Suara Warga

Ironi Saksi di Mahkamah Konstitusi

Artikel terkait : Ironi Saksi di Mahkamah Konstitusi

14076290461477644773 Salah satu saksi di sidang Mahkamah Konstitusi (Gbr: Zulfikar Akbar)



Sidang pemeriksaan saksi di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa Pemilihan Presiden 2014, Jumat (8/8) membuat miris siapa saja. Bahkan, bagi pihak yang berharap diuntungkan oleh pengakuan para saksi, bisa saja merasakan teriris, dan melihat itu sebagai hal tragis. Sebab, secara langsung dan tidak langsung, terlepas apa kelak keputusan MK, mereka sedang menelanjangi diri sendiri.

Padahal, saksi adalah orang yang melihat dan mengetahui sendiri suatu peristiwa. Setidaklah begitulah didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Sementara dalam sudut pandang hukum tak jauh berbeda, bahwa saksi adalah pihak yang memiliki informasi tangan pertama atas suatu kejahatan atau hal-hal berkaitan dengan itu.

Jelas, keberadaan saksi, sejatinya sangat penting dalam proses untuk hakim mengeluarkan keputusan. Tapi apa yang terjadi di ruang sidang tersebut, para saksi didatangkan pihak penggugat Pilpres 2014 tanpa membawa bukti yang kuat. Alih-alih bukti kuat, sebagian besar bahkan sama sekali tak punya bukti.

Beberapa kali saat hakim menanyakan apa, di mana, kapan, dan bagaimana, dengan wajah polos para saksi tersebut menjawab, “Tidak tahu, yang mulia.” Salah satunya pada saat salah satu saksi dengan percaya diri adanya pemberian sejumlah uang dan makanan, dan hakim mencecar siapa pelakunya, di mana, lagi-lagi hakim hanya menerima jawaban bahwa saksi tersebut tidak tahu.

Di depan fenomena seperti ini, saya kira tak butuh kepakaran sekalipun, akan bisa melihat kekuatan dari kesaksian yang disampaikan para saksi itu dengan mudah. Toh, soal kejujuran itu merupakan bahasa universal yang bisa dirasakan setiap orang.

Sikap tubuh, cara bicara, nada suara, hingga cahaya mata, akan menggambarkan dengan kuat dan jelas, seseorang itu jujur ataukah tidak. Hal ini takkan bisa teraba jika yang merabanya juga bukanlah orang yang jujur. Tapi, begitulah saya mengamati jalannya pemeriksaan para saksi itu.

Kemarin, karena kebetulan sedang libur, seharian saya hanya menonton berulang-ulang rekaman jalannya persidangan itu melalui YouTube. Saya perhatikan detail setiap gerak-gerik, sikap tubuh, hingga cahaya mata para saksi itu. Saya berusaha untuk berpikir positif, bahwa jangan-jangan mereka grogi, atau demam panggung seperti pembelaan pengacara di gerbong salah satu capres. Tapi saya tidak menemukan grogi yang natural karena alasan belum terbiasa dan tidak berpengalaman di sebuah sidang sekelas MK.

Sebab, dari getaran suara dan sistematika, serta kronologis, para saksi menjelaskan kasus per kasus, lebih bernada memaksa untuk mengungkapkannya, sementara mereka sendiri tak yakin atas apa yang mereka sampaikan. Jika begini, bagaimana caranya mereka bisa meyakinkan para hakim?

Pemandangan di ruang sidang itu membawa pikiran saya melihat rentetan demi rentetan apa saja yang dilakukan pihak kubu salah satu capres tersebut. Dari tindakan mereka sebelum Pilpres, saat berlangsungnya Pilpres, hingga selesainya pesta demokrasi itu. Ada benang merah di sana. Bahwa, sesuatu yang terstruktur, sistematis, dan masif yang acap mereka todongkan dilakukan lawan-lawan mereka, saya curigai justru dilakukan oleh mereka sendiri.

Menjelang pilpres, bagaimana meresahkannya fitnah-fitnah yang mereka hamburkan yang ditujukan kepada lawan politik mereka. Fitnah-fitnah itu tak hanya menjadikan lawan politik mereka saja sebagai korban. Tapi hingga agama dan etnis pun dikorbankan.

Lihat saja, bagaimana mereka menuduh capres rival mereka sebagai seorang keturunan Cina, yang mengesankan seolah masyarakat Cina adalah masyarakat kelas dua di negeri ini. Lihat juga bagaimana mereka juga menuduh capres itu sebagai Kristen, yang juga bernada melecehkan agama Kristen sendiri.

Praktik segala cara itu dilakukan mereka secara terstruktur, sistematis, dan sangat masif. Ini jelas meresahkan dan merupakan sesuatu yang jelas-jelas tidak sehat. Apa saja yang sudah tidak sehat, dan tidak ditangani dengan tepat, berpotensi melumpuhkan banyak hal; ketentraman masyarakat hingga persatuan yang menjadi tonggak penting berdirinya negara sebesar Indonesia. Diperparah dengan lumpuhnya moral berkebangsaan, untuk menghargai pluralitas, mengakui perbedaan, dan tak terkecuali kepercayaan publik terhadap hukum.

Lihat lagi, dari sekian banyak pihak yang melontarkan fitnah, ada berapa banyak dari pelaku yang mendapatkan ganjaran hukum? Saya belum melihat ada langkah hukum untuk mencegah dan menghentikan itu terjadi. Hanya, di sini saya mencoba berbaik sangka lagi, bahwa pihak aparat terkait, akan menangani hal-hal berkait fitnah dan berbagai hal beraroma SARA, akan ditindaklanjuti seusai hiruk pikuk Pilpres.

Tak terkecuali para saksi yang telah menyampaikan kesaksian mereka di sidang MK. Saya kira, bagi para saksi yang terbukti memberikan kesaksian yang menyesatkan pun harus diberikan sanksi tegas. Sebab hanya dengan ini, maka bisa menimbulkan efek jera. Sehingga pada perhelatan demokrasi di masa mendatang, hal-hal serupa tidak lagi terjadi, atau sedikitnya, bisa lebih tereduksi.

Lalu, apakah ada peluang untuk menghukum para saksi yang berdusta? Syukurlah, hukum Indonesia sudah mengatur hal itu. Pasal 241 Kitab Undang Undang Hukum Pidana, telah mengatur masalah tersebut. Bahwa, saksi yang memberi keterangan palsu bisa diganjar hukuman penjara hingga tujuh tahun, bahkan bisa sembilan tahun jika itu merugikan pihak yang dituduh.

Pertanyaannya, apakah pihak-pihak terkait akan melihat fenomena itu sebagai hal serius? Wallahu a’lam. (TWITTER: @ZOELFICK)




Sumber : http://ift.tt/1uc6Inj

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz