Suara Warga

Prabowo vs KPU, Siapa yang Menang ?

Artikel terkait : Prabowo vs KPU, Siapa yang Menang ?



1407038544771361424

sumber: http://ift.tt/1s0wOIV



SATU hal yang menarik dari Pilpres kali ini, gugatan (permohonan) tim kuasa hukum Prabowo-Hatta ke MK (Mahkamah Konstitusi), yang diupload di situs MK, dapat diakses semua orang. Baru kali pertama ini, dokumen permohonan PHPU Pilpres itu, dikeroyok, dibahas, diulas dan diberi komentar oleh publik. Sangat menarik. Nampak partisipasi masyarakat dalam Pilpres kali ini lebih antusias.


Point yang paling essensial dalam persidangan MK menyangkut sengketa PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum): apakah kecurangan-kecurangan baik yang dilakukan oleh pihak Termohon (KPU) maupun pihak Terkait (Jowoki-JK) merugikan pihak Pemohon dan menguntungkan pihak Terkait yang berakibat terjadi selisih perolehan suara. Dan dibuktikan secara nyata: dimana, berapa, kapan dan siapa?. Agar gugatan menjadi terang dan jelas.


Dalil utama gugatan tim Prabowo-Hatta menyangkut melonjaknya jumlah Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb), yang terjadi di banyak TPS. Anggaplah dalil ini benar, tapi kemudian pertanyaannya: apakah “kecurangan” DPKTb tersebut, merugikan pihak Pemohon dan menguntungkan pihak Terkait. Hal ini, sudah dijawab sendiri oleh pihak Pemohon, yang menyatakan demikian dengan menggunakan frasa basis, kantong suara, atau konstituens.


Padahal frasa “basis”, “kantong suara”, atau “konstituens” hanya dikenal di khazanah politik. Dalam persidangan di MK, frasa ini tidak dikenal. Dengan berlandaskan pada azas (bebas dan rahasia), tidak ada satu pihakpun dapat mengklaim (atau mengetahui) pilihan masing-masing pemilih di bilik suara. Jika situasi ini dibalik, “apakah jika tidak ada “kecurangan” DPKTb, akan menguntungkan pihak Pemohon di TPS tersebut dan berpengaruh pada perolehan hasil suara?


Dalam beberapa kali sidang MK yang pernah saya ikuti, terutama PHPU, hampir semua Pemohon (baca: penggugat), mengajukan prihal “basis” atau “kantong suara”. Dan mengklaim pemilih di satu wilayah tertentu milik Pemohon atau milik pihak Terkait. Dalam pembacaan putusan majelis hakim MK, alasan-alasan ini dikesampingkan karena tidak berdasarkan alasan yuridis. Hakim MK berpegang pada ketentuan konstitusi yang mengatur azas LUBER, dan tidak satu pihakpun dapat mengklaim pilihan warga negara.


Masalah penduduk, pemilih, Daftar Pemilih Tambahan dan Daftar Pemilih Khusus Tambahan, seperti sudah ada “template” jawaban dari hakim MK. Bahwa masalah ini tidak bisa semata tertumpu kepada KPU sebagai penyelenggara tapi juga ada peran pemerintah penyedia data awal kependudukan (data agregat kependudukan). Mempermasalahkan hal ini, akan mentah di sidang MK.


Justru adanya kebijakan KPU mengeluarkan katagori DPKTb sebagai upaya menjalankan putusan MK yang pernah disengketakan pada Pilpres 2009 lalu. Saat itu, MK berpedoman pada hak konstitusional warga (hak memilih). Justru alasan-alasan administratif seperti tidak terdaftar di DPT atau tidak membawa A5, tidak dapat dijadikan alasan pembenar menafikan hak konstitusional warga. Bahwa ada pemilih yang memegang KTP tidak sesuai dengan keterangan domisili di RT/RW berangkutan, adalah kesalahan administratif. Tetapi menolak warga yang punya hak pilih, sesungguhnya telah melanggar hak konstitusional warga, hanya karena hambatan administratif. Justru yang harus dibuktikan oleh pihak Pemohon, adanya pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali. Ada di TPS mana, siapa dan berapa banyak?. Meskipun kecurangan ini bentuk dari pelanggaran Pidana Pemilu, namun jika jumlahnya besar (bisa dibuktikan) dan mempengaruhi selisih perolehan hasil, bisa jadi Permohonan akan dikabulkan. Tapi sangat sulit untuk membuktikan kecurangan ini dengan menghadirkan alat bukti dalam bilangan selisih jutaan suara.


Kendala terutama soal teknis persidangan yang dibatasi kapasitas ruang dan waktu. Menghadirkan 1000 orang saksi saja untuk membuktikan telah terjadi kecurangan di 1000 TPS, bukan hal mudah. Sementara dalam sidang MK, hakim paling banyak menyetujui 100 orang saksi dari pihak pemohon. Itupun paling banyak. Rata-rata sekitar 50 orang saksi. Hal ini menyangkut waktu sidang MK yang harus putus dalam tempo 14 hari sejak permohonan di registrasi. Keterangan saksi hanya diberi waktu paling banyak 3 kali persidangan. Itupun sudah termasuk mendengar keterangan saksi dari pihak Termohon (KPU) dan pihak Terkait (Jokowi-JK).


Jalan yang paling ringkas hanya menyodorkan alat bukti tertulis atau rekaman video/ suara/ film. Terutama alat bukti tertulis haruslah alat bukti Yuridis. Sah menurut hukum. Bisa jadi pihak Pemohon menyodorkan alat bukti berupa rekapitulasi suara versi tim, tapi oleh hakim akan ditolak karena bukan alat bukti yuridis. Menyandingkan dan memperbandingkan dokumen formulir C1 pun, harus berupa dokumen C1 ber hologram. Bisa saja pihak Pemohon mengajukan alat bukti berupa formulir C1 (lampiran) fhotocopy atau tanpa hologram, sedangkan KPU menyandingkannya dengan dokumen C1 dan C1 Plano berhologram, patokan hakim MK akan cenderung pada bukti yuridis yang disodorkan oleh pihak Termohon (KPU).


Demikian juga alat bukti untuk memperkuat dalil “kecurangan” DPKTb. Tidak satu pihakpun yang memegangnya. Baik pihak Pemohon, Termohon, Pihak Terkait termasuk Bawaslu. Dokumen (sebagai alat bukti yuridis) yang menerangkan DPKTb hanya tertulis di salinan formulir model A5 PPWP (surat keterangan pindah memilih dari TPS lain) dan formulir model C7 PPWP (daftar hadir pemilih di TPS). Dua dokumen itu kini tersimpan dalam kotak suara yang tersegel. Jadi dengan alat bukti apa pihak Pemohon mendalilkan terjadinya “kecurangan” DPKTb?


Tanpa menghadirkan saksi sekalipun, KPU cukup menyodorkan alat bukti formulir C2 atau D2. Yakni formulir yang berisi keberatan saksi di TPS maupun PPS. Jika dalam alat bukti tersebut tertulis NIHIL, artinya tidak ada satu saksi dari pasangan calon yang mengajukan keberatan. Termasuk keberatan atas dugaan kecurangan yang dilakukan oleh KPPS maupun PPS.


Inilah yang kerap terjadi pada sengketa PHPU di MK baik Pemilu, Pilkada maupun Pilpres. Bahwa mekanisme penyelesaian masalah atas keberatan saksi telah diberi ruang oleh UU. Dari tingkat TPS hingga KPU Nasional. Penyelesaian sengketa berjenjang sebagai langkah hukum formil. Meskipun MK berpedoman pada keadilan substansial, tetapi harus ditempuh terlebih dahulu jalur hukum formil yang telah disediakan. Dan bila langkah hukum formil (penyelesaian masalah per jenjang sejak dari TPS), diabaikan, barulah pencari keadilan meminta MK sebagai pemegang keadilan terakhir. Namun jika mekanisme hukum formil tidak digunakan dan menumpahkan semua masalah pada MK, seringkali saya mendengar keluhan para hakim MK yang mengatakan, “MK bukan keranjang sampah. Semua hal diselesaikan disini”.



UNSUR MASSIF, SISTIMATIS DAN TERSTRUKTUR


Celah lain untuk memenangkan gugatan, jika pihak Pemohon tidak dapat menunjukan bukti adanya kecurangan yang mempengaruhi hasil perolehan suara, yaitu menunjukan adanya proses penyelenggaraan yang tidak jujur dan terbuka. Dengan kata lain, tidak mengarah kepada hasil tetapi lebih kepada proses.


Proses penyelenggaraan yang tidak jujur harus memenuhi unsur massif, sistematis dan terstruktur. Hal inipun harus dikuatifisir tidak sekedar asumsi. Bila berpatokan pada pendapat Refli Harun, unsur Massif paling tidak mencapai bilangan 40% dari jumlah TPS yang disengketakan. Jika pihak Pemohon, menuntut adanya PSU (Pemilihan Suara Ulang) di seluruh Indonesia, mereka harus bisa menunjukan bahwa kecurangan terjadi di hampir 180 ribu TPS seluruh Indonesia. Atau jika hanya menuntut PSU di DKI Jakarta, paling tidak harus bisa membuktikan terjadi pelanggaran sekitar 5000 TPS se DKI Jakarta. Sehingga unsur massif bisa terpenuhi. Misalnya terjadi pengelembungan suara yang merugikan pihak Pemohon. Bukan mempermasalahkan kecurangan administratif seperti DPKTb.


Unsur Massif tidak bisa berdiri sendiri, paling tidak ada satu unsur lagi yang harus terpenuhi: Sistematis atau Terstruktrur. Karena dalam pelbagai putusan MK, unsur massif terpenuhi dan terbukti secara hukum namun permohonan ditolak karena tidak terpenuhinya dua unsur lainnya (paling tidak salah satu diantaranya).


Biasanya unsur Sistematis dan Terstruktur banyak dilakukan oleh pihak petahana (incumbent). Sementara dalam Pilpres 2014, tidak ada calon dari petahana. Kemampuan calon dari petahana, dapat memobilisasi struktur berjenjang kekuasaan yang dimilikinya seperti Camat ke Kades, instruksi Bupati, Kepala Dinas ke Guru-guru, melibatkan petugas penyuluh pertanian dsb. Termasuk KPU yang dalam pertemuan atau Bintek mengarahkan PPK, PPS hingga KPPS untuk memenangkan calon tertentu. Hanya yang milik kuasa dapat melakukan unsur terstruktur berjenjang ini. Itupun harus dibuktikan dengan alat bukti berupa keterangan saksi (kades, PPK, kepala dinas, Panwas) atau bukti rekaman lain. Berkait dengan unsur di atas, kita dapat melihat salah satu bentuk gugatan di sidang MK pada Pilpres 2009 yang lalu.


Saat itu tim Megawati-Prabowo (sebagai pihak Pemohon), mensinyalir adanya kecurangan di Tangerang. 80 persen formulir C1 sudah ditandai sehari sebelum pemungutan suara. Formulir C1 itu sudah ada nama-nama saksi SBY-Boediono yang diketik rapi. Sedangkan saksi Megawati-Prabowo dipaksa untuk menandatangani formulir C1, malam hari sebelum pemungutan suara. Bentuk kecurangan ini melibatkan unsur Camat, Kades, PPS dan KPPS. Unsur massif, terstruktur bahkan sistematis (telah dirancang jauh hari sebelumnya) terpenuhi dalam sidang MK. Namun gugatan ini ditolak, karena sekali lagi tidak mempengaruhi hasil Pilpres.


Ada contoh lain dalam gugatan PHPU Pilkada Bengkulu Utara pada tahun 2010. Pihak Pemohon mengungkap keterlibatan Kepala Dinas Pemda Bengkulu Utara untuk memobilisasi PNS. Dalam persidangan hal ini terbukti. Tapi, saat itu hakim MK hanya menanyakan berapa jumlah PNS di Bengkulu Utara. Dijawab oleh Sekda sekitar 6000 orang. Jika 6000 orang PNS itu netral atau bahkan memilih seluruhnya ke pihak Pemohon, tidak akan mempengaruhi hasil yang berselisih 18 ribu suara. Padahal unsur Massif dan Terstruktur terpenuhi. Begitupun kecurangan-kecurangan sporadis, seperti seorang Kepala desa terbukti secara hukum mencoblos lebih dari satu kali di TPS desanya. Gugatan pemohon tetap ditolak MK. Meskipun pada akhirnya Kades tersebut diajukan ke persidangan umum karena terbukti melakukan tindak pelanggaran pidana Pemilu. Fakta persidangan di MK dijadikan salah satu alat bukti di persidangan umum setelah sidang MK usai.


Dari seluruh dalil yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Hatta, saya hanya melihat adanya celah di Papua dan Nias Selatan. Terutama masalah di Nias Selatan, yang selalu berulang sejak Pilkada dan Pileg yang lalu. KPU mungkin bisa memberikan alasan bahwa sudah melakukan pelbagai upaya, sampai pada pemecatan komisioner Nias Selatan sebelumnya. Tapi anggaplah MK memenuhi permohonan dan KPU diperintahkan melakukan PSU di Nias Selatan. Itupun tidak akan mempengaruhi hasil. Dengan total pemilih 257 ribu di kabupaten ini dan anggaplah semua memilih pasangan nomor urut 1, sama sekali tidak mempengaruhi selisih yang mencapai 8 juta suara.


REKOMENDASI BAWASLU


Menurut pendapat saya, rekomedasi Bawaslu tidaklah berati harus dijalankan. Hanya harus ditindaklanjuti. Tidak ada keharusan bagi KPU untuk menjalankan rekomendasi Bawaslu. Sebab bisa saja Bawaslu keliru dalam penerapan aturan. Salah satu contoh: rekomendasi Bawaslu untuk memasukan PKPI sebagai peserta Pemilu 2014. Rekomendasi ini diabaikan oleh KPU , karena alasan tahapan Pemilu . Dan tidak ada satu orangpun komisioner KPU yang diadili (oleh DKPP) atas tindakan ini. KPU baru memasukan PKPI sebagai peserta Pemilu setelah ada putusan PTUN. Bukan rekomendasi Bawaslu.


Contoh lain saat Pemilu 2014 yang lalu. Di salah satu kota di Sumatera, Panwas Kota merekomendasi kepada KPU Kota untuk memberi saksi administratif berupa teguran tertulis kepada salah satu calon DPD RI. Yang dianggap melakukan pelanggaran pemasangan Baliho tidak sesuai zona. Rekomendasi ini diabaikan oleh KPU. Karena Panwas Kota salah menerapkan aturan. Alat peraga kampanye Baliho tidak terikat oleh zona. Sedang dalam peraturan KPU hanya spanduk dan umbul-umbul yang terikat dengan ketentuan zona.


Pun demikian dengan rekomendasi Bawaslu (yang dianggap tim Prabowo-Hatta) harus melakukan PSU di DKI Jakarta, karena masalah DPKTb. Tidak ada satu pasalpun dalam UU Pilpres yang memberi landasan hukum bagi KPU untuk melaksanakan PSU atas dasar masalah DPKTb. Misalnya yang terjadi di Jawa Timur. Setelah ada laporan masalah 55 ribu DPKTb, ternyata hanya 2 orang yang terbukti melakukan coblos ganda. Bila demikian masalah DPKTb tidak bisa dijadikan dasar melakukan PSU (Pemungutan Suara Ulang).


Justru yang terjadi PSU yang digelar oleh KPU saat ini dengan pelbagai bentuk pelanggaran lain, membuat partisipasi pemilih menjadi menurun bahkan 0 (seperti di Papua). Karena alasan administratif dan kecurangan lain, tindakan ini justru mengabaikan dan membuang hak konstitusional warga dalam memilih sebelumnya.


Sebagai perbandingan, dapat kita lihat beberapa dalil permohonan yang diajukan oleh tim Megawati-Prabowo dalam Pilpres 2009. Menurut saya relatif lebih lengkap dan jelas. Namun hasil putusan MK saat itu, sudah kita ketahui bersama. Diantaranya:




  • Tim kuasa hukum Megawati-Prabowo menuding KPU telah menghilangkan 69.000 TPS. Tapi oleh hakim MK dijawab bahwa dalil pemohon mengenai permasalahan penghilangan 69.000 TPS oleh KPU menurut Mahkamah tidak serta merta menguntungkan salah satu pasangan peserta Pilpres. Saat itu tim Mega Prabowo menyatakan bahwa 70% di TPS bersangkutan adalah kader partai yang memiliki KTA atau anggota tim sukses.

  • Masalah DPT dengan NIK ganda tidak dapat dibuktikan keterkaitannya dengan penggelembungan suara oleh pihak Pemohon.

  • Pihak Pemohon juga dapat menunjukan bukti adanya unsur terstruktur dan sistematis dengan pemberian BLT, tunjangan gaji ke-13 serta rekruitmen PNS menjelang Pilpres.



Salam Kompasiana.






Sumber : http://ift.tt/1rYG0dm

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz