Suara Warga

Mencari Pemimpin Punya Hati Seperti Soeharto

Artikel terkait : Mencari Pemimpin Punya Hati Seperti Soeharto

Pada Mei 1998, saya ikut turun ke jalan. Memimpin puluhan mahasiswa, dan meneriakkan tuntutan ; Soeharto mundur. Tuntutan itu terkabul, saya merasa perjuangan itu tak sia-sia. Soeharto dalam banyak hal memiliki andil besar dalam ‘menenggelamkan’ bangsa ini. Satu diantaranya adalah pembiaran yang ia lakukan pada kroninya untuk menguasai dunia bisnis. Ini membuat pergerakan ekonomi tidak adil, hanya berpihak pada mereka yang memiliki akses pada kekuasaan. Berpotensi besar pada korupsi. Memang pada akhirnya Soeharto ditumbangkan oleh hal tersebut; Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Sebagai guru sejarah, saya harus objektif. Sejarah itu study of value, wacana yang memberi kebijaksanaan. Sejarah tidak dihadirkan untuk masa lalu, tapi kebaikan manusia dikemudian hari. Maka mengajarkan sejarah tidak boleh memandang hanya dari satu aspek saja. Bagaimanapun Soeharto, adalah sosok besar dan turut membesarkan bangsa ini. Itu tak boleh dikecualikan dalam pembelajaran Sejarah. Bahkan semestinya begitu juga dengan mereka yang terlibat PKI dan organisasi lain yang pernah melakukan makar di negeri ini. Keberadaan mereka adalah bagian dari proses bangsa ini menjadi Indonesia.

Apabila kemudian mereka menyebabkan bangsa ini berada dalam keterpurukan, bukan berarti mereka tidak pernah berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Tidak mudah memang untuk bersikap objektif, namun demi kearifan dan masa depan itu harus dilakukan. Hanya melalui hal tersebut, karakter manusia tangguh dapat tercipta. Berani mengakui dan mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat. Tidak menutup-nutupi seolah-olah tidak ada. Sebab menutupi akan menyebabkan pembusukan. Pada akhirnya akan menyebabkan bau yang lebih tidak sedap lagi, dan bukan tidak mungkin akan terus menjadi preseden. Diulang dan diulang lagi, tak berfungsinya hikmat dan kearifan sejarah.

Belakangan, melalui poster Soehartoisme tampak menguat. Jenderal besar, terpampang tersenyum, dan seolah menanyakan kabar, tersirat dan tersurat ; ia mengatakan bahwa zamannya jauh lebih baik. Generasi yang pernah hidup di zaman orde baru, terpancing ingatannya pada masa lalu. Mencari berbagai indikator pembanding; perlahan mulai mengakui. Sederhana; korupsi tak tampak nyata seperti sekarang, keadaan pun jauh lebih nyaman, pemerintah memiliki tujuan jelas melalui repelita dan GBHN, dan pemerintah dan aparatnya masih memiliki kewibawaan. Itu yang kini tak tampak.

Ada banyak argumentasi sebagai pembenar atas kondisi yang kini dihadapi. Transparansi memang membuat semuanya tampak di depan mata. Dulu yang tak terlihat, kini dapat dilihat dengan jelas. Alasan ini ingin menunjukkan bahwa dulu pun, apa yang kini tampak sudah ada. Kewibawaan, dulu karena terdapat pemberangusan kebebasan, kini rakyat bisa melakukan apa saja. Dan masih banyak lagi. Namun ternyata semua itu tak cukup memberi pemahaman yang bisa dimengerti oleh logika sederhana pikiran rakyat. Semua argumen hanya menunjukkan, bahwa prilaku penguasa belum berubah. Reformasi mandeg pada tataran teoritis dan tatanan birokrasi.

Pada saat memoderatori Dr. Anhar Gonggong dalam sebuah seminar, saya sempat dibuat kaget dengan pernyataan beliau. Beliau mengatakan, “Soeharto itu masih punya hati”. Karena sedikit banyak saya tahu sepak terjang Dr. Anhar Gonggong pada saat reformasi. Dia termasuk tokoh yang memberi saya inspirasi untuk menuntut mundur Soeharto. Mendengar ia menyatakan demikian, agak ganjil bagi saya. Sudahkah beliau berubah?.

Beliau memaparkan penjelasannya, bahwa pemimpin-pemimpin kita sebelumnya, mengalami suksesi pada kondisi tidak normal. Soekarno, dilengserkan. Soeharto, dilengserkan. Gus Dur, dilengserkan. Namun mereka semua, ‘menerima’ pelengseran tersebut. Padahal di sisi yang lain sebenarnya mereka masih memilki kekuatan. Pada kasus Soeharto, masih banyak tentara yang setia dan masyarakat yang mendukungnya. Tetapi untuk mencegah perpecahan bangsa, Soeharto memilih mundur. Seperti pendahulunya. Kondisi ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Syria belakangan ini. Merujuk pada pendapat tersebut, saya pun setuju. Inilah ‘hati Soeharto’ yang ia maksud.

Keutuhan bangsa dan keberlangsungan Indonesia, ternyata masih menjadi kepentingan utama para penguasa di republik ini. Meski untuk itu perbuatan mereka tidak berbanding lurus. Terdorong oleh pernyataan Dr. Anhar Gonggong, saya pun mencoba mencari ‘perbuatan berhati’ lainnya dari Soeharto. Dan menemukan banyak fakta, beliau memang punya hati.

Soeharto menanamkan budaya pakewuh (sungkan), para birokrat merasa tidak nyaman untuk melakukan pelanggaran di depan masyarakat. Sehingga muncul istilah penyelesaian dibalik meja. Tak tampak, meski rahasia berlaku umum. Tetapi setidaknya ini adalah modal karakter, walau hipokrit. Bagi rakyat, tetap saja menyakitkan namun setidaknya tidak di ‘pahlawankan’. Ini berbeda dengan kondisi masa kini. Mereka yang tertangkap KPK, masih sanggup melambaikan tangan di depan media. Menjadi selebritas, dan memberi kesan tak ada yang salah dengan apa yang telah ia lakukan. Mereka tak lagi memiliki hati, dalam peribahasa inilah yang dinamakan ‘muka tembok’.

Saya sama sekali tidak menyesalkan Soeharto mundur, dan Indonesia memasuki babak baru; reformasi. Tetapi di sisi yang lain, saya juga tidak ingin mengeneralisir bahwa semua yang berbau orde baru itu buruk. Sejarah harus tetap ditampilkan sebagai wacana pencerahan, untuk itu harus disampaikan objektif. Baik, katakan baik, demikian juga jika buruk. Tak perlu ditutupi, karena hanya dengan demikian bangsa ini bisa belajar untuk memperoleh kearifan.@




Sumber : http://ift.tt/1niLlZ5

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz