Revolusi Mental Dalam Pembagian Kursi di Kabinet Jokowi-JK
Pemilu telah selesai, KPU juga telah menetapkan pemenangnya. Sekarang tinggal menunggu hasil gugatan dari kubu lawan yang di perkirakan tidak akan banyak mengubah hasil yang sudah ditetapkan oleh KPU. Para relawan Jokowi pun sudah mulai menyiapkan daftar calon Menteri untuk kabinet pemerintahan yang baru. Sesuai dengan janji awal Jokowi-JK ketika kampanye, bahwa mereka tidak akan melakukan koalisi pembagian kursi. Jujur saja, menurut saya ini cuma sebuah mimpi yang sulit bisa terjadi. Karena dengan sistem multi partai seperti ini, kekuatan Eksekutif dalam hal ini pemerintah masih sangat tergantung dari Legislatif (DPR) dalam membuat kebijakan. Sehingga pemerintah berada dalam posisi sulit dalam tawar menawar kekuasaan. Apalagi hasil Pemilu Legislatif kemarin PDIP sebagai partai asal Jokowi hanya mendapat 19% kursi DPR.
Seperti kita ketahui, sudah tradisi umum sejak reformasi bergulir. Kabinet pemerintahan lebih banyak di isi oleh orang-orang partai daripada orang profesional. Yah mungkin banyak partai yang mengklaim kalau orang yang mereka kirim adalah profesional di bidangnya. Tetapi apakah mereka ini memang orang yang pas sebagai Menteri untuk membantu Presiden? Mungkin itu pertanyaan yang lebih penting daripada tingkat profesional orangnya tersebut. Karena orang paling ahli belum tentu paling pas tetapi yang pas sudah pasti ahli walaupun mungkin bukan paling ahli. Sedangkan sistem sekarang dimana partai-partai pendukung pemerintahan mengirimkan kadernya untuk menjadi Menteri membuat opsi Presiden dalam memilih Menterinya yang pas menjadi terbatas.
Untuk mempermudah Presiden kenapa tidak dibalikan saja sistemnya. Misalkan Profesor A , B , C dari kalangan profesional di tunjuk jadi menteri. Setelah menjadi Menteri baru deh Profesor A masuk menjadi kader partai X . kemudian Profesor B ke Partai Y, dst. Sesuai dengan jatah kursi yang di inginkan partai koalisi pendukung pemerintahan. Dengan cara ini partai-partai juga mendapatkan keuntungannya, yakni kader mereka akan menjadi lebih berkualitas dan mumpuni. Sekali Tepuk Dua Lalat…
Sumber : http://ift.tt/1xTpL39
Seperti kita ketahui, sudah tradisi umum sejak reformasi bergulir. Kabinet pemerintahan lebih banyak di isi oleh orang-orang partai daripada orang profesional. Yah mungkin banyak partai yang mengklaim kalau orang yang mereka kirim adalah profesional di bidangnya. Tetapi apakah mereka ini memang orang yang pas sebagai Menteri untuk membantu Presiden? Mungkin itu pertanyaan yang lebih penting daripada tingkat profesional orangnya tersebut. Karena orang paling ahli belum tentu paling pas tetapi yang pas sudah pasti ahli walaupun mungkin bukan paling ahli. Sedangkan sistem sekarang dimana partai-partai pendukung pemerintahan mengirimkan kadernya untuk menjadi Menteri membuat opsi Presiden dalam memilih Menterinya yang pas menjadi terbatas.
Untuk mempermudah Presiden kenapa tidak dibalikan saja sistemnya. Misalkan Profesor A , B , C dari kalangan profesional di tunjuk jadi menteri. Setelah menjadi Menteri baru deh Profesor A masuk menjadi kader partai X . kemudian Profesor B ke Partai Y, dst. Sesuai dengan jatah kursi yang di inginkan partai koalisi pendukung pemerintahan. Dengan cara ini partai-partai juga mendapatkan keuntungannya, yakni kader mereka akan menjadi lebih berkualitas dan mumpuni. Sekali Tepuk Dua Lalat…
Sumber : http://ift.tt/1xTpL39