Kalau SBY Cari Aman, Jokowi Yang Hancur-Hancuran
KELANGKAAN BBM yang diawali dengan pengurangan BBM bersubsidi pada 1 Agustus 2014 di wilayah DKI, telah merambah ke berbagai daerah. Kelangkaan BBM menimbulkan keresahan dan kepanikan masyarakat. Tidak heran, antrean berbagai kendaraan di SPBU, aksi protes dengan melakukan sandera terhadap truk BBM Pertamina adalah contoh dampak kepanikan dari kelangkaan BBM tersebut.
Menyikapi situasi ini, sebagaimana diberitakan di harian Kompas, Rabu 27 Agustus 2014, berbagai kalangan meminta agar Presien SBY mengambil langkah mengatasi krisis ini dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. Pilihan menaikkan harga BBM ini, masih menurut para kalangan tersebut didukung oleh berbagai kalangan masyarakat. Namun demikian, Pemerintah melalui Menteri ESDM, Jero Wacik menampik kelangkaan BBM ini. Jero Wacik sebagaimana dikutip dalam okezone.com mengatakan bahwa BBM tersedia. Hanya BBM bersubsidi yang dibatasi.
Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla dalam beberapa kesempatan yang dikutip oleh media mengatakan bahwa sebaiknya SBY segera mengambil keputusan untuk menaikkan BBM. Jika SBY tidak menaikkan harga BBM, maka antrean dan krisis BBM akan dikenang sebagai peninggalan SBY.
Keinginan Jusuf Kalla ini adalah sesuatu yang wajar. Jika SBY tidak menaikkan BBM, maka Jokowi-Jklah yang memikul tanggung jawab. Hal ini berimplikasi pada Jokowi-JK yang akan berhadapan dengan masyarakat yang telah berharap terlalu banyak kepada Presiden yang baru. Brand yang pro rakyat yang selama ini menjadi kekuatannya, akan luntur dan makin lama makin hilang.
Meskipun Jokowi-Jk menyatakan siap untuk menaikkan BBM dan siap untuk tidak populer dengan keputusan tersebut, namun Jokowi-JK berharap keputusan menaikkan BBM ada dalam pemerintahan yang sekarang. Di sisi yang lain, SBY mungkin tidak akan menaikkan harga BBM. SBY tidak ingin mengambil keputusan yang akan dicaci maki oleh masyarakat di akhir masa pemerintahannya. Apa yang disampaikan menteri ESDM bahwa BBM tidak langka kecuali BBM yang bersubsidi mengindikasikan hal tersebut.
Dengan demikian, kalau SBY mencari aman dengan tidak melakukan apapun terkait persoalan BBM ini, maka Jokowi yang akan hancur-hancuran di hadapan masyarakat. Masyarakat yang pro Prabwo tentu akan mengolok langkah yang dilakukan oleh Jokowi. Persoalan menjadi lebih pelik ketika melihat RAPBN 2015.
SBY pada tanggal 15 Agustus 2014 dalam rapat paripurna dengan DPR menyatakan bahwa RAPBN 2015 hanya mengalokasikan anggaran yang bersifat mendasar yaitu untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Rancangan anggaran belanja sebesar 2.020 triliun penuh dengan anggaran yang bersifat rutin dan mengikat serta program-program yang lama (Kompas, 27 Agustus 2014)
Dengan situasi yang demikian, tampaknya Jokowi akan tersandera dan tidak bisa dengan leluasa melakukan visi misi yang dijanjikannya. Apalagi ketika berbicara tentang ekonomi kerakyatan, akan
banyak nada sumbang dan minor yang muncul ke permukaan terlebih lagi dari kubu sebelah. Ketika saya menuliskan secara obyektif kondisi dan realita yang ada (pihak asing galau dengan ekonomi kerakyatan Jokowi) dan mempertanyakan beberapa poin dalam tulisan tersebut, beberapa rekan kompasianer memberikan komentar yang kebanyakan negatif dan menunjukkan ketidaksukaannya pada Jokowi.
Suka atau tidak suka Jokowi adalah Presiden terpilih dan ketika program-programnya adalah baik dan untuk kesejahteraan rakyat, tentu tugas dan tanggung jawab kita untuk ambil bagian di dalamnya. Jika ada program yang tidak berpihak pada rakyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, ada mekanisme yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan kritik-kritik yang membangun.
Sumber : http://ift.tt/1ASWj0H
Menyikapi situasi ini, sebagaimana diberitakan di harian Kompas, Rabu 27 Agustus 2014, berbagai kalangan meminta agar Presien SBY mengambil langkah mengatasi krisis ini dengan menaikkan harga bahan bakar minyak. Pilihan menaikkan harga BBM ini, masih menurut para kalangan tersebut didukung oleh berbagai kalangan masyarakat. Namun demikian, Pemerintah melalui Menteri ESDM, Jero Wacik menampik kelangkaan BBM ini. Jero Wacik sebagaimana dikutip dalam okezone.com mengatakan bahwa BBM tersedia. Hanya BBM bersubsidi yang dibatasi.
Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla dalam beberapa kesempatan yang dikutip oleh media mengatakan bahwa sebaiknya SBY segera mengambil keputusan untuk menaikkan BBM. Jika SBY tidak menaikkan harga BBM, maka antrean dan krisis BBM akan dikenang sebagai peninggalan SBY.
Keinginan Jusuf Kalla ini adalah sesuatu yang wajar. Jika SBY tidak menaikkan BBM, maka Jokowi-Jklah yang memikul tanggung jawab. Hal ini berimplikasi pada Jokowi-JK yang akan berhadapan dengan masyarakat yang telah berharap terlalu banyak kepada Presiden yang baru. Brand yang pro rakyat yang selama ini menjadi kekuatannya, akan luntur dan makin lama makin hilang.
Meskipun Jokowi-Jk menyatakan siap untuk menaikkan BBM dan siap untuk tidak populer dengan keputusan tersebut, namun Jokowi-JK berharap keputusan menaikkan BBM ada dalam pemerintahan yang sekarang. Di sisi yang lain, SBY mungkin tidak akan menaikkan harga BBM. SBY tidak ingin mengambil keputusan yang akan dicaci maki oleh masyarakat di akhir masa pemerintahannya. Apa yang disampaikan menteri ESDM bahwa BBM tidak langka kecuali BBM yang bersubsidi mengindikasikan hal tersebut.
Dengan demikian, kalau SBY mencari aman dengan tidak melakukan apapun terkait persoalan BBM ini, maka Jokowi yang akan hancur-hancuran di hadapan masyarakat. Masyarakat yang pro Prabwo tentu akan mengolok langkah yang dilakukan oleh Jokowi. Persoalan menjadi lebih pelik ketika melihat RAPBN 2015.
SBY pada tanggal 15 Agustus 2014 dalam rapat paripurna dengan DPR menyatakan bahwa RAPBN 2015 hanya mengalokasikan anggaran yang bersifat mendasar yaitu untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Rancangan anggaran belanja sebesar 2.020 triliun penuh dengan anggaran yang bersifat rutin dan mengikat serta program-program yang lama (Kompas, 27 Agustus 2014)
Dengan situasi yang demikian, tampaknya Jokowi akan tersandera dan tidak bisa dengan leluasa melakukan visi misi yang dijanjikannya. Apalagi ketika berbicara tentang ekonomi kerakyatan, akan
banyak nada sumbang dan minor yang muncul ke permukaan terlebih lagi dari kubu sebelah. Ketika saya menuliskan secara obyektif kondisi dan realita yang ada (pihak asing galau dengan ekonomi kerakyatan Jokowi) dan mempertanyakan beberapa poin dalam tulisan tersebut, beberapa rekan kompasianer memberikan komentar yang kebanyakan negatif dan menunjukkan ketidaksukaannya pada Jokowi.
Suka atau tidak suka Jokowi adalah Presiden terpilih dan ketika program-programnya adalah baik dan untuk kesejahteraan rakyat, tentu tugas dan tanggung jawab kita untuk ambil bagian di dalamnya. Jika ada program yang tidak berpihak pada rakyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, ada mekanisme yang bisa dimanfaatkan untuk memberikan kritik-kritik yang membangun.
Sumber : http://ift.tt/1ASWj0H