Ahok dan Soe Hok Gie “Tumbal” Cita-cita Indonesia Raya
“Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah” (Soe Hok Gie)
Ahok “Sang Pendobrak” dari Negeri Laskar Pelangi pernah mengalami masa-masa suram dalam perjalanan hidupnya. Usahanya ditutup gara-gara berani melawan arogansi dan kesewenang-wenangan pejabat pemerintah. Ahok sempat kecewa dan berniat meninggalkan Indonesia untuk menetap di luar negeri. Tapi Kim Nam, ayahnya melarangnya. “Jika tidak setuju terhadap ‘sesuatu’ maka ubahlah, jangan lari. Orang miskin jangan lawan orang kaya, orang kaya jangan lawan pejabat,” nasehat ayahnya saat itu.
Menurut Kim Nam, sehebat dan sedermawan apapun orang kaya menolong orang miskin pasti tetap punya keterbatasan dan hambatan. Karenanya, yang mampu menolong orang miskin secara hakiki adalah para pejabat melalui kebijakannya. Lalu sang ayah pun memberikan ilustrasi, jika orang kaya yang dermawan ingin membagikan uang 1 milyar kepada orang miskin masing-masing 500.000 rupiah, maka uang tersebut hanya cukup untuk 2000 orang. Tapi jika uang 1 milyar tersebut digunakan untuk berpolitik, bayangkan jumlah uang APBD yang bisa dikuasai dan digunakan untuk menolong orang miskin. Ahok pun tersadar, nasehat dari ayahnya terus membekas hingga kini.
Nasehat ayahnya tentang ilustrasi APBD benar-benar menginspirasi dan menyadarkan Ahok untuk terjun ke dunia politik. Pengalaman hidupnya yang pahit ketika melawan kesewenang-wenangan pejabat serta keinginannya untuk membantu rakyat miskin dalam skala yang lebih besar semakin memantapkan langkah Ahok masuk ke dunia politik. Selain nasehat ayahnya yang penuh inspirasi, dalam berpolitik Ahok juga sangat memegang teguh kata-kata Sam Ratulangi,”Hidup untuk menghidupkan manusia lain. Hidup untuk memanusiakan manusia lainnya .” Untuk mewujudkan pesan inspiratif dari Sam Ratulangi, Ahok bertekad bulat memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Selain pemikiran Sam Ratulangi, pemikiran Soe Hok Gie yang fenomenal sebagai tokoh gerakan perubahan juga menginspirasinya untuk berkiprah di dunia politik. Menurut Soe Hok Gie, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah”. Kini, Ahok benar-benar bisa merasakan langsung betapa kotornya politik. Dalam politik “tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi”. Maka kepentingan abadi yang dimiliki Ahok adalah mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Cita-cita besar dan mulia yang hingga akhir hayatnya belum bisa diwujudkan oleh seorang Soe Hok Gie.
Karenanya, tujuan Ahok terjun ke dunia politik bisa jadi sangat berbeda dengan politisi lainnya. Jika sebagian besar politisi di negeri ini lebih memilih berjuang untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya, maka Ahok memilih jalan berbeda. Bagi Ahok politik adalah jalan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Raya, mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Kisah perjuangan Ahok hampir mirip dengan kisah Soe Hok Gie. Sama-sama dilahirkan dari keturunan Tionghoa, sama-sama nerjuang untuk mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Simaklah sepenggal puisi karya Soe Hok Gie yang hinggá kini masih tetap fenomenal dan menjadi inspirasi perubahan.
Hidup adalah soal keberanian…
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengereti
Tanpa kita bisa menawar
Terimalah dan hadapilah…
Meskipun raganya telah lelap dalam pelukan bumi dan abunya telah menyelimuti Pangrango, tapi hingga kini semangat dan cita-cita Soe Hok Gie untuk mewujudkan Indonesia Raya tak pernah mati. Soe Hok Gie menjadi simbol perlawanan para reformis idealis yang menentang kemunafikan para politisi dan pejabat oportunis. Banyak kata-kata dan pemikiran Soe Hok Gie yang tetap tumbuh subur dan gak ada matinya.
“Lebih baik diasingkan daripada tunduk dan menyerah pada kemunafikan”.
Kini, ketika rakyat merindukan sosok Soe Hok Gie yang pemberani dalam membela kebenaran dan kepentingan “wong cilik”, muncul Ahok dengan karakter dan sosok yang hampir mirip dengan Soe Hok Gie. Meskipun badai dan rintangan selalu menghadang baik Soe Hok Gie maupun Ahok rela menjadi tumbal demi terwujudnya cita-cita Indonesia Raya.
“Jika kepala lurus, bawahan tidak berani tidak lurus” (Ahok).
Sumber : http://ift.tt/1tF5Bc5