Sakralisasi Demokrasi
Kapan masuknya paham demokrasi ke negeri ini mungkin masih debatable. Namun yang pasti, istilah tersebut tidaklah tercantum dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Bisa ada banyak kemungkinan terkait hal ini, bisa jadi demokrasi belum familiar saat itu. Atau resistensi rakyat Indonesia terhadap istilah demokrasi masih sangatlah besar.
Demokrasi merupakan bentukan dua kata, yaitu demos (rakyat) dan kratos (aturan). Dua kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno yang bila digabungkan berarti kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah yang berhak untuk membuat dan menetapkan peraturan yang berlaku untuk mereka sendiri. Sehingga, otoritas tertinggi untuk membuat dan memberlakukan undang-undang, berada di tangan rakyat.
Sejak munculnya ide demokrasi pada abad pertengahan, yang merupakan reinkarnasi dari konsep negara polis Athena, Barat mengadopsi ide tersebut sebagai konsekuensi dari ideologi sekulerisme yang mereka anut. Pengasingan agama pada wilayah privat semata, membuat demokrasi menjadi pilihan ide utama untuk membangun konsep perpolitikan saat itu.
Setelah Barat merasa sukses dengan sekulerisasi yang mereka perjuangkan, mereka menjajakannya ke bangsa lain, termasuk ke negeri ini. Rakyat Indonesia yang baru saja terbebas dari penjajahan Belandan dan Jepang, langsung merasakan adanya ekspansi dua ideologi dunia yang dibawa AS dan Soviet, yaitu sekulerisme dan komunisme. Seolah berupaya bersikap netral, Indonesia memprakarsai gerakan non blok. Namun, tetap saja kenyataannya Indonesia masuk dalam pusaran ideologi AS, yakni kapitalisme. Apalagi setelah tuntuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Akhirnya, sekulerisme –yang juga terkenal dengan kapitalisme- masuk ke Indonesia dengan leluasa termasuk ide turunannya, yaitu demokrasi.
Perkembangan demokrasi semakin menghebat di dunia, terutama ketika Barat menjajakannya dengan balutan manis anti tesis dari diktatorianisme. Bila tidak memilih demokrasi, berarti anda memilih untuk diatur oleh pemerintahan diktator. Tetapi, bila anda memilih demokrasi, maka anda akan bebas untuk menentukan nasib anda sendiri. Mau sejahtera, tinggal memilih pemimpin dan membuat aturan yang bisa mensejahterakan. Sederhana sekali. Tentunya, siapa yang tidak bermimpi sejahtera, semua bangsa di dunia tentu memimpikan hal tersebut.
Ternyata kesejahteraan dalam demokrasi benar-benar menjadi mimpi semata. Dalam kenyataannya, demokrasi bukanlah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang sering dipropagandakan selama ini. Ketidakmungkinan rakyat untuk berkumpul membuat aturan telah meniscayakan adanya konsep perwakilan. Dalam konsep pewakilan inilah adanya campur tangan para pemilik modal. Sehingga yang duduk di dewan perwakilan adalah mereka yang disokong oleh para pemilik modal. Tentunya, keberpihakan mereka pun lebih condong kepada para pemilik modal dibandingkan terhadap rakyat. Dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi adalah ungkapan yang lebih tepat dalam memahami fakta demokrasi.
Begitupun demokrasi sebagai antitesis dari konsep diktatorianisme ternyata hanya menjadi mitos semata. Karena realitas sistem demokrasi, menunjukkan bahwa peran rakyat dalam perpolitikan sangatlah kecil. Mereka hanya memilih pemimpin dan wakil mereka hanya dalam 5 tahun sekali. Selanjutnya, mereka harus menerima apapun yang diputuskan oleh kepala pemerintahan dan anggota dewan perwakilan. Meskipun sangat menyengsarakan, sebagaimana kebijakan penghapusan subsidi BBM yang lebih mengikuti tekanan Bank Dunia daripada mendengarkan jeritan rakyat.
Fakta busuknya sistem demokrasi bukanlah rahasia lagi, namun sedikit sekali yang mau mengemukakannya. Seolah demokrasi adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya, sesuatu yang suci dan sakral. Barang yang disakralkan biasanya barang yang tidak boleh disentuh sembarangan, diistimewakan dan biasanya di’agung’kan oleh pemiliknya. Begitu pula demokrasi saat ini, ia seolah menjadi istimewa, mutlak benar dan tabu untuk dikritisi. Inilah sakralisasi demokrasi. Wallohu a’lamu bshshowwaab. (ary.attasiky.14/08/2014)
#MuslimArmies4Gaza
Sumber : http://ift.tt/1vKTxvc
Demokrasi merupakan bentukan dua kata, yaitu demos (rakyat) dan kratos (aturan). Dua kata ini berasal dari bahasa Yunani kuno yang bila digabungkan berarti kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah yang berhak untuk membuat dan menetapkan peraturan yang berlaku untuk mereka sendiri. Sehingga, otoritas tertinggi untuk membuat dan memberlakukan undang-undang, berada di tangan rakyat.
Sejak munculnya ide demokrasi pada abad pertengahan, yang merupakan reinkarnasi dari konsep negara polis Athena, Barat mengadopsi ide tersebut sebagai konsekuensi dari ideologi sekulerisme yang mereka anut. Pengasingan agama pada wilayah privat semata, membuat demokrasi menjadi pilihan ide utama untuk membangun konsep perpolitikan saat itu.
Setelah Barat merasa sukses dengan sekulerisasi yang mereka perjuangkan, mereka menjajakannya ke bangsa lain, termasuk ke negeri ini. Rakyat Indonesia yang baru saja terbebas dari penjajahan Belandan dan Jepang, langsung merasakan adanya ekspansi dua ideologi dunia yang dibawa AS dan Soviet, yaitu sekulerisme dan komunisme. Seolah berupaya bersikap netral, Indonesia memprakarsai gerakan non blok. Namun, tetap saja kenyataannya Indonesia masuk dalam pusaran ideologi AS, yakni kapitalisme. Apalagi setelah tuntuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Akhirnya, sekulerisme –yang juga terkenal dengan kapitalisme- masuk ke Indonesia dengan leluasa termasuk ide turunannya, yaitu demokrasi.
Perkembangan demokrasi semakin menghebat di dunia, terutama ketika Barat menjajakannya dengan balutan manis anti tesis dari diktatorianisme. Bila tidak memilih demokrasi, berarti anda memilih untuk diatur oleh pemerintahan diktator. Tetapi, bila anda memilih demokrasi, maka anda akan bebas untuk menentukan nasib anda sendiri. Mau sejahtera, tinggal memilih pemimpin dan membuat aturan yang bisa mensejahterakan. Sederhana sekali. Tentunya, siapa yang tidak bermimpi sejahtera, semua bangsa di dunia tentu memimpikan hal tersebut.
Ternyata kesejahteraan dalam demokrasi benar-benar menjadi mimpi semata. Dalam kenyataannya, demokrasi bukanlah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sebagaimana yang sering dipropagandakan selama ini. Ketidakmungkinan rakyat untuk berkumpul membuat aturan telah meniscayakan adanya konsep perwakilan. Dalam konsep pewakilan inilah adanya campur tangan para pemilik modal. Sehingga yang duduk di dewan perwakilan adalah mereka yang disokong oleh para pemilik modal. Tentunya, keberpihakan mereka pun lebih condong kepada para pemilik modal dibandingkan terhadap rakyat. Dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi adalah ungkapan yang lebih tepat dalam memahami fakta demokrasi.
Begitupun demokrasi sebagai antitesis dari konsep diktatorianisme ternyata hanya menjadi mitos semata. Karena realitas sistem demokrasi, menunjukkan bahwa peran rakyat dalam perpolitikan sangatlah kecil. Mereka hanya memilih pemimpin dan wakil mereka hanya dalam 5 tahun sekali. Selanjutnya, mereka harus menerima apapun yang diputuskan oleh kepala pemerintahan dan anggota dewan perwakilan. Meskipun sangat menyengsarakan, sebagaimana kebijakan penghapusan subsidi BBM yang lebih mengikuti tekanan Bank Dunia daripada mendengarkan jeritan rakyat.
Fakta busuknya sistem demokrasi bukanlah rahasia lagi, namun sedikit sekali yang mau mengemukakannya. Seolah demokrasi adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya, sesuatu yang suci dan sakral. Barang yang disakralkan biasanya barang yang tidak boleh disentuh sembarangan, diistimewakan dan biasanya di’agung’kan oleh pemiliknya. Begitu pula demokrasi saat ini, ia seolah menjadi istimewa, mutlak benar dan tabu untuk dikritisi. Inilah sakralisasi demokrasi. Wallohu a’lamu bshshowwaab. (ary.attasiky.14/08/2014)
#MuslimArmies4Gaza
Sumber : http://ift.tt/1vKTxvc