung menunjukan kualitas demokrasi yang lebih baik. Bahwa alam reformasi membuka ruang kebebasan politik warga dan menimbulkan ekses-ekses, tidak berati harus dilenyapkan dan kembali kepada sistem totaliter.
Misalnya, reformasi membuka kran kebebasan pers yang begitu luas dibanding dengan zaman Orde Baru. Saat kebebasan menimbulkan akses seperti penyebaran fitnah, kampanye hitam, informasi yang menyesatkan dlll, bukan berarti kita harus kembali seperti zaman Orde Baru, dengan pengawasan ketat dan upaya pembredelan. Ketika reformasi membuka ruang masyarakat untuk bebas menyatakan pendapat termasuk melakukan demostrasi, ketika terdapat ekses demo merusak, demo bayaran, tidak bisa kita kembali ke zaman Orde Baru untuk memberlakukan penangkapan para demostran sesuka hati dengan menggunakan UU Subversif.
Sama seperti Pilkada secara langsung, ketika menimbulkan misalnya masifnya praktik politik uang yang merusak, bukan berarti harus menghilangkan partisipasi rakyat ikut serta dalam memilih calon pemimpinnya. Karena itulah amanat reformasi. Yang harus dilakukan justru penegakan hukum. Mengapa UU yang dibentuk oleh DPR, kewenangan pengawasan oleh Bawaslu dan peran aparat penegak hukum tidak optimal untuk melakukan pencegahan itu. Ketika banyak pengendara kendaraan bermotor yang tidak menggunakan helm, mengapa yang disalahkan pengedara kendaraan bermotor dan mengusulkan tidak perlu ada kendaraan bermotor cukup menggunakan kendaraan umum saja. Justru yang harus disalahkan, kenapa tidak ada polisi yang menangkap. Kenapa UU, begitu longgar dan kenapa tidak ada sangsi tegas atas pelanggaran itu. Sama seperti praktik politik uang di masyarakat ekses dari Pilkada. Adakah Kepala Daerah yang dicabut (diskualifikasi) karena timnya terbukti melakukan praktik politik uang. Jadi saat penegakan hukum lemah, mengapa yang disalahkan masyarakat yang melakukan pelanggaran.
Tapi, sekali lagi saya katakan, apapun yang diajukan oleh koalisi merah putih hanya dalih belaka. Untuk memuluskan agenda tersembunyi, membangkitkan kembali tirani kekuasaan versi Orde Baru. Dan secara sistematis, berupaya mengubur partisipasi politik rakyat. Jadi perdebatan pemilihan Kepala Daerah langsung atau tidak langsung, tidak bisa ditempatkan dalam kerangka formalitas saja. Dalam kerangka teknis dan mekanisme pemilihan. Tetapi secara substansial, ada dua kutub yang bersebrangan. Tirani kekuasaan versus partisipasi rakyat. Pemilihan langsung oleh rakyat adalah sintesis dan jawaban dari bobroknya sistem Orde Baru.
Kesimpulannya: secara tersembunyi koalisi merah putih yang dimotori oleh Golkar sedang berupaya untuk membangitkan kembali arwah Orde Baru.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1AdNex9
Baik Pemerintah yang diwakili oleh Dirjen Otonomi Daerah Depdagri maupun DPR RI yang diwakili oleh Panita Kerja (Panja) Komisi II, terjebak pada tafsir Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Dengan menyatakan bahwa konstitusi tidak mengatur Pilkada langsung oleh rakyat. Begitupun sebaliknya, tidak mengatur Pilkada melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Sehingga frasa “dipilih secara demokratis” ditafsir dengan sesuka hati. Mekanisme pemilihan baik langsung maupun tidak langsung hanya perkara teknis belaka. Apakah sesederhana itu cara berpikirnya?. Dengan beranggapan, toh sama saja, DPRD juga dipilih oleh rakyat. Sebagai wakil rakyat dengan memilih Kepala Daerah, sama saja seperti rakyat yang memilihnya secara langsung.
Dalam ilmu hukum, jika pasal-pasal masih mengandung ambigu dan ketidakpastian dalam penafsirannya, maka harus ditelisik asal usul, dan sejarah perdebatan saat pertama kali diundangkan. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah maupun fraksi DPR koalisi merah putih, hanya berhenti pada penafsiran TEXT, dan menghilangkan KONTEKS. Tidak ada upaya untuk menggali tafsir historis (asbabun nuzul) dari text yang dimaksud.
Amandeman ketiga UUD 1945 menyangkut pasal 18 ayat (4) frasa “dipilih secara langsung” terjadi dalam perdebatan panjang di Panitia Ad hoc 1 Badan Pekerja MPR tahun 2000. Saat itu, mayoritas anggota MPR, menghendaki pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Ada beberapa alasan yang mendasarinya: Pertama, implementasi UU No.22 tahun 1999 yang mengatur pemilihan Kepala Daerah lewat DPRD, mendapat banyak protes dari kalangan pro reformasi. Proses dan hasil pemilihan Kepala Daerah tersebut dianggap menghinanati semangat reformasi dan tetap merujuk pada pola pemilihan zaman Orde Baru yang sangat ditentang. Dimana ada pertentangan antara tirani kekuasaan versus partisipasi luas oleh rakyat yang diusung dalam semangat reformasi. Kedua, Pada saat yang bersamaan terjadi perdebatan panjang tentang cara pemilihan Presiden langsung dan tidak langsung. Singkat kata, wacana pemilihan langsung oleh rakyat baik untuk Kepala Daerah dan Presiden – yang dibahas dalam waktu bersamaan – ada dalam kerangka berpikir yang sama. Dalam semangat reformasi untuk menumbuhkan partispasi politik rakyat yang seluas-luasnya. Dimana partisipasi ini dibungkam dan dikubur dalam rezim Orde Baru. Meskipun demikian, pelaksanaan Pilkada secara langsung belum saatnya dilakukan saat itu, mengingat stabilitas politik nasional pasca reformasi dan proses transisi Presiden dari BJ Habbie-Abdurrachman Wahid-Megawati, masih belum memungkinkan. Jadi, penundaan pelaksaan Pilkada secara langsung lebih pada pertimbangan stabilitas politik saat itu. Namun, semangat dan nilai yang terkandung dalam pasal 18 ayat 4 frasa “dipilih secara demokratis” berarti dipilih langsung oleh rakyat.
Bukti ada pemahaman yang sama akan semangat dan nilai reformasi ini, saat diberlakukan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menjadi dasar hukum pelaksan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Tidak ada lagi perdebatan di DPR saat itu, akan frasa “dipilih secara demokratis”. Hal ini sebagai penanda, telah terjadi konsensus nasional akan frasa “dipilih secara demokratis” sebagaimana yang diterjemahkan pemilihan langsung oleh rakyat dalam amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Kedua, Pemilihan Presiden dan wakil Presiden yang dipilih secara langsung telah berjalan sebagaimana mestinya. Dan Ketiga, atas laporan dari Tim Departemen Dalam Negeri maupun DPR, diperoleh aspirasi dominan dari masyarakat menghendaki kepala daerah itu dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ketika koalisi merah putih saat ini akan membalikan opsi pemilihan kepala daerah kepada DPR, tidaklah bisa dipandang sebagai hal teknis formalitas pemilihan belaka. Gejala ini menunjukan dua hal: Penghianatan terhadap semangat reformasi dan sebaliknya akan menghidupkan kembali tirani kekuasaan model Orde Baru.
Jika kita lihat perjalanan amandemen UUD 1945 hingga terlaksananya Pilkada langsung oleh rakyat dilatarbelakangi oleh penolakan model rezim kekuasaan Orde Baru. Meskipun konstitusi sudah memberi dasar pijakan tersebut, namun DPR tetap saja meminta pendapat dan masukan masyarakat hingga terbit UU N0.32 tahun 2004. Artinya meskipun semangat reformasi yang memberi warna pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 namun kehendak dan aspirasi rakyat tetap saja diperlukan untuk ikut serta dalam proses pengambilankeputusan di DPR saat itu.
Sementara perubahan sikap koalisi merah putih yang terjadi dalam 3 hari terakhir ini, sama sekali menafikan suara dan kehendak rakyat. Termasuk rakyat yang memilih Partai-partai yang berada dalam koalisi merah putih itu. Keputusan yang diambil hanya berada pada kisaran elit politik. Tidak ada upaya koalisi merahputih untuk melakukan refrendum.
Apa pentingnya refrendum? Karena yang diputuskan bukan soal Gubernur, Bupati, atau Walikota sebagai pejabat publik. Tapi menyangkut hak fundamental rakyat secara langsung untuk ikutserta menentukan para pemimpin mereka. Sebagaimana semangat reformasi yang membuka ruang partisipasi politik yang seluas-luasnya. Berubahnya sistem pemilihan dari langsung menjadi tidak langsung, membutuhkan persetujuan rakyat. Jika rakyat setuju, silakan saja dijalankan. Dan mengubah sistem pemilihan menjadi pemilihan oleh DPRD.
Bahwa pemilihan langsung terdapat banyak kekurangan disana sini, tidak berarti harus menghilangkan partispasi rakyat pada akhirnya. Yang harus dilakukan justru upaya perbaikan, agar Pilkada secara langsung menunjukan kualitas demokrasi yang lebih baik. Bahwa alam reformasi membuka ruang kebebasan politik warga dan menimbulkan ekses-ekses, tidak berati harus dilenyapkan dan kembali kepada sistem totaliter.
Misalnya, reformasi membuka kran kebebasan pers yang begitu luas dibanding dengan zaman Orde Baru. Saat kebebasan menimbulkan akses seperti penyebaran fitnah, kampanye hitam, informasi yang menyesatkan dlll, bukan berarti kita harus kembali seperti zaman Orde Baru, dengan pengawasan ketat dan upaya pembredelan. Ketika reformasi membuka ruang masyarakat untuk bebas menyatakan pendapat termasuk melakukan demostrasi, ketika terdapat ekses demo merusak, demo bayaran, tidak bisa kita kembali ke zaman Orde Baru untuk memberlakukan penangkapan para demostran sesuka hati dengan menggunakan UU Subversif.
Sama seperti Pilkada secara langsung, ketika menimbulkan misalnya masifnya praktik politik uang yang merusak, bukan berarti harus menghilangkan partisipasi rakyat ikut serta dalam memilih calon pemimpinnya. Karena itulah amanat reformasi. Yang harus dilakukan justru penegakan hukum. Mengapa UU yang dibentuk oleh DPR, kewenangan pengawasan oleh Bawaslu dan peran aparat penegak hukum tidak optimal untuk melakukan pencegahan itu. Ketika banyak pengendara kendaraan bermotor yang tidak menggunakan helm, mengapa yang disalahkan pengedara kendaraan bermotor dan mengusulkan tidak perlu ada kendaraan bermotor cukup menggunakan kendaraan umum saja. Justru yang harus disalahkan, kenapa tidak ada polisi yang menangkap. Kenapa UU, begitu longgar dan kenapa tidak ada sangsi tegas atas pelanggaran itu. Sama seperti praktik politik uang di masyarakat ekses dari Pilkada. Adakah Kepala Daerah yang dicabut (diskualifikasi) karena timnya terbukti melakukan praktik politik uang. Jadi saat penegakan hukum lemah, mengapa yang disalahkan masyarakat yang melakukan pelanggaran.
Tapi, sekali lagi saya katakan, apapun yang diajukan oleh koalisi merah putih hanya dalih belaka. Untuk memuluskan agenda tersembunyi, membangkitkan kembali tirani kekuasaan versi Orde Baru. Dan secara sistematis, berupaya mengubur partisipasi politik rakyat. Jadi perdebatan pemilihan Kepala Daerah langsung atau tidak langsung, tidak bisa ditempatkan dalam kerangka formalitas saja. Dalam kerangka teknis dan mekanisme pemilihan. Tetapi secara substansial, ada dua kutub yang bersebrangan. Tirani kekuasaan versus partisipasi rakyat. Pemilihan langsung oleh rakyat adalah sintesis dan jawaban dari bobroknya sistem Orde Baru.
Kesimpulannya: secara tersembunyi koalisi merah putih yang dimotori oleh Golkar sedang berupaya untuk membangitkan kembali arwah Orde Baru.
Salam Kompasiana.
Sumber : http://ift.tt/1AdNex9