Suara Warga

Kabinet Berdasarkan Mutu, bukan SARA

Artikel terkait : Kabinet Berdasarkan Mutu, bukan SARA

KPU telah mengumumkan hasil resmi , isinya Jokowi memenangkan Pilpres 2014 dan terpilih menjadi Presiden Indonesia selanjutnya. Kini saatnya memikirkan langkah ke tahap berikutnya yaitu pebentukan kabinet/ menentukan kementerian apa saja yang akan dibentuk, dan siapa-siapa saja orang yang pantas untuk menjadi menteri . Saya boleh bilang, bahwa hal ini merupakan langkah besar yang sangat menentukan selain pilpres itu sendiri. Salah memilih/menentukan menteri, bisa berdampak buruk dalam pemerintahan ke depannya. Maka dari itu kita harus terus mengawal terus dan memberi saran/kritik terhadap Jokowi-JK dalam proses pembentukan kabinet baru nanti.

Pada suatu waktu saya pernah mendengar JK menyatakan bahwa menteri-menteri yang dipilih nanti, selain ditunjuk karena rekam jejak dan keahliannya juga dibagi berdasarkan proporsi agama, suku, di Indonesia. Kata-kata JK yang mencantumkan agama dan suku sebagai patokan untuk memilih menteri-menteri inilah yang saya tak setujui. Mengapa? Bagi saya, kriteria menteri yang ideal, cukuplah berdasarkan keahlian, pengalaman, integritas dalam bidangnya masing-masing. Persyaratan itu sudah sangat banyak dan lebih dari cukup untuk menentukan pantas tidaknya seseorang menjadi menteri. Saya menginginkan menteri-menteri kabinet Jokowi-JK ke depan, adalah putra-putri terbaik bangsa, saya hanya ingin yang TERBAIK, yang qualified, apapun agama dan sukunya tidak boleh menjadi soal apalagi penghalang.

Saya beri gambaran seperti ini, jika faktor SARA dijadikan pertimbangan dalam menentukan menteri, tentu akan berpotensi tumpang tindih dengan kriteria lainya seperti jujur, berprestasi, dan berpengalaman. Inilah beberapa contoh, misal:

1. Si Budi adalah sosok yang kenyang prestasi dan penghargaan di bidang IT, semua orang mengakui si Budi adalah salah satu putra terbaik bangsa, dan sangat pantas menjadi menkominfo. Di sisi lain, kandidat menteri satunya lagi adalah si Banu, si Banu ini mungkin secara akademis, dan nama saja cukup terkenal, akan tetapi kurang terlihat prestasi menonjol, dan kerja nyata yang diperbuatnya, alias belum cukup terbukti. Si Budi beragama “B”, dan Si Banu beragama “A”. Nah, karena pemilihan menteri berdasarkan agama menjadi salah satu kuota/persyaratan, maka menjadi rancu ketika Presiden mau memutuskan , apakah memilih berdasarkan kualitas atau agama? Inilah yang saya bilang menjadi tabrakan dan kurang baik jika faktor SARA diikutkan dalam menentukan menteri. Bisa saja, si Budi yang sudah sangat jelas lebih baik dan paham tentang IT mejadi terdepak dengan alasan jatah untuk agama “A”, sedangkan Budi beragama “B”.

2. Karena harus ada orang Bali jadi menteri, slot kementerian “Z” menjadi milik Made, padahal secara kualitas Bagas(suku Jawa) lebih layak disbanding Made. Dalil ini dijalankan dengan alasan sudah ada 6 orang Jawa jadi menteri, mending kasih ke suku lain aja, soal kualitas bodo amat, yang penting bukan Jawa dan pokoknya harus ada orang Bali!

3. Harus ada menteri dari Minang! Maka diusahakanlah orang Minang jadi menkes. Padahal faktanya, Supit(Minahasa) dan Dedi(Tionghoa), secara keilmuan dan keahlian sudah amat pantas jadi menkes, namun akhirnya gagal hanya karena keduanya bukan seorang Minang.

Contoh-contoh di atas sangat mungkin terjadi jika SARA dijadikan acuan. Maka dari itu, saya tidak suka/setuju jika agama “A” dapat 11 menteri, agama “B” 4 menteri, agama “C” 3 menteri, dll. Suku “A” harus 8 menteri, suku “B” 2 menteri, suku ”Z” 1 menteri, suku “X” 1 menteri. suku “F” 1 menteri, dll. Mau suku “J” dapat 12 menteri sekalipun, tidak apa bagi saya, asalkan memang orang-orang itu yang terbaik di bidangnya masing-masing. Yah, kebetulan saja banyak dari suku “J” . Timbul pertanyaan begini; Lo suku “D” dan suku “S” kan jadi nggak kebagian sama sekali? Saya jawab, nggak papa, karena yang dinilai adalah kualitas, bukan suku “D”, “E”, “F”, ”G”, dll harus kebagian semua. Kita lebih pentingkan mutu, dan capaian ketimbang warna kulit, dan agama. Kemudian ada yang menanyakan lagi: Lho, kan jadi nggak adil, orang suku “N” merasa tidak diwakili dsb? Saya jawab justru hanya dengan menteri yang terbaik lah, prinsip keadilan itu dapat dirasakan semua golongan, tidak hanya suku “B”, “C”, “D” saja. Buat apa, menterinya maksa suku “N” padahal ketika bekerja sekian lama kinerjanya buruk dan kurang kapabel di bidangnya. Rakyat cuma butuh kerja nyata dan dampak positif dari menteri yang bersangkutan, bukan yang lain. Mending menterinya orang lain tapi kinerjanya jelas, dan kapabel di bidangnya. Kalau toh memang benar menteri suku “N” yang terbaik di bidang itu, ya berarti dia pantas jadi menteri.

Jangan dipaksakan menteri ini, itu, harus suku “A”,”B”, ”C”, atau agama “P”, “Q”, ”R”, nilailah pribadi orang tersebut secara ‘buta’ dan objektif. Kalau memang yang terbaik kebetulan bersuku “C”, beragama “R”, ya berarti dia terpilih semata karena kualitas dan kemampuannya. Bila memang yang terbaik kebetulan beragama “Q”, ya sudah sama juga, ia terpillih karena kemampuan dan integritasnya bukan karena agamanya “Q”. Intinya saya ingin menteri yang terpilih nanti dipilih berdasarkan kemampuan, kinerja , pengalaman, dan integritas. Semua orang apapun suku, apapun agamanya berpeluang sama besarnya untuk menjadi menteri, asalkan memenuhi kriteria di atas(pengecualian mungkin pada Menag, yang harus beragama Islam). Tidak ada UU yang melarang orang dari agama/suku tertentu jadi menteri. Moga Pak Jokowi, berani tegas dan tepat dalam menentukan menteri kabinetnya. Jokowi sendiri sudah punya pengalaman dan modal ketika beliau menunjuk lurah Susan, yang dinilainya paling kapabel, meski segelintir orang memprotes keputusannya.




Sumber : http://ift.tt/1Afyn7c

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz