PKB ‘Tak Salah’ Soal Rangkap Jabatan Menteri (2)
*Tulisan ini merupakan tulisan terakhir dari tulisan sebelumnya.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka secara gramatikal, sosiologis dan historis sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini, rangkapan jabatan seorang Menteri dengan partai politiknya, masih dapat diterima. Yang tentunya selama UU terkait belum disesuaikan/dibatalkan.
Dalam Pasal 23 huruf c UU 39/2008, yang dilarang adalah yang “dibiayai”. Dibiayai artinya sepenuhnya pendanaan organisasi adalah dari APBN/APBD. Sedangkan parpol itu hanya sebagian mendapatkan bantuan dana dari negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang partai politik dan bantuan keuangan kepada parpol. Bantuan dana/keuangan jelas berbeda dengan “dibiayai”. Bantuan dana hanya sebagian saja, sedangkan “dibiayai” merupakan secara keseluruhan. Meskipun dalam penjelasan ketentuan tersebut terdapat kata “cukup jelas”.
Untuk melihat hal ini, maka mau tidak mau kita sebaiknya melihat kepada tafsir sosiologis dan historisnya atas ketentuan tersebut. Hal ini dikarenakan bila tafsir gramatikal berdiri sendiri, maka hal tersebut memang bias didiskusikan ulang oleh semua pihak. Dari sisi sosiologis, terdapat fakta bahwasanya ada beberapa orang Menteri saat ini yang konkuren sebagai Ketua Umum Parpol. Kalaulah ada “pelanggaran hukum” di sana, sudah barang tentu hal tersebut akan dipermasalahkan.
Politik adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari realita sosial. Pelaku politik adalah makhluk sosial. Proses politik adalah proses sosial. Jadi sesungguhnya fakta politik adalah bagian dari fakta sosial juga. Jika dukungan sosial yang dimaksud harus dimaknai dengan adanya pengakuan oleh semua orang, rasanya mustahil. Bahkan dalam masyarakat yang sederhana pun tidak akan ada konsensus 100%. Di rumah tangga saja sering tidak terjadi konsensus atas suatu keputusan. Sekali lagi keputusan harus diambil.
Bahwa kalaupun masih ada yang mempermasalahkan kepada MK, sesungguhnya realita ini dapat diperdebatkan juga. Berapa banyak masyarakat yang mendukung permohonan itu (lihat Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Lily Wahid)? Pertanyaan yang memerlukan jawaban kuantitatif ini agaknya mustahil diselesaikan tanpa biaya yang besar. Apalagi jika dipertanyakan juga motivasi pemohon? Apakah tujuan si pemohon murni untuk kebaikan pemerintahan atau tidak?
Kalau dipermasalahkan lagi, apakah permohonan itu juga didukung oleh semua warga masyarakat? Kalau ada yang masih meyakini ini bukan soal tidak ada hukum yang dilanggar, melainkan soal penegakan hukum, maka boleh jadi pendapat itu benar, tetapi kebenaran yang masih dalam batas opini. Bukan suatu kebenaran hukum. Karena dalam konteks ini hukumnya sudah ada.
Bagi yang mempermasalahkan secara hukum, hal itu pun sudah ditegakan oleh MK. Jika legal standing Lily Wahid yang dianggap menjadi faktor kekalahan di MK, maka yang merasa punya legal standing pun sampai dengan hari ini tidak melayangkan permohonan hukum. Padahal tidak ada satu larangan pun untuk melayangkan permohonan hukum. Artinya, selama belum ada keputusan hukum yang membatalkan suatu UU, atau klausul dalam UU, maka norma UU atau klausul dalam UU tersebut masih mempunyai legitimasi hukum.
Bahwa masih ada yang mempermasalahkan (sebagian masyarakat) itu sah-sah saja. Kami pun setuju dengan kondisi di mana Menteri sebaiknya tidak konkuren sebagai Pengurus Parpol. Yang jadi persoalan adalah apakah pendapat itu sudah didukung oleh UU? Jika tidak, maka itu tidak lebih dari pendapat yang tidak bisa dipaksakan secara hukum.
Satu hal lagi yang ingin kami sampaikan adalah bahwa fakta UU dapat ditafsirkan dengan metode historis, mencari latar belakang sejarah yang menjelaskan makna klausul sebagaimana dikehendaki oleh pembuat UU itu sendiri. Tafsir gramatikal atau holistik oleh siapapun itu baik dan boleh-boleh saja, sejauh dia sejalan dengan tafsir historis. Faktanya dalam proses pembuatan UU aquo, tafsir historis menunjukkan bahwa memang yang dimaksud dengan dibiayai adalah organisasi yang 100% dibiayai oleh APBN/APBD. Hal ini dapat ditelaah dari apa yang disampaikan oleh Adang Daradjatun (dalam sidang MK) sebagai berikut:
Bahwa selanjutnya dalam kerja pansus RUU tentang Kementerian Negara tanggal 16 Oktober 2008 dibahas mengenai yang dimaksud dengan dibiayai oleh APBN dan/atau APBD adalah organisasi yang dibiayai 100% oleh APBN dan/atau APBD. Adapun pembicaraan ini dapat disampaikan sebagai berikut:
“Kata kuncinya, kata-kata dibiayai APBN. Jadi ada organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan kalau memang pembiayaannya itu mutlak 100% dari APBN, karena ada korelasi kepentingan budget dan sebagainya itu yang dilarang”.
Dari tafsir historis atas UU tersebut di atas, menjadi jelas bahwa “dibiayai” bukan untuk organisasi yang hanya sebagian diberi bantuan oleh negara (APBN/APBD), namun seluruhnya.
Thus, dalam hal ini secara normatif, seorang Menteri merangkap jabatan sebagai Ketua/Pengurus Parpol tidak dapat dipermasalahkan dari segi hukum.
Salam Keadilan… ;)
Sumber : http://ift.tt/1nT8H7M
Dari ketentuan tersebut di atas, maka secara gramatikal, sosiologis dan historis sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini, rangkapan jabatan seorang Menteri dengan partai politiknya, masih dapat diterima. Yang tentunya selama UU terkait belum disesuaikan/dibatalkan.
Dalam Pasal 23 huruf c UU 39/2008, yang dilarang adalah yang “dibiayai”. Dibiayai artinya sepenuhnya pendanaan organisasi adalah dari APBN/APBD. Sedangkan parpol itu hanya sebagian mendapatkan bantuan dana dari negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang partai politik dan bantuan keuangan kepada parpol. Bantuan dana/keuangan jelas berbeda dengan “dibiayai”. Bantuan dana hanya sebagian saja, sedangkan “dibiayai” merupakan secara keseluruhan. Meskipun dalam penjelasan ketentuan tersebut terdapat kata “cukup jelas”.
Untuk melihat hal ini, maka mau tidak mau kita sebaiknya melihat kepada tafsir sosiologis dan historisnya atas ketentuan tersebut. Hal ini dikarenakan bila tafsir gramatikal berdiri sendiri, maka hal tersebut memang bias didiskusikan ulang oleh semua pihak. Dari sisi sosiologis, terdapat fakta bahwasanya ada beberapa orang Menteri saat ini yang konkuren sebagai Ketua Umum Parpol. Kalaulah ada “pelanggaran hukum” di sana, sudah barang tentu hal tersebut akan dipermasalahkan.
Politik adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari realita sosial. Pelaku politik adalah makhluk sosial. Proses politik adalah proses sosial. Jadi sesungguhnya fakta politik adalah bagian dari fakta sosial juga. Jika dukungan sosial yang dimaksud harus dimaknai dengan adanya pengakuan oleh semua orang, rasanya mustahil. Bahkan dalam masyarakat yang sederhana pun tidak akan ada konsensus 100%. Di rumah tangga saja sering tidak terjadi konsensus atas suatu keputusan. Sekali lagi keputusan harus diambil.
Bahwa kalaupun masih ada yang mempermasalahkan kepada MK, sesungguhnya realita ini dapat diperdebatkan juga. Berapa banyak masyarakat yang mendukung permohonan itu (lihat Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009 yang dimohonkan oleh Lily Wahid)? Pertanyaan yang memerlukan jawaban kuantitatif ini agaknya mustahil diselesaikan tanpa biaya yang besar. Apalagi jika dipertanyakan juga motivasi pemohon? Apakah tujuan si pemohon murni untuk kebaikan pemerintahan atau tidak?
Kalau dipermasalahkan lagi, apakah permohonan itu juga didukung oleh semua warga masyarakat? Kalau ada yang masih meyakini ini bukan soal tidak ada hukum yang dilanggar, melainkan soal penegakan hukum, maka boleh jadi pendapat itu benar, tetapi kebenaran yang masih dalam batas opini. Bukan suatu kebenaran hukum. Karena dalam konteks ini hukumnya sudah ada.
Bagi yang mempermasalahkan secara hukum, hal itu pun sudah ditegakan oleh MK. Jika legal standing Lily Wahid yang dianggap menjadi faktor kekalahan di MK, maka yang merasa punya legal standing pun sampai dengan hari ini tidak melayangkan permohonan hukum. Padahal tidak ada satu larangan pun untuk melayangkan permohonan hukum. Artinya, selama belum ada keputusan hukum yang membatalkan suatu UU, atau klausul dalam UU, maka norma UU atau klausul dalam UU tersebut masih mempunyai legitimasi hukum.
Bahwa masih ada yang mempermasalahkan (sebagian masyarakat) itu sah-sah saja. Kami pun setuju dengan kondisi di mana Menteri sebaiknya tidak konkuren sebagai Pengurus Parpol. Yang jadi persoalan adalah apakah pendapat itu sudah didukung oleh UU? Jika tidak, maka itu tidak lebih dari pendapat yang tidak bisa dipaksakan secara hukum.
Satu hal lagi yang ingin kami sampaikan adalah bahwa fakta UU dapat ditafsirkan dengan metode historis, mencari latar belakang sejarah yang menjelaskan makna klausul sebagaimana dikehendaki oleh pembuat UU itu sendiri. Tafsir gramatikal atau holistik oleh siapapun itu baik dan boleh-boleh saja, sejauh dia sejalan dengan tafsir historis. Faktanya dalam proses pembuatan UU aquo, tafsir historis menunjukkan bahwa memang yang dimaksud dengan dibiayai adalah organisasi yang 100% dibiayai oleh APBN/APBD. Hal ini dapat ditelaah dari apa yang disampaikan oleh Adang Daradjatun (dalam sidang MK) sebagai berikut:
Bahwa selanjutnya dalam kerja pansus RUU tentang Kementerian Negara tanggal 16 Oktober 2008 dibahas mengenai yang dimaksud dengan dibiayai oleh APBN dan/atau APBD adalah organisasi yang dibiayai 100% oleh APBN dan/atau APBD. Adapun pembicaraan ini dapat disampaikan sebagai berikut:
“Kata kuncinya, kata-kata dibiayai APBN. Jadi ada organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan kalau memang pembiayaannya itu mutlak 100% dari APBN, karena ada korelasi kepentingan budget dan sebagainya itu yang dilarang”.
Dari tafsir historis atas UU tersebut di atas, menjadi jelas bahwa “dibiayai” bukan untuk organisasi yang hanya sebagian diberi bantuan oleh negara (APBN/APBD), namun seluruhnya.
Thus, dalam hal ini secara normatif, seorang Menteri merangkap jabatan sebagai Ketua/Pengurus Parpol tidak dapat dipermasalahkan dari segi hukum.
Salam Keadilan… ;)
Sumber : http://ift.tt/1nT8H7M