GUGATAN KE MK DAN MASA DEPAN DEMOKRASI
GUGATAN KE MK DAN MASA DEPAN DEMOKRASI
OLEH : ASPIANOR SAHBAS
Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 24C ayat 1 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Jadi, berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu). Baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa kata akhir dalam memutus perselisihan hasil Pemilu adalah berada di tangan MK. Oleh sebab itu, dalam konteks Pemilu Presiden yang baru saja kita laksanakan, jika kemudian adanya keinginan dari peserta Pilpres untuk mengajukan gugatan kepada MK dalam hal perselisihan hasil pemilu adalah suatu yang sah secara konstitusi. Hak untuk mengajukan gugatan itu memang diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi tidak ada alasan untuk menghalang-halangi pihak yang merasa dirugikan oleh KPU dalam proses perhitungan suara untuk mengajukan permohonan gugatan kepada MK.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemenang Pilpres kali ini adalah pasangan nomor urut 2 yaitu Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mengalahkan pasangan nomor urut 1 yaitu Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa. Namun demikian, dalam perjalanannya pasangan nomor urut 1 memandang perlu untuk mengajukan permohonan gugatan ke MK, karena menganggap KPU telah melakukan berbagai bentuk kelalaian dan kecurangan yang berdampak pada hilangnya suara pasangan nomor urut 1 dalam jumlah yang besar sehingga pasangan nomor urut 1 kalah dalam perhitungan suara dengan pasangan nomor urut 2.
Bahkan yang menarik, belum lagi proses rekapitulasi selesai dilakukan oleh KPU atas perintah Capres nomor urut 1 para saksi dari pasangan nomor urut 1 menarik diri dari proses rekapitulasi yang sedang berlangsung sebagai bentuk protes. Atas peristiwa ini tentu saja kita sangat menyayangkan karena bukan pada tempatnya untuk mengajukan keberatan dengan cara meninggalkan forum rekapitulasi yang sudah berlangsung dan hanya tinggal 4 provinsi saja lagi yang belum diselesaikan. Bukankah tahapan Pilpres yang dibuat oleh KPU telah disepakati oleh kedua belah pihak sehingga proses rekapitulasi pun sudah dijalankan.Dan jika pun ada keberatan-keberatan yang harus disampaikan mestinya harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena bagaimanapun demokrasi yang baik harus dibangun di atas aturan koridor hukum yang berlaku. Demokrasi yang baik berjalan di atas aturan. Tidak ada demokrasi tanpa adanya aturan. Demokrasi tanpa aturan dapat menjadi anarkis.
Terhadap apa pun yang menjadi alasan pihak pemohon dalam mengajukan gugatan harus dihormati. Tapi semua itu harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. KPU sebagai pihak termohon juga harus membuktikan hal yang sama agar proses peradilan berlangsung secara fair dan terbuka. Dalam proses ini juga sangat dituntut netralitas dan profesionalitas para hakim konstitusi yang menangani perkara.Sebab dalam gugatan Pilpres ini menyimpan sejumlah persoalan yang berhubungan dengan para pendukung masing-masing pihak. Kesalahan dalam menangani atau memutus perkara Pilpres yang tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran berpotensi menimbulkan konflik horisontal antar para pendukung. Jadi para hakim yang akan memutus perkara gugatan ini, sekali lagi harus mempertimbangkan secara komprehensif segala aspek dan akibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa bermaksud mencurigai netralitas dan profesionalitas Hakim-hakim MK, tidak ada salahnya untuk mengingatkan kembali bahwa Hakim MK pun pernah terlibat prilaku korup demi untuk memenangkan perkara-perkara dalam menangani perselisihan hasil Pemilu. Kasus yang menimpa Akil Muhtar sebagai Ketua MK memberi pelajaran yang amat berharga bahwa netralitas dan profesionalitas hakim MK pernah tercemarkan. Kejadian ini tidak boleh berulang lagi. Sebab jika tidak demokrasi kita akan terciderai oleh prilaku orang-orang yang hanya mengejar kepentingan atau keuntungan pribadi dan kelompok. Sungguh ini suatu hal yang sangat berbahaya bagi kelangsungan penegakan hukum dan masa depan demokrasi. Karena itu masyarakat atau elemen-elemen kemasyarakatan yang peduli pada penegakan hukum dan masa depan demokrasi di negeri ini agar dapat memantau jalanya persidangan gugatan hasil Pilpres ini.
Selain itu, penting juga mengingatkan para hakim yang berlatar belakang dari partai politik untuk tidak terjebak dalam hubungan emosionalitas partai atau pun loyalitas pada pimpinan partai yang tergabung dalam pihak koalisi yang sedang mengajukan gugatan sehingga kemudian mempengaruhi jalan pikiran untuk mengambil keputusan yang adil dan tidak memihak.
Sebagai bangsa yang besar kita sudah memiliki pengalaman berdemokrasi dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dua kali kita menjalankan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah berhasil dengan sukses. Sehingga tidak berlebihan jika kita dianggap sebagai negara terbesar ketiga di dunia yang mampu menjalankan proses berdemokrasi secara aman damai.Citra positif ini harus kita jaga betul agar masyarakat dunia semakin menghormati dan menghargai kita sebagai negara demokrasi yang sukses.Bahkan tidak berlebiha jika kita menjadikan Indonesia sebagai negara percontohan dalam menerapkan kehidupan berdemokrasi bagi negara-negara lain.
Sumber : http://ift.tt/1oYdoSH
OLEH : ASPIANOR SAHBAS
Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 24C ayat 1 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Jadi, berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pemilu). Baik Pemilu legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa kata akhir dalam memutus perselisihan hasil Pemilu adalah berada di tangan MK. Oleh sebab itu, dalam konteks Pemilu Presiden yang baru saja kita laksanakan, jika kemudian adanya keinginan dari peserta Pilpres untuk mengajukan gugatan kepada MK dalam hal perselisihan hasil pemilu adalah suatu yang sah secara konstitusi. Hak untuk mengajukan gugatan itu memang diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi tidak ada alasan untuk menghalang-halangi pihak yang merasa dirugikan oleh KPU dalam proses perhitungan suara untuk mengajukan permohonan gugatan kepada MK.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemenang Pilpres kali ini adalah pasangan nomor urut 2 yaitu Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mengalahkan pasangan nomor urut 1 yaitu Prabowo Subianto dan Muhammad Hatta Rajasa. Namun demikian, dalam perjalanannya pasangan nomor urut 1 memandang perlu untuk mengajukan permohonan gugatan ke MK, karena menganggap KPU telah melakukan berbagai bentuk kelalaian dan kecurangan yang berdampak pada hilangnya suara pasangan nomor urut 1 dalam jumlah yang besar sehingga pasangan nomor urut 1 kalah dalam perhitungan suara dengan pasangan nomor urut 2.
Bahkan yang menarik, belum lagi proses rekapitulasi selesai dilakukan oleh KPU atas perintah Capres nomor urut 1 para saksi dari pasangan nomor urut 1 menarik diri dari proses rekapitulasi yang sedang berlangsung sebagai bentuk protes. Atas peristiwa ini tentu saja kita sangat menyayangkan karena bukan pada tempatnya untuk mengajukan keberatan dengan cara meninggalkan forum rekapitulasi yang sudah berlangsung dan hanya tinggal 4 provinsi saja lagi yang belum diselesaikan. Bukankah tahapan Pilpres yang dibuat oleh KPU telah disepakati oleh kedua belah pihak sehingga proses rekapitulasi pun sudah dijalankan.Dan jika pun ada keberatan-keberatan yang harus disampaikan mestinya harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena bagaimanapun demokrasi yang baik harus dibangun di atas aturan koridor hukum yang berlaku. Demokrasi yang baik berjalan di atas aturan. Tidak ada demokrasi tanpa adanya aturan. Demokrasi tanpa aturan dapat menjadi anarkis.
Terhadap apa pun yang menjadi alasan pihak pemohon dalam mengajukan gugatan harus dihormati. Tapi semua itu harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. KPU sebagai pihak termohon juga harus membuktikan hal yang sama agar proses peradilan berlangsung secara fair dan terbuka. Dalam proses ini juga sangat dituntut netralitas dan profesionalitas para hakim konstitusi yang menangani perkara.Sebab dalam gugatan Pilpres ini menyimpan sejumlah persoalan yang berhubungan dengan para pendukung masing-masing pihak. Kesalahan dalam menangani atau memutus perkara Pilpres yang tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran berpotensi menimbulkan konflik horisontal antar para pendukung. Jadi para hakim yang akan memutus perkara gugatan ini, sekali lagi harus mempertimbangkan secara komprehensif segala aspek dan akibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tanpa bermaksud mencurigai netralitas dan profesionalitas Hakim-hakim MK, tidak ada salahnya untuk mengingatkan kembali bahwa Hakim MK pun pernah terlibat prilaku korup demi untuk memenangkan perkara-perkara dalam menangani perselisihan hasil Pemilu. Kasus yang menimpa Akil Muhtar sebagai Ketua MK memberi pelajaran yang amat berharga bahwa netralitas dan profesionalitas hakim MK pernah tercemarkan. Kejadian ini tidak boleh berulang lagi. Sebab jika tidak demokrasi kita akan terciderai oleh prilaku orang-orang yang hanya mengejar kepentingan atau keuntungan pribadi dan kelompok. Sungguh ini suatu hal yang sangat berbahaya bagi kelangsungan penegakan hukum dan masa depan demokrasi. Karena itu masyarakat atau elemen-elemen kemasyarakatan yang peduli pada penegakan hukum dan masa depan demokrasi di negeri ini agar dapat memantau jalanya persidangan gugatan hasil Pilpres ini.
Selain itu, penting juga mengingatkan para hakim yang berlatar belakang dari partai politik untuk tidak terjebak dalam hubungan emosionalitas partai atau pun loyalitas pada pimpinan partai yang tergabung dalam pihak koalisi yang sedang mengajukan gugatan sehingga kemudian mempengaruhi jalan pikiran untuk mengambil keputusan yang adil dan tidak memihak.
Sebagai bangsa yang besar kita sudah memiliki pengalaman berdemokrasi dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dua kali kita menjalankan proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung telah berhasil dengan sukses. Sehingga tidak berlebihan jika kita dianggap sebagai negara terbesar ketiga di dunia yang mampu menjalankan proses berdemokrasi secara aman damai.Citra positif ini harus kita jaga betul agar masyarakat dunia semakin menghormati dan menghargai kita sebagai negara demokrasi yang sukses.Bahkan tidak berlebiha jika kita menjadikan Indonesia sebagai negara percontohan dalam menerapkan kehidupan berdemokrasi bagi negara-negara lain.
Sumber : http://ift.tt/1oYdoSH