Suara Warga

Saksi: MK Bukan Kalkulator

Artikel terkait : Saksi: MK Bukan Kalkulator

Beberapa hal yang disodorkan rekan akademisi hukum, bila berkenan baiknya direnungkan dan dipahami terkait pelaksanaan Pemilu atau Pilpres antara lain :

1. Oliver Wendell Holmes, mantan Hakim menyatakan :

‘Keadilan bukan hanya hasil akhir, keadilan akhir merupakan hasil dari proses awal. Jika dari permulaan dikesampingkan proses yang semestinya, hasil akhirnya adalah bukan keadilan’.

2. Kemudian prinsip hukum dan keadilan menyebutkan bahwa :

‘Tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain - nemo commodum capere potest de injuria sua propria’.

3. MAKA TIDAK SATUPUN PESERTA PESTA DEMOKRASI YANG BOLEH DIUNTUNGKAN AKIBAT TERJADINYA PELANGGARAN KONSTITUSI DAN PRINSIP KEADILAN.

4. Mahkamah Konstitusi secara formil maupun materil, bila melihat telah terjadi pelanggaran pemilu yang berpengaruh terhadap hasil perolehan suara secara keseluruhan maka Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan Kehakiman (Judicial Power) tidak boleh berdiam diri menyaksikan pelanggaran hukum yang merusak sendi-sendi demokrasi dan tidak memberikan tertib hukum dan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat, sehingga diperlukan upaya perbaikan melalui putusan Mahkamah Konstitusi.

Terkait dengan hal diatas ada baiknya juga kita kutip kembali pernyataan salah satu saksi ahli yang bersidang di Mahkamah Konstitusi Yusril Ihza Mahendra (YIM) hari ini bahwa (okezone.com) :

1. MK ditantang YIM agar MK bisa lebih dalam lagi menangani kasus gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk bisa memutus perkara yang diajukan pemohon

2. MK saat ini hanya bekerja pada batas penghitungan angka-angka hasil rekapitulasi pemilu dan tidak menyentuh pada masalah substansi pemilu

3. Di Thailand MK bisa mengatakan MEMBATALKAN PEMILU dengan alasan pemilu itu cacat secara hukum dan konstitusi

4. MK akan menjadi LEMBAGA KALKULATOR bila hanya mempermasalahkan penghitungan terkait hitungan suara dan angka belaka, tanpa menilai apakah perolehan suara itu dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran sistematik terstruktur serta masif atau tidak

5. MK harus fokus ke permasalahan substansial untuk memutuskan perkara pemilu sebagaimana diamanatkan UUD 1945

6. MK dalam menjalankan kewenangannya untuk arah yang substansial memutus sengketa pilpres seperti misalnya yang dilakukan Mahkamah Konstitusi di Thailand yang menilai apakah hasil pemilu itu konstitusional atau tidak, sehinga bukan hanya angka saja

7. MK harus menilai apakah hasil Pilpres sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak

8. Legalitas hasil Pilpres adalah masalah fundamental yang diatur konstitusi bahwa apakah asas pemilu luber jurdil sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak baik oleh KPU maupun peserta pemilu.

Dengan poin-poin penting diatas penegakan keadilan yang dijalankan berbagai lembaga penegak hukum termasuk Mahkamah Konstitusi selama ini memang memprihatinkan, kedepannya akan meragukan bahwa penyelesaian atas peran penyelenggara pesta demokrasi yang amburadul sejak Indonesia merdeka menunjukkan kebenaran jalan yang telah ditempuh Indonesia untuk memilih demokrasi adalah salah apabila :

1. KPU, keberadaannya sejak awal menjadi momok perusak demokrasi sendiri namun baru kali inilah KENA BATUNYA

2. Bawaslu, seakan seperti dayang-dayang atau bendungan sungai yang cuma memayungi atau mengatur deras dan kecilnya gelombang publik ‘menyerang’ KPU

3. DKPP, mahluk halus yang tiba-tiba muncul hanya untuk jalan tikus bagi memuaskan dahaga ketidakpuasan publik terhadap buruknya kinerja komisioner KPU.

Kalau begini jangankan KALKULATOR, jalan demokrasi yang ditempuh Indonesia sudah ketinggalan jauh untuk disadari bahwa pelaksanaan DEMOKRASI sendiri hanyalah berupa FATAMORGANA.




Sumber : http://ift.tt/1rd1Pdl

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz