PKS Partai Paling Dibenci
Sebelumnya saya tulis bahwa PDIP dan PKS belakangan menjadi partai politik yang paling terkenal. Hal itu saya lihat karena kedua partai ini paling banyak dibicarakan. Maka kemudian saya beropini bahwa PDIP adalah parpol yang paling tidak disukai. Sedangkan PKS adalah parpol yang paling dibenci. Kita semua pasti pernah merasa tidak suka, dan saya kira ada bedanya dengan rasa benci.
Setelah mengamati sekian banyak yang komentari PKS, saya yakin PKS adalah partai yang paling dibenci. Artinya PKS meraih kebencian dari banyak orang. Bukan artinya partai lain tanpa pembenci, tapi jumlah yang nampak jelas sepertinya lebih banyak pembenci PKS. Kebencian itu dapat dilihat dari banyaknya komentar bernada kasar, penghinaan, dan sindiran yang tujuannya hanya untuk menjatuhkan. Bahkan orang yang dikenal aktivis dan cendikiawan pun mengkritik PKS dengan kasar, menyindir PKS out of topic sing penting PKS dapat dijatuhkan.
PKS kerap dipanjangkan Partai Korupsi Sapi, atau sering juga orang sengaja menulis PSK, lalu yang nulis mengklarifikasi di lanjutan kalimatnya bahwa maksudnya PKS, bukan PSK, lalu diakhiri dengan tawa dan ada juga yang mengakhiri dengan emot titikdua “D”. Atau ada juga yang membuat sindiran dengan mengulang-ulang istilah Fustun. hahaha. Komen-komen seperti itu hanya akan muncul jika sudah ada kebencian.
PKS menyebut dirinya partai dakwah. Hal itu pasti jadi sasaran semua orang yang fanatik dengan sekulerisme dan pluralisme. Sedikit kesalahan sikap, misal ketika Fahri Hamzah menyebut kata “sinting”, langsung ditanggapi dengan beragam. “Kader partai dakwah tidak pantas bicara sekasar itu!”. Lalu ketika LHI divonis bersalah dalam kasus korupsi, yang mendapatkan hujatan terbesar adalah PKS. Komentar yang sama kasar tidak terlihat ketika yang korup adalah Panda Nababan (petinggi PDIP), Anas Urbaningrum (Ketum Demokrat saat itu), atau Ratu Atut (Golkar). Hal itu dikarenakan PDIP, Demokrat, dan Golkar buka partai berbasis Islam.
Orang Indonesia itu kan komentator luar biasa. Islam itu agama yang suci, maka kader partai Islam juga dituntut menjadi orang suci. Maka kemudian saya anggap wajar jika satu orang koruptor dari PKS lebih menjatuhkan nama PKS, sedangkan puluhan koruptor PDIP dan Golkar tidak menjatuhkan nama PDIP dan Golkar. Hal ini selain dikarenakan kader partai Islam harus orang suci, juga karena kader partai nasionalis atau partai sekuler boleh kotor. Ini yang salah.
Mau kader partai Islam, kader partai nasionalis, kader partai sekuler, bukan kader partai, bahkan yang anti-demokrasi sekalipun sama haramnya jika korupsi. Karena semua perilaku manusia tetap akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, tidak perduli dia anggota partai atau bukan, dia muslim atau bukan, soal kadar perhitungan, itu kuasa Tuhan, kita gak perlu ikut-ikutan. Tentang PKS yang merupakan partai dakwah dibenci karena satu kadernya korupsi, itu wajar. Jika menyandang agama, tuntutan dari masyarakatpun bertambah. Tapi karena ini Indonesia, negara yang warganya adalah umat beragama, maka kader partai apapun telah mencoreng dirinya sendiri sebagai umat beragama jika sampai korupsi.
Yang keliru menurut saya adalah memahami pendakwah sebagai orang suci. Hal ini menimbulkan ketakutan orang-orang untuk menunjukkan jati dirinya sebagai penebar kebaikan nilai agama. Pada akhirnya orang akan berhenti belajar agama dengan dalih “lebih baik tidak belajar agama sekalian daripada belajar agama tapi masih sering maksiat”, “lebih baik tidak berjilbab sekalian daripada berjilbab tapi masih pacaran”, “lebih baik tidak belajar baca quran sekalian daripada belajar al-quran tapi masih nonton serial ‘Ganteng2 Srikaya’”.
Dari titik inilah muncul pandangan, karena Islam itu agama yang suci, maka selama tidak menunjukkan dirinya muslim, harus dianggap wajar jika melakukan tindakan kotor. Kemudian kewajiban belajar agama ditinggalkan, beragama sesuaikan saja dengan keinginan, dengan dalih kualitas beragama dinilai Tuhan maka orang yang menasehati dianggap so’ suci. Pendakwah dan partai dakwah dianggap berperilaku so’ suci. Agama hanya urusan dirinya dengan Tuhan, tidak ada kaitannya dengan urusan sosial dan bernegara. Kekeliruan ini terus akan berlanjut sehingga sekulerisme kian mengakar dalam pikiran umat beragama yang enggan memperdalam agama.
Maka semakin orang Indonesia enggan belajar agama, posisi partai Islam akan terus dianggap so’ suci. Jika pikiran orang Indonesia makin sekuler, tiap kesalahan kader partai Islam akan dipandang kesalahan negara yang membiarkan suatu partai jadikan agama sebagai dasarnya. Disinilah muslim penganut liberalisme memposisikan diri dalam menyerang partai Islam. Padahal kalau orang liberal itu berhak perjuangkan liberalismenya karena Indonesia berdemokrasi, maka tidak boleh melarang orang dirikan partai berbasis Islam karena juga dijamin oleh undang-undang.
Pikiran-pikiran sekuler kini mulai tersebar, buktinya ulama jadi bahan olokan. Ulama mendadak dilarang bicara politik tanpa mereka tahu bahwa Islam juga mengatur urusan politik. Ulama dilarang berpoligami padahal mereka tahu agama membolehkannya. Ulama dilarang tentang perkawinan sejenis, padahal mereka tahu Tuhan haramkan perkawinan sejenis. Ulama dilarang memberi nasehat tanpa mereka tahu bahwa saling berwasiat dalam kebenaran adalah perintah dari Tuhan. Ulama tak lagi didengar kata-kata filsuf Eropa dianggap lebih baik daripada firman Tuhan. Ulama diperolok lewat candaan. Sikap memperolok itu bukan ciri muslim yang baik, jika ada ulama yang salah, Islam sudah tentukan cara mengingatkannya, bukan dengan mempermainkannya, tapi dengan… (hayo jawab… :D)
Sebagai orang yang bukan kader dan simpatisan PKS, saya anggap wajar PKS mendapatkan sanksi sosial karena kasus LHI. Tapi saya juga bela PKS karena yang membenci PKS dari kader partai lain tidak ngaji diri, toh buktinya kader partainya sendiri masih korupsi. Saya juga bela PKS, karena pembenci PKS dari kalangan masyarakat umum terlalu jauh siksa diri dalam kebencian. Padahal berdemokrasi itu simpel saja, tidak suka tinggal coblos yang lain. Tadi sanksi sosial untuk PKS itu saya sebut wajar, tapi dengan catatan: kita jangan jadi bagian yang ikut menghujat. Menghujat itu merendahkan diri sendiri. Kritik dan hujatan itu beda, kritik harus bisa dipertahankan secara keilmuan, tapi hujatan hanya akan dipertahankan dengan hujatan.
Mohon maaf kalau pikiran kita tak sama. Mohon maaf kalau saya tidak mau ikut membenci PKS. Untuk yang mau mengkritisi dan membully, kami persilahkan.. hahaha
Sumber : http://ift.tt/1tFlv9H
Setelah mengamati sekian banyak yang komentari PKS, saya yakin PKS adalah partai yang paling dibenci. Artinya PKS meraih kebencian dari banyak orang. Bukan artinya partai lain tanpa pembenci, tapi jumlah yang nampak jelas sepertinya lebih banyak pembenci PKS. Kebencian itu dapat dilihat dari banyaknya komentar bernada kasar, penghinaan, dan sindiran yang tujuannya hanya untuk menjatuhkan. Bahkan orang yang dikenal aktivis dan cendikiawan pun mengkritik PKS dengan kasar, menyindir PKS out of topic sing penting PKS dapat dijatuhkan.
PKS kerap dipanjangkan Partai Korupsi Sapi, atau sering juga orang sengaja menulis PSK, lalu yang nulis mengklarifikasi di lanjutan kalimatnya bahwa maksudnya PKS, bukan PSK, lalu diakhiri dengan tawa dan ada juga yang mengakhiri dengan emot titikdua “D”. Atau ada juga yang membuat sindiran dengan mengulang-ulang istilah Fustun. hahaha. Komen-komen seperti itu hanya akan muncul jika sudah ada kebencian.
PKS menyebut dirinya partai dakwah. Hal itu pasti jadi sasaran semua orang yang fanatik dengan sekulerisme dan pluralisme. Sedikit kesalahan sikap, misal ketika Fahri Hamzah menyebut kata “sinting”, langsung ditanggapi dengan beragam. “Kader partai dakwah tidak pantas bicara sekasar itu!”. Lalu ketika LHI divonis bersalah dalam kasus korupsi, yang mendapatkan hujatan terbesar adalah PKS. Komentar yang sama kasar tidak terlihat ketika yang korup adalah Panda Nababan (petinggi PDIP), Anas Urbaningrum (Ketum Demokrat saat itu), atau Ratu Atut (Golkar). Hal itu dikarenakan PDIP, Demokrat, dan Golkar buka partai berbasis Islam.
Orang Indonesia itu kan komentator luar biasa. Islam itu agama yang suci, maka kader partai Islam juga dituntut menjadi orang suci. Maka kemudian saya anggap wajar jika satu orang koruptor dari PKS lebih menjatuhkan nama PKS, sedangkan puluhan koruptor PDIP dan Golkar tidak menjatuhkan nama PDIP dan Golkar. Hal ini selain dikarenakan kader partai Islam harus orang suci, juga karena kader partai nasionalis atau partai sekuler boleh kotor. Ini yang salah.
Mau kader partai Islam, kader partai nasionalis, kader partai sekuler, bukan kader partai, bahkan yang anti-demokrasi sekalipun sama haramnya jika korupsi. Karena semua perilaku manusia tetap akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan, tidak perduli dia anggota partai atau bukan, dia muslim atau bukan, soal kadar perhitungan, itu kuasa Tuhan, kita gak perlu ikut-ikutan. Tentang PKS yang merupakan partai dakwah dibenci karena satu kadernya korupsi, itu wajar. Jika menyandang agama, tuntutan dari masyarakatpun bertambah. Tapi karena ini Indonesia, negara yang warganya adalah umat beragama, maka kader partai apapun telah mencoreng dirinya sendiri sebagai umat beragama jika sampai korupsi.
Yang keliru menurut saya adalah memahami pendakwah sebagai orang suci. Hal ini menimbulkan ketakutan orang-orang untuk menunjukkan jati dirinya sebagai penebar kebaikan nilai agama. Pada akhirnya orang akan berhenti belajar agama dengan dalih “lebih baik tidak belajar agama sekalian daripada belajar agama tapi masih sering maksiat”, “lebih baik tidak berjilbab sekalian daripada berjilbab tapi masih pacaran”, “lebih baik tidak belajar baca quran sekalian daripada belajar al-quran tapi masih nonton serial ‘Ganteng2 Srikaya’”.
Dari titik inilah muncul pandangan, karena Islam itu agama yang suci, maka selama tidak menunjukkan dirinya muslim, harus dianggap wajar jika melakukan tindakan kotor. Kemudian kewajiban belajar agama ditinggalkan, beragama sesuaikan saja dengan keinginan, dengan dalih kualitas beragama dinilai Tuhan maka orang yang menasehati dianggap so’ suci. Pendakwah dan partai dakwah dianggap berperilaku so’ suci. Agama hanya urusan dirinya dengan Tuhan, tidak ada kaitannya dengan urusan sosial dan bernegara. Kekeliruan ini terus akan berlanjut sehingga sekulerisme kian mengakar dalam pikiran umat beragama yang enggan memperdalam agama.
Maka semakin orang Indonesia enggan belajar agama, posisi partai Islam akan terus dianggap so’ suci. Jika pikiran orang Indonesia makin sekuler, tiap kesalahan kader partai Islam akan dipandang kesalahan negara yang membiarkan suatu partai jadikan agama sebagai dasarnya. Disinilah muslim penganut liberalisme memposisikan diri dalam menyerang partai Islam. Padahal kalau orang liberal itu berhak perjuangkan liberalismenya karena Indonesia berdemokrasi, maka tidak boleh melarang orang dirikan partai berbasis Islam karena juga dijamin oleh undang-undang.
Pikiran-pikiran sekuler kini mulai tersebar, buktinya ulama jadi bahan olokan. Ulama mendadak dilarang bicara politik tanpa mereka tahu bahwa Islam juga mengatur urusan politik. Ulama dilarang berpoligami padahal mereka tahu agama membolehkannya. Ulama dilarang tentang perkawinan sejenis, padahal mereka tahu Tuhan haramkan perkawinan sejenis. Ulama dilarang memberi nasehat tanpa mereka tahu bahwa saling berwasiat dalam kebenaran adalah perintah dari Tuhan. Ulama tak lagi didengar kata-kata filsuf Eropa dianggap lebih baik daripada firman Tuhan. Ulama diperolok lewat candaan. Sikap memperolok itu bukan ciri muslim yang baik, jika ada ulama yang salah, Islam sudah tentukan cara mengingatkannya, bukan dengan mempermainkannya, tapi dengan… (hayo jawab… :D)
Sebagai orang yang bukan kader dan simpatisan PKS, saya anggap wajar PKS mendapatkan sanksi sosial karena kasus LHI. Tapi saya juga bela PKS karena yang membenci PKS dari kader partai lain tidak ngaji diri, toh buktinya kader partainya sendiri masih korupsi. Saya juga bela PKS, karena pembenci PKS dari kalangan masyarakat umum terlalu jauh siksa diri dalam kebencian. Padahal berdemokrasi itu simpel saja, tidak suka tinggal coblos yang lain. Tadi sanksi sosial untuk PKS itu saya sebut wajar, tapi dengan catatan: kita jangan jadi bagian yang ikut menghujat. Menghujat itu merendahkan diri sendiri. Kritik dan hujatan itu beda, kritik harus bisa dipertahankan secara keilmuan, tapi hujatan hanya akan dipertahankan dengan hujatan.
Mohon maaf kalau pikiran kita tak sama. Mohon maaf kalau saya tidak mau ikut membenci PKS. Untuk yang mau mengkritisi dan membully, kami persilahkan.. hahaha
Sumber : http://ift.tt/1tFlv9H