Jangan Beri Tempat di Kabinet Bagi Pengkhianat!
Belajar dari Kabinet SBY, Jokowi-JK, Jangan Beri Tempat Bagi Pengkhianat!
Wakil Presiden terpilih, Jusuf Kalla (JK) mengklaim masih sejalan dengan konsep Joko Widodo (Jokowi) terkait opsi kabinet. Alternatif yang akan diterapkan pada komposisi kementerian pada pemerintahan 2014-2019 pun sudah dibicarakan bersama. Dia mengatakan, opsi perampingan kabinet hanya usulan dari tim transisi. Bukan keputusan yang diambil Jokowi-JK. Alasannya, baik JK mau pun Jokowi, sama-sama tidak menginginkan arsitektur kabinet ramping pada periode mendatang. “Jokowi juga tidak bicara kalau kabinet kita akan ramping. Saya sudah komunikasikan semuanya dengan Jokowi,” kata JK usai berkantor di PMI, Selasa (26/8).
Dia membantah isu yang mengarah pada perpecahan kubu Jokowi-JK terkait kebijakan kabinet. Semua pihak yang terlibat dalam proses prapemerintahan pun masih solid. Bahkan, dua hari sekali, JK berkoordinasi dengan Jokowi. “Yang benar saja? Masa kami tidak kompak. Semalam saya baru saja bertemu dengan Jokowi. Namun itu internal, tidak semua dipublikasikan,” ujar dia.
Ia menuturkan, komposisi 34 kementerian tergolong ideal dengan kondisi demografis dan geografis Indonesia. Jumlah tersebut juga memadai dengan komposisi jatah kursi menteri. Hanya, ia enggan terbuka terkait hal tersebut. Menurut dia, masih terlalu dini untuk membahas jatah kursi menteri. Berapa banyak pembantu presiden pada masa pemerintahannya nanti juga masih belum dibicarakan lebih lanjut. Termasuk bersama Jokowi dan parpol pendukungnya. “Sabar saja dulu kalau soal itu. Kami belum melakukan pembicaraan. Sabar,” kata dia.
Sebelumnya tim transisi menwarkan sejumlah opsi kabinet yang akan ditawarkan ke Jokowi-JK. Antara lain, merampingkan kementerian dengan hanya menyisakan sebanyak 27 kementerian dan satu wakil menteri luar negeri.
Siapa Tim Transisi, Anda bisa menelusuri mereka dari rekam jejaknya, Lima anggota tim transisi Joko Widodo dan Jusuf Kalla, mulai Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Hasto Kristiyanto, Akbar Faisal dan Andi Widjojanto. Jokowi memang menolak disebut boneka, tapi memang ada yang member masukan, menasihati sebagai bahasa halus dari mengendalikan. Singkatnya, Jokowi memang tidak sendiri.
Atas masukan dari Tim Transisi, Jokowi akan memaksa partai politik yang tergabung dalam koalisi Jokowi-JK untuk menyepakati rencana tentang syarat lepas jabatan politik bagi kader parpol yang menduduki jabatan menteri. “Dibuat agar sepakat. Nanti ketemu juga rampung,” kata Jokowi di Cipinang, Jakarta, Selasa (26/8/2014) seperti dilansir Okezone.
Menurutnya, rangkap jabatan yang diemban tidak akan bisa fokus menjalani program pembangunan yang akan disusun. “Pegang satu jabatan sama dua jabatan bisa fokus enggak? Pegang satu jabatan sukses bisa enggak? Belum tentu! Apalagi dua jabatan,” tegasnya.
Sebelumnya diberitakan Cak Imin tidak setuju apabila Menteri yang tergabung dalam kabinet Jokowi-JK harus melepaskan jabatannya di partai. Dia bahkan mencontohkan dirinya yang selama ini tetap menjabat sebagai Ketua Umum PKB sekaligus Menteri dan mampu sukses pada keduanya. PKB mengingatkan bahwa sudah ada pembicaraan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati dengan PKB diawal jalinan koalisi ihwal kursi menteri agama.
Menurut politikus PKB Ali Maschan Moesa khusus untuk posisi menteri agama sudah diserahkan kepada PKB. “Ada semacam komitmen kalau yang urusan agama diserahkan ke kami, PKB, NU lah,” kata Ali Maschan ketika dihubungi, Jumat (1/8/2014).
Komitmen tersebut, ungkap Ali Maschan, sudah pernah dibicarakan Megawati dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Bagi PKB sendiri posisi menteri agama sangat pas bila dipercayakan kepada pihaknya.
Dalam pandangan Ali Maschan adalah hal yang lumrah bila PKB nantinya diikutkan dalam pembicaraan mengenai sususan kabinet pemerintahan 2014-2019. Hal ini mengingat PKB sebagai salah satu partai yang mendukung Jokowi dan memiliki suara yang cukup besar pada saat Pemilu Legislatif lalu. “Pak Muhaimin (Ketua Umum PKB) yang nanti akan diajak bicara dengan Jokowi,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Surya Paloh menyarankan kepada Jokowi-JK agar tidak perlu memaksakan untuk melakukan pengurangan jumlah menteri di kabinet. Menurutnya, selama sepuluh tahun dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kabinet dianggapnya sudah berjalan efektif.
“Sepuluh tahun pemerintahan ini ada kabinet dengan portofolio yang efektif, ada empat puluh lima menteri kabinet diluar wakil menteri, kalau saja ada pengurangan sedikit, tetapi tidak perlu dipaksakan sekali, saya pikir kalau tidak ditambah sudah bagus,” katanya kepada wartawan di Rumah Transisi Jokowi – JK, di Jalan Situbondo nomor 10, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2014).
Soal fokus kabinet Surya Paloh mengatakan tidak perlu ada fokus khusus pada satu kementerian. Namun yang menurutnya penting adalah kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu kabinet yang dibangun juga mewakili kelompok, golongan dan wilayah.
Partai NasDem kata dia belum diminta untuk menyerahkan nama-nama kader yang memiliki potensi ditunjuk sebagai menteri. Ia pun belum berinisiatif guna mengumpulkan kader terbaik Partai NasDem untuk diajukan ke Jokowi. “Kalau diminta baru masuk, ini menyodorkan (kalau) belum jelas kan gawat,” tuturnya.
Jadi uraian di atas, mempertegas kepada Koalisi Merah Putih bahwa iming-iming jabatan Menteri sabagai kompensasi bila menyeberang ke kubu Jokowi adalah pepesan kosong. Cukup belajar dari pengalaman sebelumnya bersama SBY.
Pada Pemilu 2004, setelah pemilu legislatif, terbentuklah koalisi Partai Demokrat, PBB, dan PKPI yang mengusung pasangan SBY-JK. Setelah pemilu presiden putaran kedua, anggota koalisi bertambah, yaitu PAN, PKB, PPP, dan PKS. Ujungnya, setelah pilpres putaran kedua, masuk Partai Golkar. Demikian juga yang terjadi pada Pemilu 2009. Awalnya koalisi Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, dan PPP mengusung pasangan calon SBY-Boediono, lalu setelah pilpres masuk Partai Golkar.
Pembentukan koalisi bertahap itu menimbulkan ketegangan-ketegangan politik internal koalisi. Di satu pihak, partai-partai yang terlebih dulu membangun koalisi merasa berhak mendapatkan kursi kabinet lebih banyak karena mereka telah bertaruh dan bekerja lebih banyak. Di lain pihak, partai yang bergabung terakhir juga merasa berhak mendapat kursi kabinet lebih banyak karena jumlah kursi di parlemen paling banyak. Koalisi pemerintahan SBY-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono menjadi bahan pelajaran penting.
Karena berada di tempat yang terang benderang, maka Koalisi Setgab era SBY menjadi sasaran tembak. Sehingga mengurangi efektifitas jalannya pemerintahan. Gerakan menjadi tidak fokus, jadi sibuk mengurus ketua partainya masing-masing yang tersangkut KPK. Padahal di era otonomi ini, wibawa menteri tidak lagi sekuat di era Orba. Jadi bagi KMP, lebih baik memperkuat soliditas lalu tancap gas untuk memenangi setiap Pilkada.
Sumber : http://ift.tt/1wzH5yE