Reformasi Pernikahan dan Status Penghulu
Reformasi Pernikahan dan Status Penghulu
Oleh: Andin Alfigenk Ansyarullah Naim
KUA sedang ramai oleh banyak orang, berjubel-jubel para hadirin dan hadirat, para penonton dari keluarga dan masyarakat, calon penganten telah siap diruangan yang pengap dan kecil, segera saja acara pernikahan dilangsungkan dengan cepat, jangan marah karena antrian calon penganten berikutnya telah menunggu.
Begitulah, tidak ada lagi lantunan ayat suci al-Quran pengantar nikah, tidak ada lagi sekapur sirih pembuka upacara, tidak ada lagi sahutan menyahut pantun yang indah dan membuat penasaran, tidak ada lagi moment-moment indah dalam ruangan indah, tidak ada lagi moment-moent dimana dimana hati menjadi gugup menjelang akad nikah, tidak ada lagi moment canda riau ditengah keluarga menunggu pernikahan, tidak ada lagi saling sapa, jabat tangan dan perkenalanan antar keluarga besar, tidak ada lagi iring-iringan besar besar rombongan orang kantor pengantar penganten dan meriahnya pernikahan, tidak ada lagi hari raya kecil dari perayaan upacara pernikahan, tidak ada lagi adat larangan dan anjuran sebelum menikah, tidak ada lagi tarian dan musik yang mengiri kemeriahan sebuah pernikahan, pernikahan kini hanya sebuah upacara kecil, singkat dan nihil makna diruangan kecil yang sempit hanya untuk hukum syar’i agama dan memenuhi kewajiban administrasi negara.
Memang gambaran diatas seolah terlalu didramatisir, tapi kenyataannya tidak lah jauh berbeda, bahwa upacara pernikahan di Indonesia telah direvolusi hanya dalam waktu singkat.
Sekali lagi,. Pernikahan adalah upacara syar’i yang syakral, upacara kebudayaan yang tak ternilai dan penuh makna, upacara dengan kebudayaan tinggi, upacara silaturahmi yang kuna, pernikahan bukan hanya masalah Uang, oleh sebab itu lah pernikahan tidak seharusnya atau bahkan tidak bisa dilihat dari uang tiga puluh ribu rupiah, seratus ribu rupiah, enam ratus ribu rupiah, atau bahkan jutaan rupiah, pernikahan seharusnya kita junjung tinggi dengan memaknainya dengan penuh kehormatan
PP 48 tahun 2014 telah terbit dibulan yang lalu, seperti telah diketahui oleh kita semua, PP ini terbit sebagai sebuah respon yang progesif dari isu grativikasi yang dituduhkan kepada para penghulu atas perbuatan mereka yang secara adat menerima berbagai hadiah atas upacara pernikahan dibawah tanggung jawab mereka. PP ini sepertinya bukan menyelesaikan permasalah secara menyeluruh tapi malah membuat permasalah baru seperti saya gambarkan para beberapa paragraf pembuka diatas.
Dalam PP ini disebutkan bahwa pernikahan harus dilaksanakan di KUA dan apabila dilaksanakan diluar KUA maka harus membayar biaya pernikahan ke Negara sebesar enam ratus ribu rupiah.
Biaya pernikahan diluar KUA tentu lebih dirasa sangat mahal oleh banyak masyarakat, apalagi masyarakat pedesaan.
oke lah kita setuju jika pemberian kepada penghulu sebagai grativikasi itu benar, namun mengorbankan kepentingan adat istiadat dan tradisi masyakat yang juga tradisi bangsa juga sangat tidak benar.
Tidak jelas mengapa PP ini begitu kaku dan mengapa para pakar Negeri ini luput memperhatikan hal ini.
Penghulu adalah salah satu status tradisional paling terhormat dikalangan masyarakat, dari ratusan tahun yang lalu hingga beberapa saat lalu sebelum kasus tuduhan grativikasi dijatuhkan kepada golongan penghulu dinegeri ini. Setelah tuduhan yang menyakitkan hati itu saya menjadi bertanya-tanya apakah setiap pernikahan yang ditangani oleh para penghulu dinegeri ini menjadi penuh arti dan berkah, saya tidak tahu apakah pernikahan yang dilangsungkan dibawah seorang yang disinyalir sebagai koruptor akan sah, ditengah-tengah kebencian masyarakat kepada penghulu yang bahkan calon penganten dan keluarganya juga bisa saja membencinya tapi toh tak ada jalan lain untuk menikah selain dengan melalui penghulu.
Dalam tradisi panjang Penghulu, mereka tidak saja dihargai dengan uang dan hadiah, tapi juga status yang setinggi-tingginya, kebahagian apa didunia ini yang begitu didambakan oleh banyak orang selain pernikahan? Maka sebuah ungkapan melayu untuk sang kekasih “dibulan haji yang akan datang, mari kita undang Penghulu Datang”, segala hal akan diberikan sebagai sebuah penghormatan yang tinggi. Tidak saja masalah pernikahan bahkan juga tempat pelarian segala permasalahan agama, rumah tangga dan adat. Kita bisa melihatnya dalam sebagian besar masyarakat indonesia.
Sangat disayangkan kejatuhan harga diri seluruh para Penghulu dinegeri ini seperti jatuhnya sebuah meteor yang sangat cepat dan tidak terduga.
Menurut saya, permasalahan utama dalam pernikahan ini adalah KUA, KUA sebagai salah satu institusi tertua di negara ini tidak pernah diperhatikan selama bertahun-tahun, permasalahan lainnya adalah penentuan status penghulu yang seharusnya tidak berkaitan dengan negara secara langsung.
Mari kita bahas hal pertama, KUA di jaman reformasi telah turun pamornya setelah kehilangan status sebagai bagian dari unsur musyawarah di kecamatan (MUSPIKA), KUA menjadi sebuah institusi yang terkucilkan, apalagi dengan status jabatan kepala KUA yang hanya eselon empat setara dengan KASI dikelurahan membuat institusi daerah memandang rendah kepada KUA, hal ini tentu saja sulit dihindari. memang kantor-kantor KUA dikecamatan ibukota kabupaten biasanya dipenuhi dengan pegawai yang banyak dan bangunan yang lumayan bagus, namun lihat saja KUA kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten maka akan terlihat kejanggalan, Kantor yang kuuh dan pegawai yang sedikit, KUA hanya diisi beberapa orang staf, tidak jarang KUA hanya diisi 2-3 orang Pegawai baik PNS ataupun Honorer, hal ini biasanya dapat kita temui dengan mudah di luar pulau Jawa.
Peran KUA akhirnya hanya terdengar dalam tataran permasalahan pernikahan saja, atau seoragn pembaca doa diacara-acara pemerintahan setempat, ya pembaca doa, peran dan fungsi KUA yang lain seperti masalah penyuluhan keagamaan, zakat, haji, keluarga sakinah dan sebagainya praktis tidak terlihat dan terdengar dan bahkan tidak menjadi hal utama lagi dibanyak KUA, Siapa yang tidak mengenal penyuluh pertanian? Atau Babinsa TNI dan POLRI? Pasti banyak yang tahu, tapi jika ditanya tentang Penyuluh Agama maka lebih banyak orang yang tidak mengetahuinya.
Hal lain yang tidak dapat dihindari adalah pertarungan untuk mendapatkan kursi kepala KUA yang menjadi masalah klasik, kepala KUA dan Penghulu mempunyai wewenang yang sama untuk bisa menikahkan calon penganten, pastilah terjadi persaingan khususnya didaerah yang sedikit peristiwa pernikahan seperti diluar pulau Jawa.
Terjadi pula gap atau pertentangan dengan pemerintah daerah setempat, masing-masing daerah sekarang berlomba-lomba untuk tertib admnistrasi kependudukan sebagai semangat reformasidan otonomi daerah, KUA disini masih mempunyai otoritas kuat sebagai institusi satu-satunya yang sah untuk mengeluarkan Akta Nikah. Tidak sinkronnya data-data pribadi seorang penduduk antara KUA dan pemerintah daerah sering kali menjadi masalah, KUA dikritik dengan tidak rapinya administrasi dan tidak mempunyai keselarasan dengan catatan sipil.
Pertanyaannya adalah apakah KUA masih perlu dipertahankan?
Saya mempunyai solusi yaitu mengambil peran otoritas KUA dalam pernikahan dengan membentuk Balai Nikah tersendiri yang mengurus khusus masalah pernikahan sehingga dapat lebih fokus dan profesional. Balai Nikah diharapkan dibawah langsung Kementerian Agama Pusat sehingga tidak terpaut dengan Kanwil kemenag Provinsi dan Kantor Kemenag Kabupaten. Namun bisa saja di Bawah kementerian dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan Ham atau Bahkan langsung di Bawah presiden mengingat pernikahan merupakan sesuatu yang mulia, tinggi dan sangat penting.
KUA pun akhirnya dapat lebih fokus terhadap penyuluhan keagamaan dan sebagainya sehingga tidak terbebani lagi dengan permasalah pernikahan.
Hal ini tidak saja akan berdampak baik bagi para penghulu dan tata administrasi pernikahan, tapi juga bagi masyarakat, karena Balai Nikah akan lebih fleksibel mengembangkan diri tanpa perlu terganggu dengan berbagai kepentingan.
Kemudian mari kita lihat tentang Status Penghulu
Menghalalkan yang haram, begitu biasanya sanjungan paling biasa dari para orang-orang terhadap penghulu, dengan campur tangan penghulu maka bagi calon pasangan penganten mereka pun dengan leluasa dapat mencicipi nikmatnya surga dunia, apakah ada kenikmatan yang paling indah dan nikmat selain itu didunia ini? akhirnya muncullah keluarga baru dan generasi peneruspun lahir dan masyarakat terus hidup dan negara menjadi bertahan.
Dengan adanya Balai Nikah, status penghulu harusnya dapat lebih dilihat secara adil, apa bedanya penghulu dan para Hakim, yang dengan otoritasnya dapat memberi pengesahan dan mempertanggungjawabkan sebuah pernikahan? Toh para hakim dengan palunya dapat memisahkan pasangan yang menikah? Dan toh dahulunya Penghulu juga sebagai seorang Hakim. Apa bedanya dengan para Notaris yang dengan tanda tangannya dapat mengesahkan sebuah perjanjian, sebuah akta kehadiran perusahan baru, apa bedanya dengan penghulu yang dengan tanda tangannya sebuah keluarga baru terbentuk dan sebuah akta pernikahan disahkan? Atau dengan para psikolog yang dengan analisis dan dapat mengobati rasa haus jiwa seseorang, apa bedanya denga para penghulu yang dengan nasehat perkawinan dan tempat mengadu masalah perkawinan serta rumah tangga?
Status penghulu sebaiknya dikembalikan sebagai sebuah status tinggi dalam hal pernikahan selayaknya seorang Hakim, harus dihindarkan dari didikte kepala KUA tentunya, status penghulu seharusnya profesional dan terserfitikasikan layaknya seorang Notaris dengan pendidikan khusus dan diatur oleh pemerintah. Harus ada pilihan apakah penghulu menjadi seorang pegawai Negeri atau seorang Pejabat Nikah seperti Pejabat Umum yang dinobatkan kepada Notaris.
Dengan status penghulu yang lebih baik maka pernikahan pun akhirnya tidak juga kaku didalam ruang sempit KUA, pernikahan bisa dilaksanakan dimana dan kapan saja, tidak perlu takut akan adanya grativikasi lagi karena biaya pernikahan dan sebagainya bisa menjadi fleksibel.
Balai Nikah tidak perlu dibangun disetiap Kecamatan tapi cukup di kota Kabupaten, para penghulu sudah siap ditiap kecamatan sepertinya halnya para notaris.
Penutup
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika penghulu terkait kasus pidana gratifikasi, dan saya juga tidak membayangkan jika para penghulu benar-benar melakukan mogok Nasional. Bagi semua pihak yang berkaaitan dengan hal ini ada baiknya untuk lebih terbuka dan berani menerima pemikiran-pemikiran baru meski itu diluar konsep tradisional kita yang mapan dalam memandang KUA dan peran Penghulu. Zaman telah berubah dan kita harus terus memperbaiki segala kekurangan.
Kepentingan Negara dan Masyarakat harus lebih diutamakan dari pada kepentingan institusi itu sendiri, kita semua pernah menikah bukan? Dan kita tentu tidak akan ingin melihat pernikahan anak kita atau keluarga kita hanya dalam ruang sempit di KUA dan kehilangan tradisi pernikahan yang selalu ramai dan menyatukan keluarga serta silaturahmi.
Sumber : http://ift.tt/1nZPiqw