Suara Warga

Islam Politik Tak Lagi Relevan di Indonesia

Artikel terkait : Islam Politik Tak Lagi Relevan di Indonesia

Berbicara tentang Islam Politik di Indonesia tentu tidak terlepas dari mazhab pemikiran Islam dan politik di dalamnya, yang secara umum terbagi menjadi tiga (Zuly Qodir, 2012): formalisme Islam (menekankan penyatuan Islam dan politik), substansialisme Islam (menekankan etika Islam dalam politik), dan sekularisme Islam (memisahkan Islam dan politik). Masing-masing memiliki akar historisnya sejak masa pra-kemerdekaan dan perkembangannya hingga detik ini. Perdebatan sengit dan hangat kerap menyertai perjalanan ketiganya, yang bahkan belakangan cukup menguatirkan.

Pandangan pertama menghendaki bahwa Islam perlu diformalkan dalam pemerintahan, yang tidak bisa digantikan oleh Pancasila. Pandangan kedua menganggap bahwa negara Islam tidak diperlukan di Indonesia, melainkan hanya etikanya yang bisa berkontribusi dalam peran-peran kenegaraan. Sedangkan pandangan ketiga menyatakan bahwa Islam tidak seharusnya turut campur dalam urusan negara dan sebaliknya, karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri. Islam mengatur urusan ibadah manusia kepada Tuhan dan negara mengatur pranata sosial masyarakat.

Munculnya partai-partai Islam disinyalir sebagai bentuk dari keinginan formalisasi Islam di Indonesia. Namun, berkuasanya rezim Orde Baru telah menghambat gerak partai-partai Islam tersebut yang sebelumnya subur di masa Orde Lama. Kelompok-kelompok Islam Politik terpaksa bergerilya dalam bentuk organisasi kemasyarakatan dan pendidikan, meskipun tak jarang yang beraliran militan. Dengan bergulirnya Reformasi 1998, keran demokrasi sedemikian terbuka lebar tanpa supervisi, sehingga kelompok-kelompok Islam Politik mulai bermetamorfosis menjadi partai politik.

Namun demikian, perkembangan partai-partai Islam tidak bisa dianggap membanggakan, bahkan prosentase perolehan suaranya terus merosot. Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1955 total perolehan partai Islam 43%, pada Pemilu 1999 memperoleh 38.7%, pada Pemilu 2004 memperoleh 21.34%, pada Pemilu 2009 memperoleh 19.9%, dan pada Pemilu 2014 memperoleh 14.78%. Partai Islam yang dimaksud adalah yang berasaskan Islam. Sehingga, dalam perhitungan di atas tidak memasukkan PAN dan PKB, karena keduanya lebih suka disebut partai pluralis dan berasaskan Pancasila.

Perolehan partai-partai Islam yang babak belur ini disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, tiadanya gagasan-gagasan alternatif dan program kerja konkret yang membedakan mereka dengan partai-partai non-Islam. Selain itu, partai-partai Islam cenderung tidak tampil sebagai representasi umat Islam Indonesia, melainkan hanya mewakili politisi Muslim yang ingin meningkatkan posisi kekuasaannya melalui pembentukan partai Islam. Karena itu, perilaku mereka sama saja dengan politisi partai-partai non-Islam, dari beragam skandal hingga korupsi. Alasan lainnya, partai-partai Islam cenderung berkarakter sektarian dan memiliki agenda transnasional yang beresiko terhadap eksistensi NKRI, yang diawali dengan pelenyapan sistematis terhadap budaya lokal dengan dalih “syariatisasi”. Tampaknya semua ini mengikis kepercayaan umat Islam Indonesia terhadap partai-partai Islam.

Hal ini terlihat lebih jelas pada Pilpres 2014 yang baru saja berlangsung. Prabowo yang didukung oleh partai-partai Islam (PPP, PKS, dan PBB) dan bahkan ormas-ormas Islam ternyata mesti menelan kekalahan. Jokowi yang “diboikot” oleh kalangan formalis Islam—dengan beragam kampanye hitam sektarian hingga isu “perang badar” dan fatwa haram—justru menang telak. Dalam pandangan Azyumardi Azra, fenomena ini menunjukkan bahwa simbolisme Islam tidak lagi efektif, sehingga teori “jebakan demokrasi” tidak berlaku di Indonesia.

Menurut teori ini, demokrasi yang terbuka di dalam negara berpenduduk mayoritas Muslim hanya akan menghasilkan kekuasaan partai Islam. Dalam konteks Tunisia dan Mesir, teori ini memang memperoleh buktinya. Namun, kemerosotan perolehan suara partai-partai Islam di Indonesia memperlihatkan gagalnya teori “jebakan demokrasi”. Kenyataan ini tentu terkait dengan realitas sosio-antropologis masyarakat Muslim Indonesia yang memiliki distingsinya sendiri. (Kompas, 21 Mei 2014)

Manuver PKS

Kondisi tersebut semakin diperparah oleh manuver politik PKS, sejak pengumuman resmi kemenangan Jokowi oleh KPU. Diawali dengan “real count” PKS yang diklaim lebih sahih dari KPU, di mana hasilnya Prabowo menang. Lalu dilanjutkan dengan gugatan kecurangan pilpres, konon PKS memiliki bukti dua juta lembar data. Tetapi, buru-buru PKS menyatakan bahwa bukti kecurangan pilpres yang sedianya akan diserahkan ke Mahkamah Konstitusi ternyata hilang dan KPU yang dijadikan kambing hitamnya. Ironisnya, Mahfud MD justru mengatakan bahwa PKS tidak pernah menunjukkan data apa pun terkait Pilpres 2014 kepada dirinya atau pun tim pemenangan lainnya (Kompas, 26 Juli 2014).

Manuver mutakhir, PKS mendukung rencana pembentukan pansus Pilpres 2014 di DPR. Bahkan, PKS juga secara tak langsung ingin menghadang pelantikan Jokowi-JK dengan menggulirkan wacana “boikot” oleh koalisi permanen Prabowo-Hatta terhadap Sidang Umum MPR (Kompas, 25 Juli 2014). Genderang terus ditabuh oleh PKS dan Prabowo semakin larut dalam tariannya. Karena itu, Hashim Djojohadikusumo tampaknya ke-pede-an saat mengatakan bahwa Prabowo bisa mengendalikan PKS. Terlihat di sini bahwa Islam Politik tak menemukan idealnya. Pada praktiknya, Islam Politik di negeri ini tak ubahnya kendaraan untuk menggapai kekuasaan, yang tak segan-segan menghalalkan segala cara.

Kemunculan ISIS

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kekuatiran lain dari geliat Islam Politik dan upaya formalisasi Islam di Indonesia adalah bertumbuhnya kelompok-kelompok garis keras intoleran, yang begitu mudah mengafirkan orang lain yang tak sepaham dan bahkan tak segan melakukan kekerasan. Perkembangan terbaru adalah munculnya kelompok ISIS, yang lahir dari rahim Al-Qaeda. Tetapi, ISIS kini telah menjadi organisasi independen dan pada Juni lalu mendeklarasikan berdirinya khilafah Daulah Islamiyah (negara Islam), yang saat ini mereka klaim meliputi Irak dan Suriah, dengan Abu Bakar al-Baghdadi sebagai pemimpinnya. Deklarasi tersebut segera memperoleh sambutan dari berbagai elemen garis keras, termasuk di Indonesia. Dalam waktu singkat, dukungan dan bai’at (sumpah setia) kepada ISIS segera bermunculan secara terang-terangan dari tanah air.

Melihat kenyataan ini, Islam Politik semakin terlihat tak menemukan relevansinya lagi dalam perjalanan negeri ini. Formalisasi Islam pada gilirannya justru dimanfaatkan untuk menggerus jati diri bangsa dan bahkan melenyapkan eksistensi NKRI. Muslim Indonesia memiliki karakternya sendiri. Islam Kultural yang telah melekat sejak ratusan tahun yang lalu pada diri Muslim Indonesia telah menjadikan mereka toleran dan lentur dalam mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan kearifan lokal. Karakter ini tidak semestinya dikoyak oleh pemahaman Islam Politik yang sempit.[]

Dimuat di: http://ift.tt/Y6ZDHt




Sumber : http://ift.tt/1nR9lTn

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz