Politik, Pembangunan dan Ideologi
Miriam Budiardjo mengatakan bahwa, “politik adalah usaha bersama di antara masyarakat untuk menggapai kehidupan yang harmonis dan lebih baik (2010: 13).” Politik pun memberikan amanah kepada seseorang atau golongan untuk memimpin, sesuai dengan kehendak sebagian besar warga. Jika demikian, maka pemimpin sebagaimana hasil dari politik, harus memprioritaskan perubahan. Perubahan yang dimaksud, sudah tentu harus bermanfaat bagi semua kalangan. Tidak terbatas pada golongan yang mendukungnya saja.
Di lingkup negara modern, perubahan pasti berkaitan dengan pembangunan. Perubahan membutuhkan proses, karena tidak ada shortcut untuk menuju ke sana. Mengutip kalimat Ginanjar Kartasasmita, bahwa pembangunan ialah “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana (1994).”
Pembangungan sebagai proses, tidak hanya terpatok pada rancangan sebagai hasil dari kejeniusan. Tetapi juga tindakan konkret yang realistis serta tidak salah sasaran. Seperti itulah jika kalimat Ginanjar Kartasasmita diuraikan secara lebih mengkerucut. Singkat kata, perubahan dan pembangunan memang tidak bisa dipisahkan. Baik secara persuasif ataupun radikal.
Republik Indonesia baru saja menggelar hajatan lima tahunan. Tidak lain dan tidak bukan, hajatan tersebut ialah pemilihan pemimpin baru untuk lima tahun ke depan. Lalu 22 Juli mendatang, kita akan diperkenalkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sepasang pemimpin yang berhak dan berkewajiban memberi perubahan. Kemudian, pembangunan seperti apa yang harus diprioritaskan oleh pemimpin baru, demi merengkuh perubahan yang benar-benar sedang dibutuhkan rakyat ?
Persoalan Indonesia hari ini, masih berkutat pada aspek yang sifatnya elementer atau sangat mendasar. Antara lain, pangan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sepakat atau tidak, memang begitu kenyataannya. Masih terlalu banyak masyarakat yang belum bisa menghadirkan hidangan empat sehat lima sempurna untuk keluarganya. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa mengenal sosok pahlawan tanpa tanda jasa dalam hidupnya. Banyak orang meninggal karena tak mampu memenuhi tuntutan biaya sang juru selamat (baca: dokter). Tidak ketinggalan, terlampau banyak pula kalangan yang kegelapan karena wilayahnya tidak dikalungi kabel listrik.
Mengutip ucapan Anies Baswedan di suatu acara televisi swasta bahwa, “(Indonesia) Berbeda dengan negara yang ‘basic’-nya sudah beres. Ada ekspresi ideologis dalam visi dan misi calon pemimpinnya.” Artinya, Indonesia tidak butuh pemimpin dengan ekspresi ideologis yang rumit. Jika sepakat dengan pernyataan tersebut, maka kita harus berani melarang pemimpin baru nanti, apabila mereka terkendala masalah ideologi. Terutama ketika membuat rencana dan bertindak untuk merubah empat hal primer tadi ke arah yang positif.
Pemimpin memang harus memiliki ideologi, sebagai haluan dalam merancang blueprint pembangunan, serta sebagai pedoman menjalankan aksinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa, ideologi adalah cara berpikir seseorang atau golongan. Jika begitu, pemimpin yang baru nanti harus berideologi atau berpikir mengedepankan pembangunan di aspek pangan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Simple. Tidak perlu mengatakan dirinya kanan, kiri, ataupun tengah.
Kembali lagi kepada perkataan Miriam Budiardjo, bahwa politik adalah mufakat masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Lalu menurut Ginanjar Kartasasmita, perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, harus disokong oleh upaya pembangunan terencana dan tidak salah sasaran. Kemudian ideologi, berperan sebagai landasan pemimpin dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan. Kesimpulannya, agar perubahan yang dibutuhkan dapat terealisasi, pemimpin selanjutnya harus berideologi atau berpikir memprioritaskan pembangunan pangan, pendidikan dan infrastruktur, demi kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis dan lebih baik.
Sumber : http://ift.tt/1mxuYZs
Di lingkup negara modern, perubahan pasti berkaitan dengan pembangunan. Perubahan membutuhkan proses, karena tidak ada shortcut untuk menuju ke sana. Mengutip kalimat Ginanjar Kartasasmita, bahwa pembangunan ialah “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana (1994).”
Pembangungan sebagai proses, tidak hanya terpatok pada rancangan sebagai hasil dari kejeniusan. Tetapi juga tindakan konkret yang realistis serta tidak salah sasaran. Seperti itulah jika kalimat Ginanjar Kartasasmita diuraikan secara lebih mengkerucut. Singkat kata, perubahan dan pembangunan memang tidak bisa dipisahkan. Baik secara persuasif ataupun radikal.
Republik Indonesia baru saja menggelar hajatan lima tahunan. Tidak lain dan tidak bukan, hajatan tersebut ialah pemilihan pemimpin baru untuk lima tahun ke depan. Lalu 22 Juli mendatang, kita akan diperkenalkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sepasang pemimpin yang berhak dan berkewajiban memberi perubahan. Kemudian, pembangunan seperti apa yang harus diprioritaskan oleh pemimpin baru, demi merengkuh perubahan yang benar-benar sedang dibutuhkan rakyat ?
Persoalan Indonesia hari ini, masih berkutat pada aspek yang sifatnya elementer atau sangat mendasar. Antara lain, pangan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sepakat atau tidak, memang begitu kenyataannya. Masih terlalu banyak masyarakat yang belum bisa menghadirkan hidangan empat sehat lima sempurna untuk keluarganya. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa mengenal sosok pahlawan tanpa tanda jasa dalam hidupnya. Banyak orang meninggal karena tak mampu memenuhi tuntutan biaya sang juru selamat (baca: dokter). Tidak ketinggalan, terlampau banyak pula kalangan yang kegelapan karena wilayahnya tidak dikalungi kabel listrik.
Mengutip ucapan Anies Baswedan di suatu acara televisi swasta bahwa, “(Indonesia) Berbeda dengan negara yang ‘basic’-nya sudah beres. Ada ekspresi ideologis dalam visi dan misi calon pemimpinnya.” Artinya, Indonesia tidak butuh pemimpin dengan ekspresi ideologis yang rumit. Jika sepakat dengan pernyataan tersebut, maka kita harus berani melarang pemimpin baru nanti, apabila mereka terkendala masalah ideologi. Terutama ketika membuat rencana dan bertindak untuk merubah empat hal primer tadi ke arah yang positif.
Pemimpin memang harus memiliki ideologi, sebagai haluan dalam merancang blueprint pembangunan, serta sebagai pedoman menjalankan aksinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa, ideologi adalah cara berpikir seseorang atau golongan. Jika begitu, pemimpin yang baru nanti harus berideologi atau berpikir mengedepankan pembangunan di aspek pangan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Simple. Tidak perlu mengatakan dirinya kanan, kiri, ataupun tengah.
Kembali lagi kepada perkataan Miriam Budiardjo, bahwa politik adalah mufakat masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Lalu menurut Ginanjar Kartasasmita, perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, harus disokong oleh upaya pembangunan terencana dan tidak salah sasaran. Kemudian ideologi, berperan sebagai landasan pemimpin dalam mengambil keputusan atau mengeluarkan kebijakan. Kesimpulannya, agar perubahan yang dibutuhkan dapat terealisasi, pemimpin selanjutnya harus berideologi atau berpikir memprioritaskan pembangunan pangan, pendidikan dan infrastruktur, demi kehidupan masyarakat Indonesia yang harmonis dan lebih baik.
Sumber : http://ift.tt/1mxuYZs