Meluruskan Pernyataan Prabowo tentang Pilpres
Saya sangat menghormati Prabowo. Semua tulisan dan pernyataan saya di media tidak pernah menyerang apalagi merendahkan beliau, tetapi saya terpaksa harus mengemukakan pandangan dan kritikan saya kepada beliau.
Ada dua sikap dan pernyataan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI 2014 yang patut disesalkan. Pertama, menarik diri dalam proses pilpres dan tidak mengakui pilpres. Hal itu diucapkan pada 22 Juli 2014 menjelang pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan presiden (pilpres) oleh KPU.
Kedua, menganggap pilpres di Indonesia seperti di Negara totaliter, fasis, komunis, yang diucapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Agustus 2014.
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan saya sesalkan dan prihatin atas pernyataan Prabowo tersebut.
Pertama, karena melanggar UU. Seorang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden tidak boleh mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, kurang memberi contoh dan teladan. Kalau merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil dan tidak jujur dalam pilpres, maka mekanismenya bisa diajukan ke MK seperti yang sedang dilakukan sekarang. Bukan dengan menarik diri dan menganggap pilpres tidak sah.
Ketiga, kurang mempertimbangkan dampak sosiologis dari suatu pernyataan, apakah merusak persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya.
Keempat, kurang menghayati demokrasi. Dalam demokrasi pasti ada yang menang dan kalah. Kalau merasa dicurangi dalam pelaksanaan demokrasi seperti yang diungkapkan diatas, tempuhlah cara-cara yang diatur dalam mekanisme demokrasi.
Kelima, mudah menuduh dan menganggap benar sendiri. Dalam demokrasi, kebenaran tidak hanya dari kelompok sendiri, tetapi juga bisa dari pandangan pihak lain bahkan dari lawan politik. Dengan demikian, bisa bertindak lebih bijaksana, lebih arif dan kesatria.
Pilpres Seperti di Negara Totaliter
Saya meneliti dan menulis disertasi tentang demokrasi dan Islam di Kalangan Komunitas Miskin di Solo, sehingga saya merasa mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk meluruskan pernyataan Prabowo yang menganggap Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis.
Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) alasan untuk menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Pertama, penyelenggara pilpres adalah independen. Mereka dipilih secara ketat, selektif dan transparan oleh suatu tim pakar yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka, kredibel dan terpercaya. Hasil seleksi calon anggota KPU setelah melalui proses, Presiden kemudian meneruskan ke DPR RI untuk dipilih. Jadi penyelenggara pilpres tidak seperti di negara totaliter, fasis dan komunis yang ditunjuk dari rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, penyelenggara pilipres (KPU) diawasi oleh Bawaslu dan DKKP yang diketuai Jumly Asshidiqie. Selain itu, publik melalui para pakar dan media mengawasi pelaksanaan pilpres. Sistem seperti ini pasti tidak terdapat dalam negara totaliter, fasis dan komunis.
Ketiga, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Kalau Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka pasti Prabowo-Hatta, Jokowi-JK tidak bakal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Keempat, banyak partai politik. Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka Prabowo pasti tidak bisa mendirikan partai politik dan menjadi calon presiden republik Indonesia.
Kelima, rakyat bebas mewujudkan hak politiknya secara langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka tidak mungkin rakyat bebas memilih Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.
Oleh karena itu, pernyataan Prabowo Subianto dihadapan sidang MK bahwa pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis sama sekali tidak benar. Saya ikut melaksanakan hak pilih secara luber dan jurdil, dan menyaksikan penghitungan suara di TPS 021, 022 Kelurahan Cipete Selatan Cilandak Jakarta Selatan yang berdekatan, dan juga di TPS 023, semua berjalan normal, adil dan jujur, tidak seperti yang dituduhkan bahwa terjadi kecurangan TSM (terstruktur, Sistimatis dan Masif) dalam pilpres di 33 provinsi.
Pasti ada kelemahan, kekurangan dan mungkin kecurangan dalam pelaksanaan pilpres, tetapi saya tidak percaya kalau dikatakan telah terjadi kecurangan terstruktur, sistimatis dan masif dalam pilpres 9 Juli 2014. Pengawasan dalam pilpres berlapis-lapis, ada Bawaslu, DKKP, saksi kedua belah pihak, rakyat yang ikut menyaksikan, media, para pakar, pemantau dalam dan luar negeri, polisi dan TNI.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1nu5iMn
Ada dua sikap dan pernyataan Prabowo Subianto sebagai calon Presiden RI 2014 yang patut disesalkan. Pertama, menarik diri dalam proses pilpres dan tidak mengakui pilpres. Hal itu diucapkan pada 22 Juli 2014 menjelang pengumuman hasil rekapitulasi pemilihan presiden (pilpres) oleh KPU.
Kedua, menganggap pilpres di Indonesia seperti di Negara totaliter, fasis, komunis, yang diucapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Agustus 2014.
Setidaknya terdapat 5 (lima) alasan saya sesalkan dan prihatin atas pernyataan Prabowo tersebut.
Pertama, karena melanggar UU. Seorang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden tidak boleh mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Kedua, kurang memberi contoh dan teladan. Kalau merasa dicurangi, diperlakukan tidak adil dan tidak jujur dalam pilpres, maka mekanismenya bisa diajukan ke MK seperti yang sedang dilakukan sekarang. Bukan dengan menarik diri dan menganggap pilpres tidak sah.
Ketiga, kurang mempertimbangkan dampak sosiologis dari suatu pernyataan, apakah merusak persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya.
Keempat, kurang menghayati demokrasi. Dalam demokrasi pasti ada yang menang dan kalah. Kalau merasa dicurangi dalam pelaksanaan demokrasi seperti yang diungkapkan diatas, tempuhlah cara-cara yang diatur dalam mekanisme demokrasi.
Kelima, mudah menuduh dan menganggap benar sendiri. Dalam demokrasi, kebenaran tidak hanya dari kelompok sendiri, tetapi juga bisa dari pandangan pihak lain bahkan dari lawan politik. Dengan demikian, bisa bertindak lebih bijaksana, lebih arif dan kesatria.
Pilpres Seperti di Negara Totaliter
Saya meneliti dan menulis disertasi tentang demokrasi dan Islam di Kalangan Komunitas Miskin di Solo, sehingga saya merasa mempunyai kapasitas dan kapabilitas untuk meluruskan pernyataan Prabowo yang menganggap Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis.
Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) alasan untuk menegaskan bahwa pernyataan tersebut tidak benar. Pertama, penyelenggara pilpres adalah independen. Mereka dipilih secara ketat, selektif dan transparan oleh suatu tim pakar yang terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka, kredibel dan terpercaya. Hasil seleksi calon anggota KPU setelah melalui proses, Presiden kemudian meneruskan ke DPR RI untuk dipilih. Jadi penyelenggara pilpres tidak seperti di negara totaliter, fasis dan komunis yang ditunjuk dari rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, penyelenggara pilipres (KPU) diawasi oleh Bawaslu dan DKKP yang diketuai Jumly Asshidiqie. Selain itu, publik melalui para pakar dan media mengawasi pelaksanaan pilpres. Sistem seperti ini pasti tidak terdapat dalam negara totaliter, fasis dan komunis.
Ketiga, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. Kalau Pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka pasti Prabowo-Hatta, Jokowi-JK tidak bakal menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.
Keempat, banyak partai politik. Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka Prabowo pasti tidak bisa mendirikan partai politik dan menjadi calon presiden republik Indonesia.
Kelima, rakyat bebas mewujudkan hak politiknya secara langsung umum bebas rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil). Kalau pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis, maka tidak mungkin rakyat bebas memilih Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK.
Oleh karena itu, pernyataan Prabowo Subianto dihadapan sidang MK bahwa pilpres di Indonesia seperti di negara totaliter, fasis dan komunis sama sekali tidak benar. Saya ikut melaksanakan hak pilih secara luber dan jurdil, dan menyaksikan penghitungan suara di TPS 021, 022 Kelurahan Cipete Selatan Cilandak Jakarta Selatan yang berdekatan, dan juga di TPS 023, semua berjalan normal, adil dan jujur, tidak seperti yang dituduhkan bahwa terjadi kecurangan TSM (terstruktur, Sistimatis dan Masif) dalam pilpres di 33 provinsi.
Pasti ada kelemahan, kekurangan dan mungkin kecurangan dalam pelaksanaan pilpres, tetapi saya tidak percaya kalau dikatakan telah terjadi kecurangan terstruktur, sistimatis dan masif dalam pilpres 9 Juli 2014. Pengawasan dalam pilpres berlapis-lapis, ada Bawaslu, DKKP, saksi kedua belah pihak, rakyat yang ikut menyaksikan, media, para pakar, pemantau dalam dan luar negeri, polisi dan TNI.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1nu5iMn