Suara Warga

Menunggu Pembuktian Ucapan Prabowo

Artikel terkait : Menunggu Pembuktian Ucapan Prabowo

Proses upaya hukum yang dilakukan pihak Capres Prabowo dan Cawapres Hatta Rajasa untuk menggugat Komisi Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi di Pilpres 2014 kali ini, sungguh merupakan proses yang banyak ditunggu orang untuk menemukan jawab: benarkah tudingan-tudingan yang diungkapkan Prabowo dengan gamblang, tajam dan menusuk di depan segenap Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan tentunya didengar rakyat itu — secara hukum adalah benar? Bisakah tim Prabowo membuktikannya?

Marilah kita sama-sama menyimak jalannya proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan kubu Prabowo-Hatta ini dengan seksama. Karena secara hukum hanya proses inilah yang dimungkinkan untuk penyelesaian perselisihan pilpres, sesuai konstitusi yang berlaku di negeri ini. Bukan nantinya diselesaikan di parlemen, apalagi malah ditentukan di jalanan. Indonesia adalah negara demokrasi…

Untuk mencermati prosesnya, pertama-tama tentunya kita harus mengilas-balik terlebih dulu catatan ucapan-ucapan Prabowo, waktu menarik diri dari Proses Pilpres pada 22 Juli 2014 dalam pidatonya di markas Koalisi Merah Putih di Polonia. Juga tentunya saat Prabowo berorasi panjang lebar di sidang perdana PHPU di Mahkamah Konstitusi pada 6 Agustus 2014.

Lebih dahulu, inilah penyataan Prabowo di markas Koalisi Merah Putih di Polonia pada saat rekapitulasi penghitungan suara tinggal menyisakan 4 provinsi lagi dari 33 provinsi pada 22 Juli 2014 lalu:

“Saksi-saksi kami dari belasan provinsi, telah melaporkan kecurangan luar biasa,” ungkap Prabowo, dalam pidato yang disiarkan langsung oleh segenap televisi di Tanah Air, “Dari Papua saja, ada 14 kabupaten yang tidak pernah melaksanakan pencoblosan apapun..,” kata Prabowo.

“Di DKI terdapat 5800 TPS yang oleh Bawaslu sudah direkomendasikan untuk pemungutan ulang, tidak digubris oleh KPU. Demikian pula di Jawa Timur enam kabupaten direkomendasikan…,”

“Dengan demikian, kami Capres-Cawapres nomor satu Prabowo Subianto-Hatta mengambil sikap sebagai berikut,” katanya, “Pernyataan sikap Capres-Cawapres nomor satu (pendukung-pendukung di belakang Prabowo pun seketika semuanya berdiri) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, tentang proses rekapitulasi Pemilu Presiden 2014,”

“Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air. Izinkan saya untuk menyatakan apa yang telah menjadi hasil rapat Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta terhadap pelaksanaan Pemilu Presiden tahun 2014. Mencermati proses pelaksanaan Pilpres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum. Kami menemukan beberapa hal yang memperlihatkan cacatnya proses Pilpres 2014, sehingga hilang hak-hak demokrasi warga negara Indonesia,”

“Antara lain (1) proses pilpres yang diselenggarakan oleh KPU bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai pelaksana KPU tidak adil, dan tidak terbuka. Banyak aturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU. (2) Rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhadap segala kelalaian dan penyimpangan di lapangan, di berbagai wilayah Tanah Air diabaikan oleh KPU. (3) Ditemukannya sejumlah tindak pidana kecurangan pemilu dengan melibatkan pihak penyelenggara pemilu dan pihak asing dengan tujuan tertentu, hingga pemilu menjadi tidak jujur dan tidak adil. (4) KPU selalu mengalihkan masalah ke Mahkamah Konstitusi, seolah-olah setiap keberatan dari tim Prabowo-Hatta merupakan bagian dari sengketa yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, padahal sumber masalahnya ada pada internal KPU. (5) Telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistematik pada pelaksanaan Pemilu tahun 2014. Atas beberapa pertimbangan tersebut di atas, maka kami Capres dan Cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pengemban mandat suara dari rakyat, sesuai Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 akan menggunakan Hak Konstitusional kami yaitu, menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum. Dan dengan demikian, kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung. Kami tidak bersedia mengorbankan mandat yang telah diberikan oleh rakyat, dipermainkan dan diselewengkan,” katanya.

“Kami Prabowo-Hatta siap menang dan siap kalah dengan cara yang demokratis dan terhormat. Untuk itu, kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memilih kami, kami minta untuk tetap tenang. Karena yakinlah, kami tidak akan diam hak demokrasi kami dicederai dan dirampas. Dengan demikian kami menginstruksikan kepada saksi-saksi Prabowo-Hatta yang sedang mengikuti rekapitulasi di KPU untuk tidak lagi melanjutkan proses tersebut. Jakarta tanggal 22 Juli tahun 2014, atas nama pasangan Capres-Cawapres nomor urut 1 … Prabowo Subianto.

Mahkamah Konstitusi

Soal “kecurangan yang terstruktur, terencana, sistematis dan masif” juga diulang kembali diungkapkan oleh Prabowo Subianto, saat berpidato di awal sidang perdana gugatan Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi pada 6 Agustus 2014.

“Saya tidak akan ulangi semua proses yang sudah disampaikan oleh Kuasa Hukum saya. Tetapi bayangkan, di ratusan TPS, kami pasangan yang didukung oleh tujuh partai besar, 62 persen dalam pemilihan legislatif dapat 0 (suara), atau seratus persen dimenangkan oleh salah satu pihak. Ini hanya terjadi di negara totaliter. Di Korea Utara. Bahkan saya ralat Majelis yang terhormat, yang saya muliakan saya ralat. Di Korea Utara pun tidak terjadi. Mereka bikin 97,8 persen. Atau 99 persen. Di kita, ada yang seratus persen! Ini luar biasa… Ini hanya terjadi di negara totaliter, fascis atau komunis. Di negara yang normal, tidak mungkin. Karena kita ada saksi. Masa, saksinya tidak dihitung?” kata Prabowo dalam pidatonya di depan majelis hakim di MK, hari Rabu (6/8) petang itu.

“Saya tidak akan mengulangi, karena itu nanti ada prosesnya. Kami sebetulnya diberi nasehat. Percuma Anda ke Mahkamah Konstitusi. Tetapi, kami hormati sistem yang telah kami bangun. Di belakang saya adalah tokoh-tokoh reformasi. Pejuang-pejuang demokrasi. Di tahun ’66 mereka berjuang untuk demokrasi. Di tahun ’98 mereka berjuang untuk demokrasi. Saya dituduh mau kudeta, saya dituduh calon diktator. Waktu saya memimpin 33 batalion tempur dan saya dituduh mau kudeta, saya tidak melakukan. Di hadapan rakyat Indonesia, di hadapan sejarah saya buktikan komitmen saya kepada demokrasi. Saya tunduk pada Undang-undang Dasar…,”

“Saya ikut pemilihan umum sudah tiga kali. Saya membangun partai dari nol. Saya dateng dari bawah, desa ke desa, kecamatan ke kecamatan. Dan sekarang saya dihadapkan pada ‘pemerkosaan’ terhadap hak-hak demokrasi,” kata Prabowo.

“Saudara-saudara Majelis Hakim yang saya muliakan. Seluruh bangsa akan berharap suatu keadilan. Katakanlah yang benar, benar. Dan yang salah, salah. Kami tidak mau berkuasa di atas ketidak-benaran. Kami tidak mau menerima mandat di atas kecurangan. Tetapi sangat sulit bagi kami untuk mengakui suatu rangkaian kecurangan yang demikian terstruktur, terencana dan masif. Apalagi ada upaya pembongkaran kotak suara. Saya juga tidak akan terlalu menguraikan. Tetapi ketua-ketua partai kami di daerah di kabupaten rumahnya dibakar. Ketua partai kami di Kalimantan Barat, dikroyok oleh pemuda-pemuda. Di rumah saksi kami di Banyuwangi rumahnya dibakar…,”

“Majelis Hakim yang kami hormati… (diinterupsi Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva: Pak Prabowo, bisa dipersingkat). Iya, saya sudah mau selesaikan. Tetapi karena ini adalah sesuatu yang sangat mendasar, kami terpaksa kami menyampaikan hal-hal ini. Kami percaya kepada Majelis Hakim Konstitusi. Kami mohon keadilan, demi bangsa, negara dan rakyat Indonesia, dan demokrasi yang telah kita sepakati. Karena, kalau keadilan tidak bisa kita dapat, kami sangat, sangat kuatir akan masa depan demokrasi. Masa depan bangsa Indonesia. Kalau rakyat tidak percaya lagi kepada sistem yang dibangun, kemana lagi mereka berharap keadilan,” kata Prabowo.

“Verba volant, scripta manent”

Pidato dan pidato, bisa tidak sama, tergantung dimana pidato itu diucapkan. Pidato di depan panggung kampanye? Wah, bolehlah berbusa-busa. Bahkan “nggedubus” tanpa bukti pun sering terjadi. Namanya juga kampanye. Karena forum kampanye bukanlah forum hukum yang mutlak menuntut “kata-kata berbukti” seperti halnya di forum pengadilan. Sementara di pengadilan? Kata-kata di depan majelis hakim bisa menjadi tidak berarti, jika tanpa bukti tertulis, atau didukung fakta yang mantap dan akurat.

Pidato di depan Mahkamah Konstitusi? Sebagai forum tertinggi untuk penyelesaian secara hukum bagi setiap perselisihan pemilu, maka pidato bukanlah sekadar pidato. Pidato harus penuh isi yang berbukti. Kalau tidak? Maka akan berlaku dalil seperti yang pernah diungkapkan Caius Titus, seorang senator pada tahun pertama Masehi di depan senat Romawi: “Verba volant, scripta manent…,”

Bahwa menurut peribahasa Caius Titus itu, “kata-kata akan terbang jauh, sedangkan tulisan akan menetap,”. Yang kurang lebih maknanya adalah, bahwa dalam hal urusan-urusan publik “kata-kata yang diucapkan akan dengan mudah menguap dan dilupakan orang, akan tetapi dokumen tertulis dan fakta akan lebih bisa meyakinkan,”. Hukum pun memberlakukan dalil “verba volant” itu. Bahwa fakta dan bukti, itu lebih penting ketimbang kata-kata yang dramatis sekalipun.

Setidaknya, sudah ada satu pernyataan Prabowo di depan Mahkamah yang terbantahkan. Yakni pernyataan Prabowo tentang adanya pembakaran rumah saksi Capres-Cawapres nomor urutan 1 di Banyuwangi. “Tidak ada pembakaran, tetapi pelemparan batu,” itu sanggahan dari Sekretaris DPC Partai Gerindra Banyuwangi , Sapuan, kepada wartawan di Banyuwangi. (Tempo.co, Rabu 6 Agustus 2014).

Menurut Sapuan, tim Prabowo di Banyuwangi hanya melaporkan dugaan pelemparan batu di rumah Syamsuri yang dijadikan posko Prabowo-Hatta di kecamatan Cluring pada Senin 30 Juli 2014. Dan hal itu sudah dilaporkan ke kepolisian setempat.

Tentang “Pemilu di Korut” yang digelar pada 9 Maret 2014 silam, seperti dicontohkan Prabowo? “Pemilu Korut” itu boleh dikatakan bukan sebuah pemilu akan tetapi semacam ajang sensus belaka, guna memantau benih-benih perlawanan rakyat. Karena toh kandidat pemilu pemimpin Korut itu hanya tunggal, Kim Jong-Un. Sudah barang tentu, hasil pilihan akan 100 persen untuk Jong Un. Lantaran tradisi Korut dalam hal kepemimpinan negeri, adalah melalui pewarisan kekuasaan. Sejak pemimpin tertinggi Kim Il Sung di tahun 60-an, kepemimpinan Korut kemudian mewaris ke Kim Jong Il, dan yang terakhir adalah ke Kim Jong-Un. (Kompas.com, 10 Maret 2014).

Sedangkan Indonesia? Sejak merdeka 1945 Republik ini tidak mengenal pewarisan kekuasaan seperti Korut. Dan bahkan, kali ini dua capres yang berpacu di Pilpres 2014 pun adalah dua capres yang sudah melalui tahapan-tahapan demokrasi. Selain dicalonkan oleh partai-partai pemenang Pemilu Legislatif, mereka berdua harus “merebut hati rakyat” dan bukan sekadar dimenangkan melalui proses hukum untuk bisa menjadi pemimpin negeri berpenduduk lebih dari 253 juta jiwa ini.

Maka, untuk mengatasi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) kali ini, sudah barang tentu, harus dibuktikan terlebih dulu kata-kata Prabowo di Mahkamah Konstitusi, bahwa Pilpres 2014 kali ini “penuh kecurangan yang terstruktur, masif dan sistematik”.

Terstruktur? Tentu tidak boleh terhenti pada sekadar kata-kata atau orasi. Apakah benar, kandidat presiden Jokowi yang didukung oleh “partai oposisi” yang sudah 10 tahun berada di luar struktur pemerintahan bisa menang Pilpres melalui kecurangan terstruktur? Apakah yang dimaksud “terstruktur” itu justru boleh termasuk pula, “pengarahan masyarakat melalui unsur Babinsa” seperti yang dikeluhkan salah satu pihak, terjadi di salah satu lokasi di Menteng, agar para pemilih memilih capres tertentu beberapa waktu lalu?

Bukti demi bukti yang meyakinkan masih ditunggu dari pihak Prabowo, yang sebagai patriot bangsa, tentunya tidak asal bicara. Apalagi ucapannya diungkapkan di depan sebuah forum terhormat, di Mahkamah Konstitusi yang memiliki otoritas tertinggi di negeri ini untuk menyelesaikan setiap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Semoga demikian… *




Sumber : http://ift.tt/1uE29iX

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz