Pemerataan Posisi Kantor Kementerian untuk Jokowi (Sekadar Usul)*
Dalam acara debat capres 2014 di Hotel Gran Melia, Jakarta, 15 Juni 2014, Jokowi berucap, “Percuma pertumbuhan ekonomi baik kalau tidak ada pemerataan.” Sebelumnya, kemungkinan besar, Jokowi sudah melakukan blusukan ke beberapa daerah di luar pulau Jawa sehingga beliau begitu lancar menyebut kata “pemerataan”.
Kata “pemerataan” mendadak menjadi sorotan serius karena selama sekian puluh tahun ekonomi Indonesia hanya berkutat pada kata “pertumbuhan”, dan “pertumbuhan ekonomi” itu terjadi hanya di beberapa kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentunya, Indonesia bukanlah DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Makassar saja, atau ditambah Denpasar, Palembang, dan Jayapura.
Sejak 2012 NKRI memiliki 34 provinsi, dan 13.466 pulau. Provinsi termuda adalah Kalimantan Utara (Kaltara, padahal singkatan tepatnya adalah Kalut, sebagaimana singkatan untuk Kaltim, Kalsel, Kalbar, dan Kalteng, atau Sulut, Sumut, dan lain-lain). Setiap provinsi memiliki pulau, dan provinsi dengan pulau terbanyak adalah Kepulauan Riau.
Dengan keberadaan provinsi dan banyaknya pulau, kemungkinan sebelumnya pun, menjadi ide bagi Jokowi sehingga pada acara Rapimnas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Jakarta, 13 Mei 2014, dan diulangi pada acara Seminar Nasional Bidang Kelautan dan Launching Hari Nusantara 2014 memperingati Hari Kelautan Sedunia, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, 11 Juni 2014, terlontarlah rencana membangun tol laut.
Tol laut, yang dimaksud Jokowi, bukanlah jalan tol di atas laut, melainkan jalur distribusi logistik menggunakan kapal laut dari ujung pulau Sumatera hingga ujung Papua. Beliau memperkirakan keberadaan tol laut bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Selain itu, harga-harga barang serta kebutuhan sehari-hari bisa sama rata atau paling tidak kenaikannya tidak terlalu besar.
Yang tidak keluar dari istilah “pemerataan ekonomi” dan “pemerataan pembangunan” tersebut, barangkali, adalah “pemerataan kementerian”. Pemerataan kementerian yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah “bagi-bagi kursi dalam kabinet” untuk partai politik dalam koalisi dan relawan. Melainkan pemerataan posisi kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI.
Bagaimana pemerataan kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI itu? Begini. Misalnya kantor kementerian perdagangan dan industri di provinsi Banten, kantor kementerian luar negeri di DKI Jakarta, kantor kementerian pertanian di Jawa Barat, kantor kementerian pendidikan di provinsi Yogyakarta, kantor kementerian kesehatan di Jawa Tengah, kantor kementerian kelautan dan perikanan di provinsi Jawa Timur, kantor kementerian pariwisata dan budaya di provinsi Bali, kantor kementerian dalam negeri di provinsi Kalimantan Tengah, kantor kementerian pertambangan dan energi di provinsi Kalimantan Timur, kantor kementerian perhubungan di provinsi Sulawesi Selatan, kantor kementerian peternakan di provinsi Nusa Tenggara Timur, dan seterusnya.
Dengan adanya pemerataan posisi kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI, tidaklah mustahil akan terjadi pemerataan selain ekonomi dan pembangunan, yaitu pemerataan penduduk (demografi), pendidikan (berdasarkan bidang atau kekhususan), transportasi, dan lain-lain. Segala urusan yang berkaitan dengan kementerian bersangkutan harus dilakukan secara merata di seluruh wilayah NKRI.
Apakah kemudian dampaknya menjadi “jangkauan jauh” bagi daerah-daerah tertentu? Ini mengenai pemerataan. Sekian puluh tahun, khususnya sejak masa kolonial Belanda, pemusatan terjadi di Batavia atau DKI Jakarta. Bagi penduduk pulau Jawa dan selatan pulau Sumatera, letak DKI Jakarta tidaklah jauh. Tetapi bagi penduduk di Sabang, Rote, Miangas, dan Papua paling timur, letak DKI Jakarta tidaklah dekat.
Soal pemerataan, yang juga bisa dikaitakan dengan jangkauan (jarak jangkau), adalah letak Ibukota NKRI. Pada 17 Juli 1957 Presiden R.I. ke-1, Ir. Soekarno berencana bahwa Ibukota Negara berada di Palangkaraya, Kalteng. Jarak jangkauan dari barat Sumatera, timur Papua, utara Sulawesi, dan selatan Timor pun bisa lebih “merata”.
Pemerataan posisi kantor kementerian dan keberadaan Ibukota NKRI tepat di tengah Nusantara merupakan upaya melengkapi ide pemerataan ekonomi dan pembangunan yang dicetuskan oleh Jokowi. Kalau ide pemerataan ekonomi dan pembangunan tidak dibarengi dengan pemerataan posisi kementerian di seluruh wilayah NKRI, pemusatan (konsentrasi) birokrasi tetap tertuju pada pulau Jawa. Bukankah pulau di NKRI tidak melulu Jawa dan bagian selatan Sulawesi?
Dan, kalaupun posisi kementerian berada secara merata di 34 provinsi, bukankah semua itu masih dalam wilayah NKRI? Jadi, apabila soal pemerataan hanya ekonomi dan pembangunan tanpa dibarengi pemerataan posisi kementerian (birokrasi), bagaimana bisa benar-benar merata rasa kesatuan-persatuan bangsa di NKRI ini?
*******
Sabana Karang, 2014
*) tulisan ini berasal dari obrolan dengan Wilson Therik di Kupang, NTT.
Sumber : http://ift.tt/1vcEB7V
Kata “pemerataan” mendadak menjadi sorotan serius karena selama sekian puluh tahun ekonomi Indonesia hanya berkutat pada kata “pertumbuhan”, dan “pertumbuhan ekonomi” itu terjadi hanya di beberapa kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentunya, Indonesia bukanlah DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Makassar saja, atau ditambah Denpasar, Palembang, dan Jayapura.
Sejak 2012 NKRI memiliki 34 provinsi, dan 13.466 pulau. Provinsi termuda adalah Kalimantan Utara (Kaltara, padahal singkatan tepatnya adalah Kalut, sebagaimana singkatan untuk Kaltim, Kalsel, Kalbar, dan Kalteng, atau Sulut, Sumut, dan lain-lain). Setiap provinsi memiliki pulau, dan provinsi dengan pulau terbanyak adalah Kepulauan Riau.
Dengan keberadaan provinsi dan banyaknya pulau, kemungkinan sebelumnya pun, menjadi ide bagi Jokowi sehingga pada acara Rapimnas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Jakarta, 13 Mei 2014, dan diulangi pada acara Seminar Nasional Bidang Kelautan dan Launching Hari Nusantara 2014 memperingati Hari Kelautan Sedunia, di Gedung Merdeka, Kota Bandung, 11 Juni 2014, terlontarlah rencana membangun tol laut.
Tol laut, yang dimaksud Jokowi, bukanlah jalan tol di atas laut, melainkan jalur distribusi logistik menggunakan kapal laut dari ujung pulau Sumatera hingga ujung Papua. Beliau memperkirakan keberadaan tol laut bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Selain itu, harga-harga barang serta kebutuhan sehari-hari bisa sama rata atau paling tidak kenaikannya tidak terlalu besar.
Yang tidak keluar dari istilah “pemerataan ekonomi” dan “pemerataan pembangunan” tersebut, barangkali, adalah “pemerataan kementerian”. Pemerataan kementerian yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah “bagi-bagi kursi dalam kabinet” untuk partai politik dalam koalisi dan relawan. Melainkan pemerataan posisi kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI.
Bagaimana pemerataan kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI itu? Begini. Misalnya kantor kementerian perdagangan dan industri di provinsi Banten, kantor kementerian luar negeri di DKI Jakarta, kantor kementerian pertanian di Jawa Barat, kantor kementerian pendidikan di provinsi Yogyakarta, kantor kementerian kesehatan di Jawa Tengah, kantor kementerian kelautan dan perikanan di provinsi Jawa Timur, kantor kementerian pariwisata dan budaya di provinsi Bali, kantor kementerian dalam negeri di provinsi Kalimantan Tengah, kantor kementerian pertambangan dan energi di provinsi Kalimantan Timur, kantor kementerian perhubungan di provinsi Sulawesi Selatan, kantor kementerian peternakan di provinsi Nusa Tenggara Timur, dan seterusnya.
Dengan adanya pemerataan posisi kantor kementerian di seluruh provinsi NKRI, tidaklah mustahil akan terjadi pemerataan selain ekonomi dan pembangunan, yaitu pemerataan penduduk (demografi), pendidikan (berdasarkan bidang atau kekhususan), transportasi, dan lain-lain. Segala urusan yang berkaitan dengan kementerian bersangkutan harus dilakukan secara merata di seluruh wilayah NKRI.
Apakah kemudian dampaknya menjadi “jangkauan jauh” bagi daerah-daerah tertentu? Ini mengenai pemerataan. Sekian puluh tahun, khususnya sejak masa kolonial Belanda, pemusatan terjadi di Batavia atau DKI Jakarta. Bagi penduduk pulau Jawa dan selatan pulau Sumatera, letak DKI Jakarta tidaklah jauh. Tetapi bagi penduduk di Sabang, Rote, Miangas, dan Papua paling timur, letak DKI Jakarta tidaklah dekat.
Soal pemerataan, yang juga bisa dikaitakan dengan jangkauan (jarak jangkau), adalah letak Ibukota NKRI. Pada 17 Juli 1957 Presiden R.I. ke-1, Ir. Soekarno berencana bahwa Ibukota Negara berada di Palangkaraya, Kalteng. Jarak jangkauan dari barat Sumatera, timur Papua, utara Sulawesi, dan selatan Timor pun bisa lebih “merata”.
Pemerataan posisi kantor kementerian dan keberadaan Ibukota NKRI tepat di tengah Nusantara merupakan upaya melengkapi ide pemerataan ekonomi dan pembangunan yang dicetuskan oleh Jokowi. Kalau ide pemerataan ekonomi dan pembangunan tidak dibarengi dengan pemerataan posisi kementerian di seluruh wilayah NKRI, pemusatan (konsentrasi) birokrasi tetap tertuju pada pulau Jawa. Bukankah pulau di NKRI tidak melulu Jawa dan bagian selatan Sulawesi?
Dan, kalaupun posisi kementerian berada secara merata di 34 provinsi, bukankah semua itu masih dalam wilayah NKRI? Jadi, apabila soal pemerataan hanya ekonomi dan pembangunan tanpa dibarengi pemerataan posisi kementerian (birokrasi), bagaimana bisa benar-benar merata rasa kesatuan-persatuan bangsa di NKRI ini?
*******
Sabana Karang, 2014
*) tulisan ini berasal dari obrolan dengan Wilson Therik di Kupang, NTT.
Sumber : http://ift.tt/1vcEB7V