Suara Warga

300 Meter dan Tak Ada Pemilu?

Artikel terkait : 300 Meter dan Tak Ada Pemilu?

Nampaknya Pemilu Presiden lalu memang belum benar-benar berakhir. Sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang masih berjalan hingga hari ini menunjukkan sungguh pilpres belum benar-benar usai. Jika mau jujur, angka yang diperoleh kandidat yang telah terlanjur dimaklumatkan sebagai pemenang pilpres belum final.

Adalah Novela, seorang anak kandung bangsa asal Kampung Awaputu, Kabupaten Paniai, Papua. Novela menunjukkan kesejatiannya menjadi seorang warga negara Indonesia. Ia dengan luar biasa menjadi saksi dari kubu Prabowo-Hatta untuk mempertahankan kebenaran atas pelaksanaan pilpres lalu. Apa yang membuat seorang Novela luar biasa.

Tak ada pemilu. Ya, tak ada pemilu di daerah asal Novela di ujung timur Indonesia sana. Tidak ada kotak suara, petugas panitia pemungutan suara, apalagi jari yang tercelup tinta sebagai bukti telah menunaikan hak memilih. Nihil. Semua itu diungkapkan secara tegas oleh wanita pemberani tersebut. Di hadapan Ketua Hakim Majelis Konstitusi Hamdan Zoelva, Novela dengan tegas menyatakan di daerah tempat tinggalnya tidak ada sama sekali pelaksanaan pemilu presiden lalu. Dirinya dan semua masyarakat di sekitar daerah tempat tinggalnya otomatis golput. Hal ini tentu saja menjadi pertanyaan besar atas klaim angka yang telah dianggap valid oleh KPU terutama untuk daerah Papua.

Mungkin kita bisa saja menganggap remeh hal ini. Abaikan saja toh mungkin logistik pemilu tak sampai hingga daerah pelosok tempat Novela tinggal. Tapi, akankah benar kita abaikan? Tunggu dulu.

Jika kita menganggap ketiadaan pemilu di Kampung Awaputu, Kabupaten Paniai, Papua adalah karena terpelosoknya daerah tersebut, sungguh hal itu bukanlah alasan yang tepat. Novela sebagai saksi dari kubu Prabowo-Hatta menyatakan bahwa jarak antara daerahnya dengan TPS yang seharusnya ada adalah 300 meter. Ya, 300 meter dan tidak ada pemilu. Tidak ada surat suara, kotak suara, terlebih panitia pemungutan suara.

Jarak 300 meter sejatinya bukanlah jarak yang jauh untuk pengadaan pemilu di daerah tersebut. Pertanyaannya justru kita kembalikan pada KPU Daerah setempat. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah ini karena keteledoran teknis, personal, atau malah kesengajaan? Sebagai masyarakat boleh saja berasumsi meski realitanya tetap harus berdasar fakta lapangan. Namun kekurangan ini menjadi tamparan bagi KPU jika saja hal ini dianggap angin lalu.

KPU yang telah dianggap lembaga penyelenggara pemilu yang kredibel semestinya membuka mata dan telinga bahwa dirinya tak luput dari kesalahan. Lebih lanjut lagi, adalah penyikapan terhadap kesalahan yang mungkin masih ada atau malah banyak daerah yang diabaikan di luar sana. Jika KPU masih ingin mendapatkan kepercayaan masyarakat, tak semestinya menjadi pihak yang mencibir pihak yang memperkarakan hasil pemilu.

Pun sama halnya dengan MK. Sebagai lembaga pemutus perselisihan hasil pemilu yang berdiri di tengah masyarakat negara ini, MK mesti berimbang dalam menilai dan memutus perkara. Perkara pemilu bukan semata soal menang kalah maupun euforianya. Pemilu adalah soal amanat rakyat dan itu semestinya tuntas dipahami para elit di MK sana. Tidak bermaksud menyudutkan MK, justru sebagai bagian dari masyarakat mendorong MK agar jernih dalam kinerjanya sekarang dan ke depan adalah tugan bersama.

Novela mungkin satu dari sekian ratus atau ribu bahkan juta masyarakat yang berani memperjuangkan kebenaran pemilu presiden yang telah berjalan lalu. Sungguh naif jika alasan jarak atau wilayah yang jauh pelosok dan sebagainya menjadi alasan ketiadaan pemilu lalu. Maka sebagai masyarakat yang bijak, belum semestinya kita terjebak pada huru hara kemenangan salah satu kandidat. Mungkin nampak sulit, tapi kebenaran akan terungkap dan kita mesti siap dengan apapun hasil yang benar tersebut.




Sumber : http://ift.tt/Y6VcMO

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz