Suara Warga

Fungsi hakim dalam PHPU Prabowo-Hatta v KPPU: Pencari Kebenaran atau sekedar Corong Peraturan Perundang-Undangan?

Artikel terkait : Fungsi hakim dalam PHPU Prabowo-Hatta v KPPU: Pencari Kebenaran atau sekedar Corong Peraturan Perundang-Undangan?

Apakah Hakim Mahkamah Konstitusi Seyogianya Tanggap Aspirasi Rakyat atau hanya berperan sebagai corong peraturan perundang-undangan ?



Mahkamah Konstitusi RI sedang dihadapkan dengan situasi yang pelik perihal Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dari Tim Prabowo-Hatta. Di satu sisi, terkesan terdapat penolakan publik terhadap permohonan Prabowo-Hatta yang dianggap strategi “mengulur-ngulur” waktu dan tidak terima kalah. Hal ini terindikasi dari berkembangnya sahutan bernada negatif di social media, seperti Facebook dan Twitter. Di sisi lain, MK adalah institusi peradilan yang didasarkan pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan (Penjelasan UU No. 24/2003 paragraf 1). Hal ini ditegaskan kembali dalam Penjelasan UU No 8/2011 paragraf pertama yaitu “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kata yang perlu digarisbawahi adalah keadilan.

Pertanyaan pertama yang menggelitik adalah apakah hukum (positif/yang tertulis/black on white/letterlijk) sudah pasti adil? Dengan kata lain, apakah keadilan itu semata-mata dikerangkeng oleh suatu hukum positif? Implikasi dari pertanyaan ini dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kehakiman MK adalah: Apakah MK sekedar merupakan corong peraturan perundang-undangan yang menggunakan “kacamata” kuda dalam pelaksaanaan kekuasaannya?

Sebagai ilustrasi, mari simak perbedaan mendasar fungsi hakim dalam peradilan pidana dan dalam sengketa perdata. Hukum acara pidana di Indonesia didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sementara hukum acara perdata masih menggunakan hukum peninggalan Belanda (HIR, RBg, WVK) yang menjadi dasar sumber hukum acara perdata berdasarkan aturan peralihan UUD 1945. Perbedaan pokok fungsi hakim dalam kedua hukum acara tersebut adalah:

· Dalam Hukum Acara Pidana, hakim berfungsi sebagai “pencari kebenaran” atau bersifat aktif. Artinya, hakim secara aktif mencari bukti yang dapat menjadikan terang suatu peristiwa yang diduga mengandung tindak pidana. Contohnya Pasal 180 KUHAP ayat 3 memberikan kekuasaan kepada hakim berdasarkan jabatannya untuk memerintahkan penelitian ulang atas hasil keterangan ahli.

· Dalam Hukum Acara Perdata, hakim bersifat pasif, atau jika dianalogkan dengan pertandingan sepakbola seorang “wasit”. Artinya, hakim tidak secara aktif mencari bukti, dan semata-mata menilai suatu gugatan perdata berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak. Jika terdapat bukti di luar yang diajukan para pihak, maka itu dianggap tidak relevan.

Terdapat raison d’etre (reason for existence atau landasan filsafat) dikhotomi fungsi hakim dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman acara perdata dan pidana. Secara sederhana, raison d’etre kekuasaan kehakiman dalam kekuasaan acara pidana adalah tentang keadilan, ketertiban umum, rasa aman, dan integritas hukum substansi, misalnya KUHP. Artinya, hukum substansi pidana tidak hanya semata-mata urusan antara Jaksa dan terdakwa. Jaksa tidak hanya sekedar mewakili kepentingan korban, namun mewakili rasa keadilan masyarakat umum. Di negara Amerika Serikat, nomenklatur (penamaan) suatu kasus pidana adalah “The People v [nama terdakwa]” yang secara gamblang menekankan pada fungsi Jaksa sebagai perwakilan dari masyarakat dalam pencarian kebenaran. Sebagai hakim dalam peradilan pidana, ia menilai/menghakimi suatu perkara dengan kacamata kepentingan masyarakat, baik rasa keadilan, ketertiban umum, maupun rasa aman. Sebaliknya, dalam hukum acara perdata, seorang hakim memainkan peran “wasit”. Kepentingan yang dinilai hakim hanya semata-mata kepentingan dalam pihak yang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat. Kepentingan masyarakat umum bukan merupakan suatu pertimbangan.

Tentunya, dikhotomi itu tidak dapat dipisah secara tegas, karena hukum substansi perdata juga menjunjung nilai-nilai seperti kausa yang halal dan asas ketertiban umum. Namun, porsi kekuasaan hakim dalam acara pidana dan perdata dapat secara umum dibedakan dalam kategori “pencari kebenaran” dan “wasit”.

Bagaimana dengan Mahkamah Konstitusi? Apakah hakim Mahkamah Konstitusi seyogianya tanggap aspirasi rakyat atau hanya berperan sebagai corong peraturan perundang-undangan? Apa raison d’etre kekuasaan kehakiman MK? Ketua MK Hamdan Zoelva menyatakan “Kita tak melihat di luar. Kita memutuskan sidang tak berdasarkan media, berita koran, atau isu sedang berkembang di luar, tapi apa yang ditemukan dalam fakta persidangan, itulah fungsi hakim. Jadi kalau hakim memutuskan berdasarkan berita koran atau media, ya sudah nanti banyakin saja berita itu.”[1]



Pergumulan filsafat kedudukan MK dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terkuak di sini. Meskipun format/tata cara pengajuan permohonan ke MK dalam konteks PHPU adalah pemohon dan termohon, seakan-akan hanya kepentingan kedua belah pihak yang bersengketa (Prabowo-Hatta dan KPU), namun KPU tidak hanya sekedar suatu badan hukum perdata layaknya tergugat dalam peradilan perdata. KPU mewakili kepentingan masyarakat Indonesia dalam perwujudan demokrasi yang sehat, jujur, bersih, dan adil. Apakah lantas uji materi yang dilakukan MK hanya terbatas teknis, yakni terkait metode penghitungan dan matematika rekapitulasi. Hemat penulis adalah bahwa MK tidak hanya berfungsi sebagai teknokrat hukum. Dalam uji materi PHPU Prabowo-Hatta v KPU, MK seyogianya melihat kepentingan yang lebih luas (bird’s eye view), yang berdasarkan prinsip keadilan.

Apa implikasi dari kaca mata “kepentingan yang lebih luas

yang digunakan MK? Sebagai misal, MK seyogianya menimbang apakah rasa keadilan masyarakat terusik dengan tindak-tanduk pemohon yang “motif”nya adalah sekedar mengulur-ngulur waktu, sementara masyarakat semakin resah? Tentunya, hal ini tidak mudah untuk dinilai dan “keresahan” masyarakat dapat saja dibuat-buat oleh media tertentu.


Contoh kedua adalah terkait negative atau black campaign yang dilontarkan masing-masing kubu. Meskipun pihak yang beracara adalah Prabowo-Hatta dan KPU, namun isu ini merupakan isu turutan yang mempengaruhi penilaian MK dalam uji materi. MK seyogianya mempertimbangkan dan menguji apakah benar terjadi negative atau black campaign. Apa dampak black campaign terhadap kesehatan berdemokrasi di Indonesia? Apakah suatu perhelatan demokrasi yang menghasilkan seorang pemimpin eksekutif dapat dibatalkan jika kesehatan berdemokrasi tersebut terganggu? Apa ukurannya? Apakah proses berdemokrasi itu lebih penting (kampanye yang jujur) daripada hasil akhirnya (seorang pemimpin yang dihendaki rakyat)?

Kedua contoh tersebut menggambarkan bahwa fungsi hakim MK tidak hanya semata-mata sebagai wasit, namun sebagai seorang “penjaga pintu kebenaran dan demokrasi”. Masih banyak contoh lain yang seyogianya menjadi pertimbangan MK dalam suatu sengketa PHPU.

Apa pilihan MK dalam PHPU Prabowo-Hatta dan KPU? Kita hanya bisa menunggu. Namun, satu hal yang dapat kita yakini adalah MK seyogianya bersifat bijak dan tidak sekedar menggunakan “kaca mata” kuda atau sekedar mesin interpretasi peraturan perundang-undangan. Ada kepentingan yang lebih besar dalam perhelatan demokrasi dan euforia masyarakat Indonesia saat ini.











[1] http://ift.tt/1rQdUC4








Sumber : http://ift.tt/1qPr9kA

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz