Suara Warga

Revolusi Mental atau Revolusi Metal

Artikel terkait : Revolusi Mental atau Revolusi Metal



Revolusi mental yang selalu didengungkan Joko Widodo saat kampanye Pemilu Presiden 2014, mungkin menjadi salah satu motor penyebab kemenangannya. Revolusi, revolusi, dan revolusi. Sesuatu yang bisa dimaknai beragam, tergantung dari pengetahuan hingga mood yang dimiliki oleh orang yang mendengarnya. Menurut Anda mending revolusi mental atau revolusi metal?

Coba bicara random, sekalian coba memanfaatkan momentum dirgahayu Republik Indonesia tercinta yang akan tiba sebentar lagi, 17 Agustus, pernahkah kita coba berpikir apa yang pernah masing-masing dari kita perbuat untuk bangsa? Atau malah dibalik, apa yang pernah bangsa ini pernah berikan untuk Anda. Tak ada habisnya tentu jika kita hitung-hitungan soalnya ini.

Pasang bendera umbul-umbul? Lomba makan kerupuk? Panjat pinang? Latihan baris berbaris siang hari bolong? Coba tengok pengurus RT yang sibuk menghitung kembali berapa uang kas yang masih tersisa yang bisa untuk beli bendera plastik, lalu dipasangkan di sepanjang gang atau jalan masuk lingkungannya. Kalau kurang ya tinggal cetak selebaran fotokopian di tambah dana perincian akan digunakan sebagai apa uang itu. Tak lupa disertakan setempel pengurus RT, yup sah sudah surat permohonan itu.

Di sisi lain, beberapa senior sekolah berlagak layaknya dewa-dewi yang paling menguasai urusan baris berbaris. Teriak coba menunjukkan kekuasaannya bahwa dirinya lebih dari junior. “Salah dek, ulang lagi gimana mau baris yang bener, berdiri posisi sempurna aja tidak bisa. Ayo jangan buat malu bangsa ini.” Buat malu bangsa hanya karena salah berbaris?

Di gang lain ada yang sibuk mengurusi bagaimana dirinya bisa memperkaya diri. Mengaku PENGUSAHA ENTREPRENUER SUKSES yang mengklaim dirinya paling SUKSES karena berangkat dari bawah lalu menjadi CEO dengan beberapa puluh perusahaan. Tapi saat harus menuaikan kewajiban untuk pekerja atau bahkan negara, sibuk melobi aparat terkait. Dan berpikir dosa saya sudah terhapus karena saya sudah bolak balik ibadah.

Ada lagi yang sibuk membabi buta kerja hanya demi sesuap nasi. Menghalalkan segala cara hanya karena statusnya yang tidak memiliki apa-apa. “Lo nggak pernah diposisi gw, jadi jangan coba ngajarin gw mana yang halal mana yang haram!!!!!,” teriaknya seolah Tuhan memakluminya.

Atau tengok maju lima puluh meter, coba Anda lihat slogan baliho segede gambreng dari pemerintah yang berkoar, PAJAK UNTUK PEMBANGUNAN. Hahahahha. Seolah tak peduli atau coba peduli, masih banyak kok aparat yang benar-benar bekerja untuk rakyat. “Kita harus bayar pajak karena kalau telat dendanya besar, atau males kalau ngurus lain-lain bisa jadi direpotin, kaya nggak tahu aja,” ujar sinis.

Atau banyak kok anggota dewan yang benar-benar memikirkan rakyat. “Teriakan panggilan hati saya memang untuk mengurusi rakyat,” ujarnya bicara di depan panggung kampanye mulai dari depan lapangan desa sampai media nasional. Hahahahha.

Mulai bosan membaca artikel yang bernada negatif, yang isinya hanya bisa meneriakkan kepesimistisan terhadap negeri ini? Ya senada dengan Anda bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Setuju sangat setuju. Tapi coba kita renungkan kembali apa yang benar-benar sudah kita buat jelang dan pasca momentum dirgahayu Republik Indonesia ini?

Bersediakah Anda mengkhianati Republik Indonesia? Tentu TIDAK BUKAN. Tapi apakah pada kenyataannya sikap-sikap yang kita perbuat malah mengkhianati negeri ini? Bukan tidak mungkin bagi sebagian orang tulisan ini malah di anggap sebagai sikap mengkhianati Republik Indonesia. Hahahahah. Revolusi mental atau revolusi metal jadinya Pakde?

http://ift.tt/1yz5xMo

@lougueband




Sumber : http://ift.tt/1uvFfNt

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz