Suara Warga

Di Jepang BBM mahal, tetapi pendidikan dan kesehatan terjamin…

Artikel terkait : Di Jepang BBM mahal, tetapi pendidikan dan kesehatan terjamin…

14093773871329333366

Sejak 1 April 2014, pemerintah Jepang memberlakukan kenaikan pajak penjualan semua barang dari 5% menjadi 8% demi untuk menutupi kekurangan anggaran belanja pemerintah. Kebijakan yang dengan terpaksa diambil pemerintah Jepang, padahal sudah hampir 17 tahun tidak pernah ada kenaikan pajak di Jepang. Kabarnya tahun depan akan dinaikkan lagi hingga mencapai 10%, meskipun belum diumumkan resmi oleh pemerintah. Imbas dari kenaikan pajak tersebut membuat perekonomian Jepang semakin lesu karena daya beli masyarakat turun. Tetapi hampir tak ada gejolak apalagi demonstrasi.

Sekitar dua bulan yang lalu, kami memperoleh surat dari city office (kantor pemerintah kota) tentang tunjangan bantuan kenaikan pajak. Menurut surat itu semua warga kota (Utsunomiya) yang tergolong miskin dan tidak berpenghasilan akan memperoleh tunjangan tersebut. Kebetulan kami yang semuanya berstatus pelajar (four international students, satu orang play group, 1 orang elementary school dan 2 orang doctoral students) yang tidak bekerja sehingga termasuk dalam golongan KAUM MISKIN KOTA yang tidak ditarik pajak penghasilan, akan memperoleh bantuan itu. Jadi tinggal mengisi form dengan melengkapi data, mengirim kembali dan menunggu cair di rekening.

Kemarin kami mendapat surat pemberitahuan tentang pencairan dana tunjangan pajak untuk orang miskin itu, satu jiwa akan memperoleh 10.000 yen, jadi kami berempat memperoleh 40.000 yen. Lumayan untuk tambahan beli lauk dan susu anak selagi beasiswa belum cair. Meskipun mungkin itu sejenis BLT (Bantuan Langsung Tunai), tapi kami tidak perlu antri. Sistem kependudukan yang sangat bagus di Jepang membuat urusan administratif tidak rumit. Jumlah penduduk, jumlah anak, jumlah orang asing atau jumlah orang miskin terdata secara akurat di pemerintah kota. Jadi tidak akan terjadi protes karena ada orang penduduk miskin yang tidak terdata atau malah ada orang kaya yang mendapat tunjangan. Agak sulit terjadi salah sasaran subsidi di lapangan. Jadi kadang membandingkan dengan kondisi di tanah air yang sering ricuh karena raskin atau BLT.

O iya, harga BBM di Jepang juga relatif sangat mahal, sekitar 160 yen (Rp 17.000) per liter tergantung SPBU dan kualitasnya. Tak ada subsidi BBM di Jepang karena subsidi tidak dalam bentuk harga bensin yang murah. Karena menurut pemerintah sini, harga BBM yang murah akan menyebabkan jumlah mobil dan motor pribadi bertambah, kemacetan meningkat, polusi udara juga semakin tinggi. Apalagi jika subsidi BBM diberikan dari uang hutang luar negeri seperti Indonesia…

Akibat dari tingginya harga BBM dan juga pajak kendaraan bermotor serta didukung oleh sulitnya memperoleh SIM, orang Jepang lebih suka bepergian dengan menggunakan transportasi umum baik itu bus atau kereta. Untuk jarak dekat lebih suka jalan kaki atau sepeda onthel. Bandingkan dengan kebiasaan di Indonesia, kita pergi ke warung dengan jarak 100 meter saja lebih suka pakai motor. Memang sarana transportasi umum di Jepang terbilang sangat baik, mulai dari fasilitas, keamanan, kenyamanan maupun ketepatan waktu. Orang lebih suka naik kereta untuk bepergian, karena selain lebih hemat juga tidak capek karena bisa tidur di jalan. Hmm…jadi teringat Ahok dengan konsepnya yang tidak jauh berbedadengan itu…

O iya, meskipun Jepang adalah negara produsen otomotif terbesar dengan merk andalan Honda, Toyota, Suzuki, Subaru dan lain sebagainya, tetapi ternyata jumlah motor sangat sedikit dan kalaupun ada kebanyakan dengan kapasitas mesin yang sangat kecil, kurang dari 100 cc. Untuk mobil juga kebanyakan dengan plat warna kuning yang menunjukkan mesin kurang dari 1000 cc, karena untuk mobil dengan kapasitas mesin besar (plat putih) pajak akan semakin mahal. Padahal harga mobil di sini jauh lebih murah dari Indonesia.

Subsidi pemerintah Jepang juga cukup efektif dan tepat sasaran, terutama untuk pendidikan dan jaminan sosial. Sekolah Dasar hingga SMA gratis jika di sekolah negeri, padahal fasilitas sebuah SD di Jepang sungguh sangat lengkap, mulai dari gedung, alat belajar sampai sarana olah raga termasuk kolam renang. Semuanya gratis, jika harus ada pengeluaran itu adalah untuk kegiatan tambahan dan juga makan siang. Untuk yang orang tuanya tidak mampu masih ada beasiswa yang cukup digunakan untuk membayar aktifitas sekolah anak misalnya beli buku tambahan atau ekstrakurikuler. Itu belum termasuk tunjangan untuk semua anak yang hidup di Jepang baik itu warga asli maupun pendatang. Semua anak usia 0 sampai sekolah dasar akan memperoleh tunjangan social yang besarnya bervariasi setiap kota, di Utsunomiya 15.000 yen untuk yang belum sekolah dan 10.000 yen untuk yang sudah SD per bulannya. Tunjangan itu katanya untuk jaminan gizi mereka sehingga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

Subsidi juga diberikan dalam bentuk jaminan kesehatan, untuk sistem asuransi kesehatan nasional dengan pola subsidi silang. Asuransi kesehatan di Jepang wajin hukumnya, minimal asuransi kesehatan nasional. Dengan membayar 45.000 yen per tahun (untuk satu keluarga dengan 2 anak) atau sekitar 950 yen per orang per bulan (senilai dengan 2 kali makan siang paling sederhananya orang Jepang) maka urusan kesehatan cukup terjamin. Orang dewasa hanya akan membayar sekitar 30% dari total biaya berobat, anak-anak gratis dan manula diatas 70 tahun yang tidak bekerja hanya membayar 10% biaya pengobatan. Biaya pengobatan di Jepang relatif sangat mahal, tetapi dengan sistem asuransi seperti itu sangat meringankan. Pelayanan di klinik atau rumah sakit juga tak pernah diskriminatif antara yang ikut asuransi nasional atau swasta atau yang tanpa asuransi. Semua dilayani dengan hati. Pernah kami suatu malam menelpon ambulan karena anak lelaki saya hidungnya kemasukan benda kecil, dalam sekejap, kurang dari 10 menit ambulan sudah sampai di samping apato kami padahal saat itu hari libur. Dengan cekatan tenaga medis yang ada mengeluarkan benda yang membuat kami panik tadi, gratis. Wajar jika sistem asuransi itu dianggap yang terbaik di seluruh dunia dan banyak diadopsi oleh negara lain.

Para orang tua yang sudah tidak produktif juga relatif bisa hidup dengan tenang karena adanya jaminan pensiun atau jaminan sosial yang cukup untuk hidup sederhana di Jepang. Memang dari pengamatan masih ada orang miskin di Jepang, tetapi hampir tidak ada orang yang kelaparan karena kemiskinan. BBM mahal, tetapi tak ada yang demo atau mengeluh karena itu karena mereka sadar banyak hal yang lebih penting dari sekedar menuntut BBM murah. Pendidikan dan kesehatan. Jepang saat ini sedang krisis ekonomi, dan bahkan kabarnya negara dengan hutang terbesar di dunia namun mereka tidak membiarkan masyarakat tidak terdidik dan tidak sehat. Mari mencoba sedikit berpikir tentang itu. Tentang mimpi kita bersama, memiliki sebuah negeri tanpa diskriminasi. Negeri kaya yang rakyatnya juga sejahtera, minimal tak ada anak yang tak bisa sekolah. Tak ada orang sakit yang tak mampu berobat dan tak ada orang yang meninggal karena kelaparan.

Sudahlah…bukan saatnya lagi harga BBM dipolitisasi…



Salam dari Utsunomiya…




Sumber : http://ift.tt/1B3mvph

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz