Suara Warga

Silaturahmi GAM Eks Libya di Aceh, Romantisme Masa Lalu?

Artikel terkait : Silaturahmi GAM Eks Libya di Aceh, Romantisme Masa Lalu?



14073781852019856940 Sumber: http://ift.tt/1ohI1CD



Ahad lalu, para eks GAM lulusan Libya berkumpul di Hotel Lido Graha Lhokseumawe. Pertemuan yang dihadiri oleh lebih kurang 70 orang eks kombatan GAM Libya seluruh Aceh juga dihadiri beberapa tokoh penting dalam pemerintahan Aceh di antaranya; Wakil Gubernur Aceh yang juga mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf, Bupati Pidie Sarjani Abdullah dan Ketua DPW PA, KPA wilayah Pasee Zulkarnaini Hamzah.

Muzakkir Manaf mengaku bahwa pertemuan ini merupakan silaturahmi yang digagasnya sebagai upaya merajut kembali hubungan yang mulai renggang di antara para mantan kombatan sekaligus sedikit banyak membahas tentang legislasi Aceh ke depan. Muzakkir juga menolak adanya anggapan telah terjadinya perpecahan dalam tubuh PA/KPA yang diawaki secara mayoritas oleh para eks kombatan GAM.

Menurut sejarah awal pembentukan GAM khususnya para lulusan Akademi Militer Tripoli, Libya, awal perekrutan mereka diawali pada tahun 1987, ketika Malik Mahmud merekrut para pemuda Aceh dari Aceh dan Malaysia untuk melakukan pendidikan militer di Libya. Dengan sistem otoriter yang dibangun oleh Malik Mahmud saat itu, para rekrutan ini mulai menganggap Malik Mahmud sebagai pemimpin mereka. Saat-saat itulah yang dianggap oleh mantan Menteri Pendidikan GAM Husaini Hasan sebagai masa-masa perubahan perjuangan GAM yang awalnya GAM selalu menyatukan perjuangan mereka dengan rakyat dengan motto “dari rakyat untuk rakyat” menjadi perjuangan otoriter dengan garis lurus militeristik, dimana rakyat tidak punya pilihan selain menuruti perintah. Pada masa itu pula dicanangkan istilah “pajak nanggroe” yang merupakan kutipan liar para eks kombatan GAM untuk mendukung perjuangannya.

Oleh karenanya, silaturahmi para eks kombatan GAM lulusan Libya ini bisa memiliki dua arti penting, yang pertama mungkin sebagai reuni biasa untuk silaturahmi dan mempererat hubungan antar sesama eks kombatan namun di lain pihak juga bisa diartikan sebagai upaya membangkitkan romantisme masa lalu, “masa-masa indah” ketika mereka masih menjadi “sesuatu” yang penting, berkuasa dan “powerful”. Hanya mungkin dengan cara yang berbeda dengan masa lalu, dimana kali ini sebagian besar dari mereka telah menguasai pos-pos jabatan dalam pemerintahan, birokrasi maupun legislatif, sehingga “pajak nanggroe” yang dilakukan tidak diambil lagi langsung dari rakyat melainkan dari keuangan negara yang tentu jumlahnya jauh lebih besar dan menggiurkan.

Sebagai rakyat biasa, tentunya kita berharap silaturahmi ini hanya sekedar reuni belaka, tidak ada maksud dan tujuan terselubung di balik acara itu. Namun tentunya tidak salah juga apabila kita memilih untuk bersikap tidak terlalu naive dengan mengacu sejarah para eks Libya ini ketika arah perjuangan mulai berubah haluan.

Rafli Hasan




Sumber : http://ift.tt/1pY3T2q

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz