Suara Warga

KPU dan Panitia Lomba

Artikel terkait : KPU dan Panitia Lomba

Sebentar hari lagi Indonesia akan merayakan ulang tahunnya ke-69. Baik menjelang maupun setelah perayaan, biasanya, ada perlombaan-perlombaan. Perlombaan diadakan dari tingkat kecil, yaitu Rukun Tetangga (RT), daerah (kecamatan hingga kabupaten), dan nasional semacam Piala Kemerdekaan.

Perlombaan yang umumnya diadakan dalam rangka 17 Agustus itu misalnya panjat pinang, lari karung, makan kerupuk, dan lain-lain, termasuk pertandingan voli, basket, bulutangkis, sepakbola, dan lain-lain. Sebelumnya, informasi atau pengumuman sudah disebarluaskan, termasuk kriteria-kriterianya.

Dalam setiap perlombaan atau pertandingan, tentu saja ada panitianya, khususnya panitia seksi perlombaan atau pertandingan. Dan, tentu saja, ada peserta lomba atau tanding. Karena sebutannya “perayaan”, tentu saja, lebih berintikan kesenangan, baik kesenangan bagi panitia, peserta, maupun penonton.

Bagaimana dengan hasil lombanya? Ketika hasil lomba diumumkan disusul oleh pembagian hadiah, apakah kemudian para peserta menggugat sampai terjadi perselisihan mengenai mutu panitia lomba?

Kalau hasil perlombaan tidak memuaskan dan menggugat habis-habisan pada kinerja panitia lomba, apakah pantas dinamakan perayaan ulang tahun kemerdekaan?

Tapi yang paling mendasar, jika sebelum berlomba atau bertanding calon peserta sudah mengetahui seberapa kebermutuan panitia lomba, tentu saja calon peserta tidak akan mengikuti perlombaan atau pertandingan yang ditawarkan. Sangat tidak patut ketika sudah mengetahui mutu panitia tapi tetap mengikuti perlombaan lantas kemudian menggugat hasil perlombaan, bukan?

Lepas dari perayaan ulang tahun kemerdekaan, bagaimana pula dengan hajatan nasional bernama pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres)?

Pilpres, yang juga bagian dari Pemilihan Umum, merupakan sebuah pesta demokrasi tingkat nasional. entah siapa yang memulai istilah “pesta demokrasi” itu, tapi kemudian menjadi kesepakatan nasional.

Nah, berkaiotan dengan istilah “pesta demokrasi”, apakah sebuah pesta diadakan untuk ajang permusuhan, pengancaman (intimidasi), dan seterusnya?

Seperti halnya lomba 17-an, apabila calon peserta sudah mengetahui mutu kinerja pantia pemilihan umum (Komisi Pemilihan Umum alias KPU) lalu tetap mengikuti ajang pilpres sampai pencoblosan, tetapi kemudian menggugat hasil perhitungan jumlah coblosan sambil mengatakan bahwa KPU tidak bermutu atau curang, lantas kenapa pula nekat mendaftarkan diri menjadi peserta pilpres?

Dan, wajib dipahami, bahwa pilpres bukanlah lomba makan kerupuk atau balap karung di lingkungan rumah. Pilpres adalah sebuah hajatan serius! KPU dibentuk bukanlah untuk menjadi panitia semacam lomba 17-an di lingkungan rumah apalagi mengadakan ini-itu seolah pilpres adalah panggung yang menggabungkan drama dan lawak!

Sayangnya, sebagian orang Indonesia, bahkan yang sudah kakek-kakek dan bergelar profesor, masih saja tidak menyadari istilah “perayaan”, “pesta demokrasi”, “kemerdekaan”, dan “pilpres”, sehingga yang terjadi adalah permusuhan antarsesama orang Indonesia. Republik macam apa ini, kok warga negaranya selalu berpikir mundur?

*******

Sabana Karang, 2014




Sumber : http://ift.tt/1nXtEOM

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz