Opini: Saya Gubernur Sumsel (Part 1), Memimpin ala Mahasiswa
Tidak tahu kenapa, ada kekuatan besar yang mendorong saya untuk menulis judul ini. Ada perasaan gelisah dalam 2 tahun kebelakang mengenai persoalan-persoalan sosial yang belum terjawab. Kegelisahan ini muncul ketika melihat peran dan posisi mahasiswa semakin tergerus dan kehilangan posisi tawar, isu kedaulatan pemuda yang hilang dari peredaran, bak seorang jendral perang yang sedang mengeruk kuburannya sendiri.
Dalam opini ini, maaf kalau saya tidak menuliskan dengan penggunaan tata bahasa ilmiah, tapi saya ingin berbagi kegelisahan tentang pandangan kampungan saya.
Pernah saya melihat 2 tahun kebelakang ada spanduk JAMNAS (Jambore Nasional) dengan tulisan “Pemuda adalah Tulang Punggung Negara” tapi pada praktiknya saya menilai ini hanyalah slogan formalistic, yang masih terasa tawar tatkala dihidangkan dihadapan publik.
Memasuki 2013 saya tidak tahu harus menumpahkan emosi kekesalan saya, saat penerapan peraturan UKT (Uang Kuliah Tunggal) merongrong kampus negeri, peraturan tipu-tipu yang mencekik urat leher mahasiswa baru, semakin memberi isyarat bahwa pemimpin negeri ini, tak lagi punya nyali untuk berpihak pada wong cilik, bak kata Ratna Sarumpaet “Sesungguhnya saat ini Indonesia sudah tak memiliki apa-apa kecuali bendera”
Ada sesuatu hal yang menarik jika kita mau mendalami sudut pandang mahasiswa dalam konteks pembangunan, bukan tidak mungkin benturan dan perbedaan pandangan akan terjadi, jika sudut pandang pembangunan diambil alih oleh mahasiswa.
Namun demikian, dilapangan menunjukan. Mahasiswa jarang dilibatkan untuk dikatakan tidak sama sekali, bahwa dalam konteks pembangunan tidak ada keberadaan dan keterlibatan mahasiswa didalamnya, wacana pembangunan terkesan hanya milik pemerintah. Dari sini, kemudian saya ingin mengatakan, bahwa harus ada gagasan segar mahasiswa, untuk turut sumbangsih dalam memberikan pandangan. Terkait agenda strategis pembangunan fakta membuktikan, mahasiswa adalah kaum intelektual yang berada diporos tengah, yang seharusnya dijadikan jembatan antara penguasa dan rakyat, antara pemimpin dan yang dipimpin.
2 entitas antara pemerintah dan rakyat memiliki garis tengah sebagai penyeimbang dan penyambung lidah rakyat yang berada diluar legislatif, tidak lain adalah Mahasiswa.
Jika Saya Gubernur Sumsel, maka yang pertama kali hal mendasar yang saya lakukan adalah, mengumpulkan mahasiswa dari lintas kampus, lintas organisasi dan lintas generasi. Setiap 3 bulan sekali diluar aktivitas agenda keprotokoleran, Saya sediakan karpet merah khusus untuk mendengar masukan-masukan kritis, sambil menggali hidangan segar dari semangat kritis dan progresif Mahasiswa. Sembari menceritakan persoalan-persoalan lokal yang dihadapi Sumsel atau Disorientasi antara Pusat dan Daerah, sambil sesekali tertawa dan bergurau, untuk mendukung penuh Gerakan Mahasiswa melakukan Reformasi Jilid II.
Hal sederhana, sebetulnya memang bukan pekerjaan gubernur tapi tidak berarti itu tidak bisa dilakukan. Kedua Saya sebagai Gubernur Sumsel akan mengundang dan mengumpulkan seluruh Kepala Sekolah, Rektor dan Lembaga terkait, untuk mendengar dan menanyakan persoalan akar rumput pendidikan dari tingkat SD sampai pada Perguruan Tinggi, saya juga tidak akan lupa menanyakan sejauh mana realisasi program sekolah gratis dalam memberikan dampak yang signifikan ditingkat akar rumput.
Guru-guru harus dikuliahkan, gaji guru ditingkatkan. Kalo saya memimpin, tenaga pemerintah secara kelembagaan, tidak hanya saya habiskan untuk ngurusin event-event internasional. SEA GAMES yang awal katanya tidak akan menggunakan anggaran daerah, akhirnya harus menyedot dana APBD 324,9 miliar. ISG yang hanya bisa paling banyak menghadirkan 1000 orang disumsel tapi menelan angka puluhan miliar. Sementara, Dana pemilu untuk KPU dan BAWASLU tahun 2013 menelan angka fantastis diatas 400 miliar.
Sudah barang tentu jika saya yang gubernur, saya pangkas anggaran yang dirasa kurang penting, saya alihkan alokasi tersebut, untuk menghidupkan peran pembangunan mental melalui penguatan peran agama, pada setiap Masjid, Gereja, Vihara. Kemudian saya juga alokasikan untuk menghidupkan kembali peran ikatan remaja Masjid (IRMA) disetiap Masjid dan pelosok Daerah.
Saya pastikan bahwa setiap perguruan tinggi seluruh mahasiswanya pada semester tertentu ada mata kuliah wajib berorganisasi, agar produk yang lahir dari perguruan tinggi, tidak seperti robot kaku yang cuma dijejali tumpukan teori, lalu dijadikan bantalan senjata pembenaran ilmiah, supaya nampak dianggap dan mendapatkan klaim sebagai manusia professional. Tapi mereka yang berkecerdasan sosial, agar tidak seperti apa yang pernah dikatakan Iwan Piliang (Citizen Reporter), “Tidak seperti hari ini, anak‐anak dikotakkan dalam homogenitas strata sosial, nilai pelajaran, yang menjadikan siswa asosial, alias bengak kecerdasan sosialnya”
Tentunya saya yang Gubernur saya juga yang pastikan bahwa tidak akan ada politik anggaran dalam pelaksanaan kerja pemerintah. Yang penting, fokus kerja pemerintahan tidak boleh hanya tersedot untuk sebatas jadi “Event Organizing” yang nampak tampilan internasional saja atau agenda-agenda neolib lain yang hanya menang secara pencitraan. Saya akan merelakan untuk dipandang sederhana, apa adanya tanpa takut dibilang “CUPU” oleh gubernur provinsi lain. (bersambung)
M. Haekal Al-Haffafah, Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI Cabang Palembang
Sumber : http://ift.tt/VlkFQR