Suara Warga

‘HITAM PUTIH’ 2014 dan PERSPEKTIF SEJARAH

Artikel terkait : ‘HITAM PUTIH’ 2014 dan PERSPEKTIF SEJARAH

Ketika mengambil pemikiran seorang Romo Mangun, “dimana setiap masa akan selalu ada sifat dan karakter ‘hitam putih’”, yaitu menurutnya, “sebenarnya musuh negeri ini bukanlah selalu kaum penjajah yang berlabel Belanda dan yang di sebut pahlawannya tidaklah melulu ada pada manusia dengan label ‘kaum pribumi’ (era itu disebut kaum nasionalis)”. Faktanya, tidak sedikit manusia Belanda yang berpihak pada nilai-nilai humanis universal yang menjunjung nilai-nilai kemanusian di atas segalanya dengan tidak melihat apakah mereka itu putih, hitam, Belanda atau Pribumi, pun tidak sedikit kaum nasionalis atau yang sekarang kita anggap ‘para pahlawan’atau bahkan ‘founding father’ punya watak dan perilaku perampok dan bahkan penghianat bagai negeri ini. Jadi mencoba memahami sejarah dari kacamata seorang Humanis Romo Mangun yang dirinya mempunyai latar belakang Imam (seorang Romo dari Nasrani), Ilmuwan (Dosen Besar Arsitek UGM), Pejuang Kemerdekaan (salah satu anak buah Soeharto, Presiden RI ke-2 dalam perang kemerdekaan) sangatlah penting bagi kita untuk selanjutnya dapat melihat realita saat ini dengan lebih objektif dengan menjadikan kaca-mata sejarah dari negeri ini sendiri.

Sejujurnya, keadaan negeri ini setelah pilpres RI 2014, kita bisa melihat jika kita telah terbelah menjadi dua faksi besar, pro-1 dan pro-2. Dan melihat secara objektif manusia Indonesia dari sudut pandang seorang Sutan Syahrir dan Tan Malaka (saya anggap masih relevan hingga saat ini), sudah gagal dengan ‘mentok’ hanya pada ‘revolusi nasionalis’. Dimana menurut mereka (Syahrir, Malaka dan ‘diamini’ oleh Romo Mangun), bangsa ini belum berhasil dalam melangkah ke fase setelah revolusi nasionalis, yaitu mengalami kegagalan dalam melangkah memasuki fase revolusi sosial dan selanjutnya revolusi mental. Menurut mereka, jika negeri ini mau melangkah ke arah yang benar, maka setelah revolusi nasional selesai dilakukan, negeri ini harus segera melakukan dan membereskan revolusi sosial. Dimana ketika revolusi sosial sudah selesai dilakukan, barulah bangsa ini bersegera melanjutkan ke fase berikutnya, yaitu revolusi mental. Tidak bisa kita melangkah ke fase revolusi mental jika fase revolusi sosial tidak pernah kita lakukan atau masih jauh dari kata baik. Jika saya boleh menjelaskan arti dari ke-tiga fase itu, menurut mereka revolusi nasionalis adalah fase ketika kita dapat merebut kemerdekaan dari ‘penjajah’ ke bangsa kita sendiri, “Indonesia” dan fase ini kita lebih mengenalnya dengan nama ‘fase kemerdekaan’. Fase revolusi sosial adalah ketika keadilan telah (hampir) merata bagi seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai dengan Merauke. Dimana pada fase ke-dua, rakyat negeri ini tidak lagi ‘dipusingkan’ dengan masalah-masalah-masalah yang mendasar, seperti ’sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan’. Dan setelah fase ke-dua selesai, maka kita otomatis akan masuk pada fase ke-tiga, yaitu fase revolusi mental. Dimana pada fase ini kebanggaan fase nasionalis dan fase sosial telah melebur menjadi satu dan menghasilkan budaya yang bangga menjadi seorang rakyat Indonesia juga menyadarkan kesadaran politik bagi para segenap anak bangsa dan searah dengan selesai fase ke-satu dan ke-dua, maka mental-menta inlander feodalis ala priyayi dan bangsawan tempo dulu akan sirna dengan sendirinya.

Pun mengambil deskripsi ke-dua paragraf di atas, kalau boleh saya menarik benang merah, adalah sebagai berikut, jika sesungguhnya dibelakang (pendukung) pro-1 dan pro-2 terdapat manusia-manusia dengan mental pandawa, pun banyak juga yang bermental kurawa. Lihatlah, ada banyak politis kotor, tidak sedikit yang menjadi perampok, ada juga yang melakukan koruptor dengan bangga, pun ada penghianat bangsa demi kesenangan duniawi dan juga adalah penggila oportunis sejati nan penipu ulung di ke-dua-nya, baik di pro-1 dan di pro-2, dan kita harus sadari hal itu secara terbuka dan jujur. Namun tiadalah mengapa jika kita ‘lebih memihak’ diantaranya itu, karena seperti yang diutarakan Mangun dalam salah satu novelnya, jikalau waktu lampau ternyata kaum priayi sangat membenci pergerakan nasionalis yang dimotori oleh anak-anak muda seperti Soekarno, Hatta, Syahrin, Tan Malaka, Soebandrio dan lainnya. Malah kaum priayi memberikan label kepada mereka kaum perusuh yang kumuh dan dekil yang selalu mengusik kenyamanan dan kemapanan yang dimiliki oleh para kaum priayi pada saat itu. Namin dengan hal itu, para kaum nasionalis ternyata tidaklah ciut dan rendah diri oleh kicauan dan kritikan kaum priayi. Dan sebagai kaum terdidik dan beragama, tentulah kita harus dapat memberikan penilaian yang objektif bagi keduanya, dengan dasar dan substansi yang jelas tentunya, bukan malah mendengungkan ‘teriakan’ asbun dan ngawur ala manusia berkarakter ‘bagong’ nan tak terdidik.

Syahrir, Tan Malaka dan Romo Mangun dalam pemikirannya jelas menyebutkan jika revolusi mental tidaklah akan tercapai jika revolusi sosial belum ‘jangkep’ kita lakukan. Kita sendiri bisa melihat dan rasakan ‘cikar-bobrok’ pada tatanan-sosial negeri ini. Dimana jurang ketimpangan (monggo lihat indeks ketimpangan) dan ketidakadilan sangat merajalela (lihat predikat yudikatif yang mengerikan). Saya sendiri berusaha mencoba untuk tidak apriori dengan slogan revolusi mental yang ‘didengungkan’ oleh pemimpin terpilih pada saat ini, namun berkaca pada pemikir besar dan founding father kita dan juga didasari dengan logika yang realistis, sungguh tidaklah dapat kita ‘memanen’ padi dengan label ’swasembada pangan’ jika kita belum membangun sistem irigasi yang baik, distribusi pupuk yang terjangkau juga merata dan pelatihan peningkat keahlian tertuju bagi pelaku pertanian dan juga calon pelaku pertanian yang terpola dengan baik dan didukung oleh prasarana dan juga dukungan manajemen yang profesional terkait entitas-entitas yang bernaung dalam swasembada itu sendiri.

Terakhir, sebagaimana disebutkan oleh Romo Mangun jikalau dalam setiap masa akanlah selalu ada perilaku ‘hitam putih’, pun hal itu sejarah yang akan membuktikan apakah kaum yang ‘kalah’ saat ini memang kaum yang memang harus kalah karena memang minim kapasitas juga dukungan atau sebaliknya, kaum yang kalah saat ini, akan mengikuti jejak seperti kaum nasionalis masa perjuangan tempo lalu yang selalu disubordinatkan oleh kaum priayi pribumi sebagai kaum perusuh dekil yang akan selalu mengganggu stabilitas kemapanan dan keamanan, dan lihat, terbuktilah, sejarah yang sudah menjawab jika kaum pejuang nasionalis telah dapat membuktikan kebenaran idealisme pemikiran mereka dengan memberikan hal yang nyata, yaitu “kemerdekaan kepada bangsa ini di 17 Agustus 1945″, walau tentunya kaum yang terpilih dan tidak terpilih membutuhkan waktu dalam membuktikan persitensi atas perjuangan yang mereka yakini kebenarannya masing-masing. Wallahu a’lam..





Sumber : http://ift.tt/1pt0Cx0

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz