Hei Bapa Tua, Stop Sudah Korupsi !!!
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap tangan kepala daerah karena terlibat korupsi. Kali ini Bupati Biak Lumfor, Papua, Yasaya Sombuk (YS) dalam kasus dugaan suap dana bantuan pembangunan daerah tertinggal (PDT) di Kabupaten Biak. YS ditangkap Senin malam, 16 Juni 2014 lalu di Hotel Akasia, Matraman, Jakarta.
Masih segar dalam ingatan kita beberapa bulan yang lalu KPK juga talah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Kabupaten Bogor, Rahmat Yasin (RY). RY ditangkap KPK tanggal 7 Mei 2014 karena diduga terlibat menerima suap untuk pengurusan izin pembebasan lahan di Puncak dan perluasan lahan di Sentul dan Cianjur.
Tepat satu tahun lalu Rabu 15 Mei 2013 di Medan, KPK juga menangkap tangan Bupati Kabupaten Mandailingnatal, Hidayat Batubara (HB). Penangkapan HB terkait dengan dugaan menerima suap dari Surung Panjaitan untuk mendapatkan proyek pembangunan RSUD Panyabungan yang bersumber dari dana Bantuan Daerah Bawahan (BDB). Akhirnya HB dituntut 5 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp300 juta subsider 5 bulan kurungan.
Sementara Kementerian Dalam Negeri telah mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Jumlah tersebut sepertinya akan terus bertambah dengan tertangkap tangannya Bupati Bupati Biak Lumfor, YS oleh KPK.
Tertangkap tanggannya kembali Bupati Biak Lumfor, YS seolah menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) seperti puncak gunung es. Artinya itu adalah bagian kecil saja dari kepala daerah yang terlibat korupsi. Karena tidak menutup kemungkinan masih terjadi terus praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah, meskipun belum terungkap ke publik sebagaimana tertangkap tanggannya tiga kepala daerah itu.
Sulit dimengerti bagaimana mungkin kepala daerah yang dipilih dan diberi amanat oleh rakyat untuk menjadi pemimpin dan mensejahterahkan masyarakat. Ternyata lebih mementingkan berburu harta dan kekayaan setelah terpilih menjadi kepala daerah. Kepala daerah hanya perduli kepada ranyatnya pada saat pemilihan saja. Selesai pemilihan sudah lupa janjinya untuk mensejahterahkan rakyatnya sendiri.
Apa yang terjadinya dengan kepala daerah menjadi tersangka, bahkan terpidana korupsi dan menghuni hotel pradeo. Bahkan ada yang terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) akhirnya harus menjadi terpidana. Sesungguhnya inilah yang dikatakan sebagai paradoks dari demokrasi kita. Bagaimana tidak demokrasi yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak terlaksana dengan baik di negeri ini.
Kepala daerah yang terpilih bukannya menjalankan amanah dengan penuh tanggungjawab untuk membawa rakyatnya menuju kesejahteraan. Justru sebaliknya, mereka yang terpilih menjadi kepala daerah hanya bisa menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, keluargnya dan kelompoknya. Kekuasaan yang didapatkan dianggap sebagai aji mumpung yang harus digunakan untuk mengumpulkan harta bukan untuk melayani masyarakat.
Kekuasaan yang dimiliki kepala daerah yang diberikan rakyat ternyata digunakan untuk melakukan “kongkalikong” yang memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri. Itulah yang dilakukan tiga kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK. Bupati Biak, Lumfor YS ditangkap karena diduga terlibat suap dana bantuan pembangunan daerah tertinggal (PDT). Bupati Bogor, Rachmat Yasin ditangkap karena memberikan hak pengelolaan tanah kepada pengembang tertentu, sementara Bupati Madina menerima suap dari kantroktor untuk mendapatkan proyek dana BDB.
Modus yang dilakukan oleh tiga bupati yang tertangkap tangan tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Hampir semua kepala daerah yang ditangkap dan divonis korupsi melakukan hal serupa terlibat dalam suap menyuap dan menerima gratifikasi. Sekalipun sudah banyak kepala daerah yang menjadi pesakitan di penjara, sepertinya semua itu tidak serta merta membuat kepala daerah yang lain jera untuk melakukan perbuatan korupsi.
Modus korupsi lainnya yang dilakukan kepala daerah mutasi pejabat, pemberian izin dengan imbalan imbalan, mengerjakan proyek negara memakai perusahaan pribadi dengan mengatasnamakan orang lain. Penggelembungan biaya/mark up proyek pengadaan barang dan jasa dan penggunaan dana APBD untuk kepentingan pribadi. Termasuk menggunakan dana bantuan sosial (Bansos) ataupun dana hibah.
Semua itu terjadi karena integritas yang rendah, gaji yang tak sebanding dengan biaya politik yang ludes dalam Pemilukada. Termasuk juga karena ketamakan dan kerakusan. Ada semacam kecenderungan kepala daerah bahwa menjadi pejabat publik identik dengan segala yang berbau kemewahan yang ditunjukkan dengan rumah mewah, mobil mewah, harta menumpuk, uang belimpah dan plesiran entah kemana-mana. Sementara urusan rakyat di daerah diabaikan begitu saja.
Kesederhanaan hidup bagi mereka adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk dilakukan. Menjadi contoh teladan dalam kesederhanaan hidup bagi rakyatnya dianggap tidak terlalu penting selama masih memegang kekuasaan dan apa saja akan dilakukan menumpuk harta meski lewat jalan korupsi. Korupsi dianggap sebagai cara mudah untuk mengembalikan modal yang habis dalam Pemilukada.
Kita berharap memang tidak ada lagi kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK karena terlibat korupsi setelah ini. Kalau mau jujur hampir semua kepala daerah terlibat korupsi, hanya saja yang tertangkap tangan mungkin lagi apes dan yang belum masih beruntung. Setidaknya penangkapan oleh KPK terhadap Bupati Biak Lumfor YS adalah yang terakhir terjadi menimpa kepala daerah di negeri ini. Semoga…
Sumber : http://ift.tt/1lGOjXy